Langsung ke konten utama

Melawan Kembalinya Militerisme


Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (GEMA Demokrasi) melakukan aksi menolak kembalinya militerisme di Indonesia, Sabtu (21/5/2016). Seratusan massa dari berbagai elemen, buruh, mahasiswa, kaum miskin kota, LGBT, aktivis HAM, perempuan, Gusdurian dan budayawan, melakukan aksi bersama yang dimulai dengan berkumpul di patung kuda Indosat, lalu berjalan kaki menuju Kementerian Pertahanan dan Istana Negara.

Di hari yang sama, Komite Aksi 18 Tahun Reformasi dan Aliansi Rakyat untuk Demokrasi juga menyuarakan perlawanan terhadap kebangkitan militerisme di Yogyakarta. Aksi Solidaritas Aksi Masyarakat Indonesia untuk Rakyat Indonesia (SAMURAI) memperingati 18 tahun reformasi dibubarkan paksa oleh kepolisian di Makassar.

Aksi GEMA Demokrasi mendapat peliputan yang luas dari media massa seperti Portal KBR, CNN Indonesia, Merdeka.com dan Tempo.com. Keberadaan aliansi ini juga menunjukan semakin menguatnya sentimen anti militerisme yang ditunjukan dalam dua hal. Pertama, semakin beragamnya kelompok masyarakat yang tergabung dalam GEMA Demokrasi. Kedua, adanya keterlibatan dari kelompok gerakan yang paling termobilisir, yakni gerakan buruh. KASBI, SEDAR, SGBN dan GSPB adalah sejumlah nama serikat buruh yang tergabung dalam aliansi demokratik ini.

Menguatnya militerisme pada masa reformasi memang telah dapat diperkirakan sejak jauh-jauh hari. Pada masa reformasi, kelompok paramiliter mengambil banyak peran dalam merepresi kelompok yang tidak sejalan dengan ideologi penguasa. Pada tahun 2007, Front Pembela Islam (FPI) merepresi kegiatan Partai Persatuan Pembebasan Nasional, termasuk aksi Papernas pada 29 Maret 2007. Papernas dituduh komunis. FPI dan jaringannya memang memiliki jejak rekam sebagai kelompok intoleran yang membubarkan kegiatan kelompok agama dan aliran lain, LGBT maupun yang dituduh komunis. Papernas kemudian memilih berkompromi dengan berkoalisi dengan partai Islam, PBR, yang memicu perpecahan di tubuh PRD dan LMND.

Menjelang Pilpres 2014, menguatnya militerisme direpresentasikan oleh pencalonan Prabowo Subianto sebagai presiden yang didukung Gerindra, Golkar, PPP, PAN dan PKS yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Sejumlah rencana program KMP akan mengembalikan Indonesia ke jaman Orde Baru seperti penghapusan pilkada langsung dan pelibatan TNI dalam menangani ketertiban umum. Sebagai respon atas pencalonan Prabowo, dibentuk Indonesia Tanpa Militerisme (ITM) dan Gerakan Buruh Melawan Lupa yang menuntut Prabowo Subianto didiskualifikasi. Saat itu, KMP menguat, memenangkan lebih dari separuh kursi parlemen dan didukung oleh serikat buruh yang paling termobilisir, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Setelah kemenangan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden, desakan terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu kembali menguat. Aktivis HAM menginisiasi pengadilan tribunal kasus 65 di Belanda. Selanjutnya, pemerintah menggelar Simposium 65 untuk mencari titik temu. Upaya-upaya penggalian kuburan massal semakin banyak dilakukan merespon pernyataan Menko Polhulkam Luhut Panjaitan yang mempertanyakan mana kuburan massal tersebut. Semakin banyak fakta terungkap, fobia komunisme kembali dihidupkan.

Kali ini, fobia ini tidak hanya menggerakan kelompok paramiliter dalam membubarkan acara pemutaran film dan diskusi yang bertema 65. Tentara juga tampil secara langsung, semisal dalam melakukan razia terhadap buku-buku kiri di toko-toko buku dan pelarangan penggunaan logo berbau komunis. Aktivis maupun orang biasa yang menggunakan simbol palu arit diburu dan ditangkap, termasuk aktivis bernama Adlun Fikri dan Supriyadi Sawai dibawa ke Markas Kodim 1501 Ternate. Buku, kaos dan laptop ikut disita.

Pemerintahan Jokowi yang melakukan sejumlah kompromi memang mampu menarik dukungan dari unsur-unsur KMP, termasuk Golkar. Namun, militerisme itu bukan hanya sebatas representasi KMP dan Prabowo belaka.

Militerisme di Indonesia berakar dari sejarah di mana pada tahun 1948 kabinet Hatta melaksanakan kebijakan rasionalisasi di tubuh militer yang dampaknya lebih banyak menampung dan menaikkan pangkat eks tentara KNIL dan PETA. Akibatnya, kepemimpinan tentara mewarisi watak kolonial Belanda dan fasisme Jepang. Juga gerakan nasionalisasi aset Belanda pada akhir tahun 1950an diambil oleh militer sehingga memperkuat otoritas militer dalam bidang ekonomi.

Menjelang tahun 1965, kelompok kanan yang mengalami kekalahan dalam politik menyandarkan diri pada kekuatan tentara. Suksesi kekuasaan yang dilakukan oleh militer dengan memberangus kelompok kiri secara fisik dan politik pada tahun 1965. Kekuasaan Orde Baru membangun hegemoni dwi fungsi militer (ABRI) selama 32 tahun. Gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan Suharto pada tahun 1998 dan melahirkan reformasi yang mencabut Dwi Fungsi ABRI. Memang, militer aktif berhasil didesak keluar dari parlemen dan jabatan eksekutif. Namun, militer masih berbisnis, tentara pensiunan masih berpolitik dan markas-markas komando teritorial masih tegak berdiri di tengah kota.

Generasi kita tidak saja mewarisi hegemoni militeristik yang begitu kuat, yang dapat membuat orang awam merindukan kembali ke masa Orde, generasi kita juga mewarisi kepengecutan elite politik sipil yang gemar berkompromi untuk menghindari konfrontasi langsung dan gemar bersandar ke bahu tentara dalam menghadapi perlawanan dari gerakan rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengorbanan Terbaik Manusia Indonesia*

Oleh: Sherr Rinn “Orang yang paling bahagia adalah mereka yang memberikan kebahagiaan terbesar kepada orang lain.” (Status Facebook Sondang Hutagalung, 19 September 2011) “Untuk memberikan cahaya terang kepada orang lain kita jangan takut untuk terbakar. Dan bagi mereka yang terlambat biarlah Sejarah yang menghukum-nya.” (Sondang Hutagalung)

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg...

“No Right, No REDD”

REDD (Reducing Emission From Deforestation and Degradation) belum berhenti diperdebatkan. Belum tercapai suatu kesepakatan final mengenai bentuk dari program REDD itu sendiri. Di tengah pergumulan itu, suatu program ujicoba (eksperimen) layak dicoba.  Itulah barangkali eksperimen yang tengah ditempuh oleh kerjasama Pemerintah Indonesia dan Norwegia yang sudah disepakati Mei 2010 lalu. Kesepakatan program REDD telah bergerak pula ke Sulawesi Tengah sebagai salah satu propinsi yang memiliki vegetasi hutan seluas sekitar 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari wilayah Provinsi. Bernama United Nations on Reducing Emission From Deforestation and Degradation (UN-REDD) yang didukung oleh Pemerintah Norwegia secara khusus di Sulawesi Tengah. Program ini dipersiapkan untuk menghadapi program REDD+ secara nasional untuk tahun 2012 nanti. Sejumlah persiapan telah dilakukan, termasuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) UN-REDD yang dianggotai 76 orang dari berbagai elemen masyarakat. Pembentukan Pok...