Langsung ke konten utama

PHK Karena Bencana Alam Dapat Pesangon


Indonesia adalah negeri yang rawan bencana karena berada di atas lingkaran cincin api (ring of fire). Bencana alam seperti gempa bumi dan erupsi gunung berapi terjadi secara periodik. Ditambah lagi dengan bencana alam yang lebih banyak akibat kerusakan lingkungan hidup seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan.

Gempa bumi 7,4 SR yang diikuti tsunami 4,5 meter pada 28 September 2018 di Kota Palu menyerang daerah pantai tanpa pandang bulu. Tsunami menyapu daerah industri kecil dan pergudangan yang berada di wilayah Mamboro. Tsunami Selat Sunda yang terjadi 22 Desember 2018 juga menyapu hotel-hotel yang berada di sepanjang pantai.

Kalau sudah begini, pemutusan hubungan kerja (PHK) kerap tidak dapat dihindari. Bagaimana aturan PHK karena bencana alam?

PHK dengan alasan bencana alam tergolong sebagai PHK dengan alasan force majeur atau keadaan memaksa (overmacht) yang terjadi di luar kekuasaan para pihak, yakni pengusaha dan pekerja. Ada beragam bentuk keadaan memaksa, seperti kebijakan pemerintah dan bencana alam.

Pasal 164 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan sebagai berikut:

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 

Pemberian pesangon hanya berlaku bagi buruh yang berstatus sebagai karyawan tetap (perjanjian kerja waktu tidak tertentu/PKWTT) atau pekerja yang dinyatakan berhak atas status hubungan kerja PKWTT oleh Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan. Untuk mendapatkan penetapan status hubungan kerja dapat mengajukan permohonan pemeriksaan khusus status kerja kepada Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Permen 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan.

Hak atas kompensasi inilah yang kerap diabaikan saat pekerja dikenai PHK setelah bencana. Padahal kompensasi ini dapat digunakan oleh eks pekerja untuk bekal bertahan hidup setelah bencana atau memulai usaha kecil-kecilan. Jika pesangon tidak dibayarkan dan pihak pekerja telah berusaha berunding dengan pihak perusahaan, maka pekerja dapat mengajukan mediasi ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat.

Mediasi dilakukan untuk mendapatkan anjuran yang dikeluarkan oleh Mediator Disnaker. Apabila salah satu pihak tidak bersepakat menjalankan anjuran, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Namun, PHK bukanlah satu-satunya opsi yang harus ditempuh apabila usaha merugi akibat bencana. Apabila alasannya adalah “kerugian” dan perusahaan akan beroperasi kembali, maka perusahaan dapat mengambil langkah merumahkan pekerja.

Surat Edaran Kemenakertrans No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 menjelaskan PHK haruslah merupakan upaya terakhir setelah dilakukan upaya, salah satunya, meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu.

Dalam Surat Edaran Kemenakertrans No.  SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja, dapat menjadi acuan mengenai pembayaran upah pekerja selama dirumahkan, yakni:

1) Pengusaha membayar upah secara penuh meliputi upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumah, kecuali ada peraturan lain yang diatur dalam peraturan perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama.

2) Pembayaran upah yang tidak penuh dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pihak serikat pekerja atau para pekerja mengenai besaran upah dan lamanya dirumahkan.

3) Apabila tidak ada kesepakatan, maka segera dikeluarkan anjuran tersebut ditolak oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berselisih maka masalahnya agar segera dilimpahkan ke P4 Daerah, atau ke P4 Pusat untuk PHK Massal.

Sejak diundangkannya UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja Industrial (PPHI), masalah PHK menjadi salah satu kasus perselisihan yang diselesaikan dengan urutan sebagai berikut:

1) Perundingan bipartit antara pihak serikat pekerja dan/atau pekerja/buruh. Apabila terjadi kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama; apabila tidak terjadi kesepakatan, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat mengajukan mediasi ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat.

2) Mediasi di Disnaker setempat untuk menghasilkan Anjuran Mediator Disnaker. Setelah dikeluarkannya anjuran, pihak yang tidak bersepakat dengan anjuran, dapat:

3) Mengajukan gugatan perselisihan PHK di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan melampirkan Anjuran tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengorbanan Terbaik Manusia Indonesia*

Oleh: Sherr Rinn “Orang yang paling bahagia adalah mereka yang memberikan kebahagiaan terbesar kepada orang lain.” (Status Facebook Sondang Hutagalung, 19 September 2011) “Untuk memberikan cahaya terang kepada orang lain kita jangan takut untuk terbakar. Dan bagi mereka yang terlambat biarlah Sejarah yang menghukum-nya.” (Sondang Hutagalung)

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg...

“No Right, No REDD”

REDD (Reducing Emission From Deforestation and Degradation) belum berhenti diperdebatkan. Belum tercapai suatu kesepakatan final mengenai bentuk dari program REDD itu sendiri. Di tengah pergumulan itu, suatu program ujicoba (eksperimen) layak dicoba.  Itulah barangkali eksperimen yang tengah ditempuh oleh kerjasama Pemerintah Indonesia dan Norwegia yang sudah disepakati Mei 2010 lalu. Kesepakatan program REDD telah bergerak pula ke Sulawesi Tengah sebagai salah satu propinsi yang memiliki vegetasi hutan seluas sekitar 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari wilayah Provinsi. Bernama United Nations on Reducing Emission From Deforestation and Degradation (UN-REDD) yang didukung oleh Pemerintah Norwegia secara khusus di Sulawesi Tengah. Program ini dipersiapkan untuk menghadapi program REDD+ secara nasional untuk tahun 2012 nanti. Sejumlah persiapan telah dilakukan, termasuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) UN-REDD yang dianggotai 76 orang dari berbagai elemen masyarakat. Pembentukan Pok...