Langsung ke konten utama

MENYOAL IKLAN ROKOK DI UNTAD; BENTUK SERBUAN NEOLIBERALISME TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN

Garda Sulteng (30/03/09)
Kolom Opini
MENYOAL IKLAN ROKOK DI UNTAD;
BENTUK SERBUAN NEOLIBERALISME TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
Oleh: Sarinah*

“Jika kita (pemerintah) ingin menyejahterakan rakyat miskin maka berilah rakyat miskin kekuatan. Dan kekuatan itu bernama pendidikan. Maka berilah rakyat miskin pendidikan” –Hugo Chavez, Presiden Republik Sosialis Venezuela--

Sekilas baliho terpancang berjejer rapi yang terlihat setelah memasuki gerbang Universitas Tadulako adalah hal yang biasa sebagaimana lazimnya tempat-tempat lain di Kota Palu. Namun, menjadi hal yang luar biasa bila kita mau merenungi kembali nilai-nilai pendidikan yang berkontradiktif dengan nilai sebuah iklan rokok. Tak perlu terlalu kompleks indikator penilaian kita, Tri Dharma Perguruan Tinggi –Pendidikan dan Pengajaran; Penelitian, dan; Pengabdian kepada Masyarakat, akan mengantarkan kita pada satu kesimpulan bahwa iklan rokok tak cocok dengan citra institusi pendidikan sekelas UNTAD.

Argumen yang dikeluarkan oleh pihak Universitas dan Bemut juga klasik dan sederhana; DANA. Lalu dimana tanggung jawab negara?? yang secara gamblang diamanahkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 2. Dan lagi, mahasiswa juga sudah membayar biaya perkuliahan. Pihak Universitas yang sangat overprotective dari organ eksternal itu kiranya justru sangat welcome dengan sponsor-sponsor bermodal besar. Hal ini mungkin sangat terkait dengan rencana pem-BHPT-an Untad di tahun 2010.
Keberadaan iklan rokok di Untad yang menjadi polemik ini, sekali lagi, merupakan pembuktian akan kebenaran tesis mengenai dampak neoliberalisme bagi dunia pendidikan; KOMERSIALISASI KAMPUS. 

Apa itu Neoliberalisme??
Menurut penyimpulan Paulus Suryanta Ginting, neoliberalisme dapat dijelaskan sebagai berikut:
Neoliberalisme, bila dikatakan secara retorik, esensinya adalah bagaimana mengusahakan agar perdagangan antar bangsa menjadi lebih mudah. Maksudnya, mengusahakan agar barang-barang, sumber daya, dan perusahaan-perusahaan lebih bebas bergerak, dalam upaya untuk mendapatkan sumber daya yang lebih murah, untuk memaksimalkan keuntungan dan efisiensi.(Paulus S.G. Faktor-faktor Penghambat Kemajuan Perempuan dipublikasikan oleh lmnd-prm.blogspot.com)

Lebih rinci lagi, dalam What is "Neo-Liberalism"? A Brief Definition for Activists, yang ditulis oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Gracia, dari Corporate Watch, poin-poin utama neoliberalisme disebutkan:
Hukum pasar—kebebasan bagi kapital, barang dan jasa, sehingga pasar bisa mengatur dirinya sendiri agar gagasan “tetesan ke bawah” dapat mendistribusikan kekayaan. Juga mencakup upaya agar tenaga kerja tak diwakili oleh serikat buruh, dan menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi mobilitas kapital, seperti peraturan-peraturan. Kebebasan tersebut harus diberikan oleh negara atau pemerintah.
  • Mengurangi pembelanjaan publik bagi pelayanan-pelayanan sosial, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.
  • Deregulasi, agar kekuatan pasar bisa bekerja menurut mekanisme aturannya sendiri.
  • Swastanisasi perusahaan-perusahaan milik publik (seperti perusahaan yang mengelola kebutuhan air, bahkan perusahaan internet).
  • Mengubah persepsi tentang publik dan komunitas menjadi individualisme dan tanggung jawab individual.
  • Neoliberalisme selanjutnya didiktekkan oleh lembaga-lembaga keuangan seperti International Moneter Fund (IMF), World Bank (WB/Bank Dunia), Bank Pembangunan Antar Amerika (Inter-American Development Bank), dan WTO (World Trade Organization) yang biasanya melalui syarat pencairan utang. Dan tentu saja, neoliberalisme bisa menjadi kebijakan satu-satunya di Indonesia melalui para komprador atau AGEN Neolib yang hari ini bercokol di kursi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemilu 2009 pun tak akan menghasilkan perubahan yang signifikan karena tak ada satu pun partai politik peserta pemilu yang berani beroposisi terhadap kebijakan neoliberalisme.

Neoliberalisme – Globalisasi!! tak lain dan tak bukan adalah konsep pemikiran yang diagung-agungkan para ekonom borjuis dunia yang seolah-olah akan memberikan keadilan dan kemakmuran dengan disingkirkannya hambatan-hambatan antar negara. Padahal sudah jelas saja persaingan ini akan dimenangkan oleh kapitalis di negara-negara maju yang sedari awal berteknologi maju dan modern ketimbang negara-negara berkembang.
Kapitalisme, sesungguhnya memerlukan neoliberalisme sebagai taktik untuk mengobati krisis-krisis periodik kapitalisme, yaitu over produksi sebagaimana yang telah dianalisis oleh Karl Marx 150 tahun yang lalu. Kelimpahan barang-barang (excess supply) karena anarkisme produksi membutuhkan pasar yang seluas-luasnya dan bahan baku murah dari negeri-negeri di dunia ketiga.

Ciri utama dari neoliberalisme adalah internasionalisasi kapital dengan penguasaan langsung perusahaan terhadap pasar dan sumber-sumber daya di negara-negara berkembang melalui investasi, khususnya pertambangan. Dalam hal ini minyak dan gas sebagai bahan baku utama penggerak mesin-mesin produksi keberlangsungan sistem kapitalisme harus dikuasai langsung untuk menjamin akumulasi dan dominasi pasar.

Neoliberalisme di Dunia Pendidikan
Menyingkirkan semua hambatan-hambatan bagi pergerakan kapital agar modal dan hasil produksi berupa barang dan jasa dapat berada di mana saja, termasuk di kampus kendatipun harus menyalahi nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Jumlah mahasiswa Indonesia yang mencapai 4 juta merupakan sasaran pasar yang empuk dan sekaligus menjadikan mahasiswa sebagai konsumen yang siap dihisap melalui pembebanan biaya pendidikan yang mahal.

Selama ini negara tak berdaya dalam menciptkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan kerakyatan. Alokasi anggaran pendidikan dari APBN yang meningkat lamban dari tahun ke tahun—9,1% tahun 2006, 10,3% 2007, dan 12% pada tahun 2008—jika dibandingkan dengan porsi pembayaran utang yang bisa mencapai 25-31% dari APBN merupakan bukti ketidakseriusan pemerintah dalam membangun pendidikan di indonesia

Itulah sebabnya mengapa ada PP 61 tahun 1999 tentang Badan Hukum Perguruan Tinggi suatu bentuk dari privatisasi (swastanisasi) pendidikan yang telah sukses dipraktikkan di kampus-kampus besar semisal UI, ITB, ITS, UGM dan lainnya yang tinggal menunggu waktu saja. Biaya pendidikan pun membengkak, tak terjangkau oleh mayoritas rakyat dan diiringi dengan bertumbuhnya unit-unit usaha swasta di dalam kampus; mall, SPBU, kafe, toko buku dsb. Sebagai contoh saja, dalam tahapan rencana pem-BHPT-an Untad biaya SPP naik hampir 100%. Untuk pembayaran SPP semester genap 2009 Untad ini saja tercatat sebanyak 1550 mahasiswa yang tidak membayar. Alih-alih introspeksi diri dengan menurunkan biaya SPP dan memperbaiki manajemen, pihak universitas justru menyalahkan mahasiswa yang ‘sengaja’ melambat-lambatkan diri membayar SPP.

Menurut data UNDP, HDI (Human Development Index) Indonesia berada pada peringkat 108 sedunia dan masih dibawah Vietnam, dengan usia harapan hidup menempatkan Indonesia pada posisi ke-100. Tingkat pemahaman aksara dewasa di urutan 56. Tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi ada di urutan 110. Sedangkan untuk pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita berada di posisi 113. Meski laporan HDI bukan hanya mengukur status pendidikan (tetapi juga ekonomi dan kesehatan), namun ia merupakan dokumen rujukan yang valid guna melihat tingkat kemajuan pembangunan pendidikan di suatu negara. Menurut data Balitbang Depdiknas 2004 sendiri, tercatat angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Menurut data Susenas 2004, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Setiap tahun, sekitar 211.643 siswa SMP dan madrasah tsanawiyah atau MTs di berbagai pelosok Tanah Air putus sekolah karena sejumlah faktor. Selain itu, sekitar 452.000 tamatan SD dan madrasah ibtidaiyah atau MI tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (KOMPAS, 17/3/2008). Masih terdapat sekitar 200.000 ruang kelas SD yang rusak dan 12.000 ruang kelas SMP yang rusak. Di tingkat SMP/MTs, sebanyak 34,3 persen sekolah belum mempunyai perpustakaan dan 38,2 persen sekolah tidak memiliki laboratorium.

Seolah tak peduli dengan fakta pendidikan Indonesia yang suram, Akhirnya, dengan bangga DPR mensahkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) yang menyulut api perlawanan mahasiswa di mana-mana. Sehingga meski tahun ini telah direalisasikan anggaran pendidikan sebanyak 20% dari APBN 2009 (baca: konsesi belaka), pendidikan di Indonesia yang terbelakang telah mundur lagi jauh ke belakang dengan keberadaan UU BHP tersebut. Eksesnya, institusi pendidikan menjadi menara gading, lembaga seleksi kelas yang hanya orang-orang berduit yang mampu mengenyam biaya pendidikan. Tepatlah, jika proyek yang melahirkan kebodohan struktuktural tengah berlangsung di Indonesia. Hal ini adalah bukti pemerintahan SBY-JK telah gagal dalam menciptakan tenaga produktif maju sebagai kunci untuk membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera dan mandiri.

PP 61 thn 1999 dan UU BHP adalah bentuk deregulasi yang memutuskan tanggung jawab negara berupa subsidi kepada dunia pendidikan; ;swastanisasi; komersialisasi; sponsor dan pengusaha; akhirnya membebankan pendidikan yang sebenarnya berkarakter sosial menjadi tanggung jawab individual; . Jelaslah aturan ini berwatak kapitalistik dan merupakan taktik neoliberal dimana pendidikan dikuasai para pemodal dan tidak lagi diarahkan untuk kebutuhan sosial, namun diperuntukkan bagi mereka yang mampu membayar. Dan bagaimana mungkin rakyat Indonesia yang 43,5%nya hidup di bawah 2 Dollar/hari (WB,2008) akan mampu untuk mengakses biaya pendidikan yang mahal. Kiranya Pemerintah SBY-JK telah menjerembabkan rakyat Indonesia ke dalam kubangan kebodohan dan kemiskinan. UNTAD hanyalah salah satu contohnya.

* Penulis adalah Juru Bicara Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD); anggota Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM) Sulawesi Tengah; anggota Jaringan Nasional Perempuan Mahardika (JNPM).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).