Pemadaman listrik dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa-biasa saja oleh PLN yang memang tidak bertanggung jawab. Bahkan tidak tanggung-tanggung di bulan Ramadhan sekalipun. Pemadaman listrik yang datangnya tiba-tiba seakan sudah menjadi aksi teror bagi masyarakat kota Palu. Yang berbuntut pada kerugian-kerugian material seperti alat-alat elektronik rusak, aktivitas bekerja dan beribadah juga menjadi terganggu. Alasan-alasannya pun selalu klasik; mesin rusak atau batu bara habis. Serta berakhir pada saling tuding menuding antara pemerintah dengan PLN. Padahal Pemerintah (pusat maupun daerah) dan PLN sama-sama harus bertanggung jawab dalam menyediakan listrik untuk rakyat!.
Di sisi lain PLN mampu menyediakan listrik bagi perusahaan swasta, termasuk papan reklame yang selalu menyala terang benderang (hitung saja berapa papan reklame di kota Palu ini). Tidak hanya itu, Tarif Dasar Listrik selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Bahkan Pemerintahan SBY-Budiono sudah merencanakan akan menaikkan TDL lagi karena subsidi listrik akan dihapuskan. Seharusnya Indonesia yang kaya akan sumber daya alam migas dan batubara mampu menyediakan pelayanan listrik murah dan berkualitas. Namun di bawah pemerintahan SBY, kekayaan itu dirampok dan dijarah oleh korporasi asing. Exxon Mobil Oil, salah satu perusahaan minyak AS saja pada tahun 2008 mampu membukukan keuntungan sebesar USD 45.2 Miliar atau bila dalam angka rupiah mencapai Rp433 Trilyun (kurs 1 Dolar=Rp9500). Jumlah ini lebih dari separuh penerimaan APBN 2009 yang sebesar Rp 847,7 trilyun. Inilah wujud dari pemerintahan yang menerapkan kebijakan neoliberalisme. Tidak ada logika kesejahteraan rakyat di bawah neoliberalisme, yang ada adalah logika penjajahan modal.
Sebentar lagi DPR akan mensahkan RUU ketenagalistrikan yang di dalamnya memberikan keleluasaan kepada swasta untuk menjadi produsen listrik dan pemerintah tidak mampu untuk menetapkan harga jual tenaga listrik kepada konsumen (RUU Kelistrikan, pasal 18: 4). Artinya, negara akan benar-benar melepaskan tanggung jawabnya untuk menyediakan listrik murah kepada rakyat. Pemenuhan kebutuhan listrik untuk rakyat diserahkan kepada pemodal yang kebanyakan pemodal asing dan dilemparkan dalam mekanisme pasar. Sepertinya pemadaman listrik memang adalah salah satu skenario untuk memprivatisasikan (swastanisasi) PLN. Langkah ini juga secara langsung mengkhianati UU 1945 pasal 33. Seharusnya negara menjadi pelindung dan berpihak kepada rakyat. Namun justru, rakyat diteror dengan serangkaian kebijakan yang menjerumuskan mayoritas rakyat ke jurang kemiskinan.
Untuk itu, kami dari Aliansi Masyarakat Anti Pemadaman Listrik (AMPEL) menyatakan sikap:
1. Stop Pemadaman Listrik di Kota Palu dan Seluruh Wilayah di Indonesia
2. Tolak Kenaikan Tarif Dasar Listri
3. Tolak Privatisasi PLN
4. Tolak RUU Kelistrikan
5. Listrik Murah dan Berkualitas untuk Rakyat
Dan menyerukan kepada warga kota Palu untuk mendukung dan mengikuti aksi simpatik menyalakan lilin pada hari Sabtu, 29 Agustus 2009 jam 9 malam (selesai shalat tarawih) dan aksi menuntut pada hari Senin, 31 Agustus 2009. Sekian.
Di sisi lain PLN mampu menyediakan listrik bagi perusahaan swasta, termasuk papan reklame yang selalu menyala terang benderang (hitung saja berapa papan reklame di kota Palu ini). Tidak hanya itu, Tarif Dasar Listrik selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Bahkan Pemerintahan SBY-Budiono sudah merencanakan akan menaikkan TDL lagi karena subsidi listrik akan dihapuskan. Seharusnya Indonesia yang kaya akan sumber daya alam migas dan batubara mampu menyediakan pelayanan listrik murah dan berkualitas. Namun di bawah pemerintahan SBY, kekayaan itu dirampok dan dijarah oleh korporasi asing. Exxon Mobil Oil, salah satu perusahaan minyak AS saja pada tahun 2008 mampu membukukan keuntungan sebesar USD 45.2 Miliar atau bila dalam angka rupiah mencapai Rp433 Trilyun (kurs 1 Dolar=Rp9500). Jumlah ini lebih dari separuh penerimaan APBN 2009 yang sebesar Rp 847,7 trilyun. Inilah wujud dari pemerintahan yang menerapkan kebijakan neoliberalisme. Tidak ada logika kesejahteraan rakyat di bawah neoliberalisme, yang ada adalah logika penjajahan modal.
Sebentar lagi DPR akan mensahkan RUU ketenagalistrikan yang di dalamnya memberikan keleluasaan kepada swasta untuk menjadi produsen listrik dan pemerintah tidak mampu untuk menetapkan harga jual tenaga listrik kepada konsumen (RUU Kelistrikan, pasal 18: 4). Artinya, negara akan benar-benar melepaskan tanggung jawabnya untuk menyediakan listrik murah kepada rakyat. Pemenuhan kebutuhan listrik untuk rakyat diserahkan kepada pemodal yang kebanyakan pemodal asing dan dilemparkan dalam mekanisme pasar. Sepertinya pemadaman listrik memang adalah salah satu skenario untuk memprivatisasikan (swastanisasi) PLN. Langkah ini juga secara langsung mengkhianati UU 1945 pasal 33. Seharusnya negara menjadi pelindung dan berpihak kepada rakyat. Namun justru, rakyat diteror dengan serangkaian kebijakan yang menjerumuskan mayoritas rakyat ke jurang kemiskinan.
Untuk itu, kami dari Aliansi Masyarakat Anti Pemadaman Listrik (AMPEL) menyatakan sikap:
1. Stop Pemadaman Listrik di Kota Palu dan Seluruh Wilayah di Indonesia
2. Tolak Kenaikan Tarif Dasar Listri
3. Tolak Privatisasi PLN
4. Tolak RUU Kelistrikan
5. Listrik Murah dan Berkualitas untuk Rakyat
Dan menyerukan kepada warga kota Palu untuk mendukung dan mengikuti aksi simpatik menyalakan lilin pada hari Sabtu, 29 Agustus 2009 jam 9 malam (selesai shalat tarawih) dan aksi menuntut pada hari Senin, 31 Agustus 2009. Sekian.
Palu, Jumat, 28 Agustus 2009
Selebaran ini dikeluarkan oleh:
ALIANSI MASYARAKAT ANTI PEMADAMAN LISTRIK (AMPEL) SULTENG
-- HMI-MPO, KOMRAD, SPHP, LMND-PRM, KONTRAS, FNPBI, SRMK-PRM, BEM UNISA, P2MIB, FEMME PROGRESIF SC, SP-SULTENG --
ALIANSI MASYARAKAT ANTI PEMADAMAN LISTRIK (AMPEL) SULTENG
-- HMI-MPO, KOMRAD, SPHP, LMND-PRM, KONTRAS, FNPBI, SRMK-PRM, BEM UNISA, P2MIB, FEMME PROGRESIF SC, SP-SULTENG --
Komentar
Posting Komentar