Langsung ke konten utama

28 Oktober, Melaporkan Gerakan Persatuan Rakyat untuk Penggulingan Rejim SBY dari Lembah Palu

Pukul 10.00 Wita, suasana sudah ramai di taman Gor Kota Palu. Hampir semua organisasi sudah berkumpul. Tinggal menunggu barisan massa aksi dari BEM Unisa dan BEM Stain yang mengawali aksi mereka dari kampus masing-masing yang terletak di jalan Diponegoro. Berbagai bendera organisasi berkibar-kibar manis di tiang masing-masing yang terbuat dari bambu maupun rotan. Sementara di bawah kibaran bendera-bendera terhampar spanduk dengan guratan kata-kata: “Kaum Muda Bersatu: Gulingkan Pemerintahan SBY.” Para wartawan juga sudah berdatangan, bahkan sudah ada yang meminta selebaran maupun pernyataan sikap. Adapula polisi berpakaian preman yang sudah warawiri sok menyamar jadi wartawan dengan bertanya sana-sini.



Entah darimana datangnya, sekumpulan anak Sekolah Dasar (SD) mendekati atribut aksi. Seorang peserta aksi mengajak anak-anak itu bercanda dan tertawa-tawa.


“Sekolah kalian gratis?” tanya seorang peserta aksi.


Dengan riuh anak-anak itu menjawab, “Tidakkkkkk.”


“Berarti pemerintah bohong, makanya kita harus melawan,” katanya lagi.


“Iya, kita demo saja,” jawab anak-anak itu.


Seorang anak membaca keras-keras, “Lima musuh rakyat: Penjajah Modal Asing, Pemerintahan Agen Kapitalis, Reformis Gadungan, Sisa-sisa Orde Baru, Militer.”


Tentu, anak-anak, kita harus tahu siapa musuh-musuh yang harus kita lawan.


“Ayo anak-anak kembali ke sekolah. Nanti besar baru ikut berjuang,” kata Irwan membubarkan anak-anak tersebut.


Jam 10.46, ratusan massa aksi BEM STAIN dan BEM UNISA sudah tiba tepat di depan gerbang taman Gor bersama-sama dengan Korlap, Hamzah Siji, yang mengarahkan barisan dari atas mobil pick up yang dilengkapi dengan sound system.


Hari ini adalah tanggal 28 Oktober 2010, Hari Sumpah Pemuda yang akan diwarnai dengan perlawanan terhadap rejim SBY-Budiono oleh Aliansi Masyarakat Peduli Bangsa Indonesia (AMPIBI) di kota Palu. Front ini dianggotai oleh BEM Universitas Al-Khairaat (UNISA), BEM Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama Palu, Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (PPBI), Perempuan Mahardhika, Forum Komunikasi (FORKOM) BEM se-kota Palu, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan), Komite Mahasiswa Demokratik (KOMRAD), Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM), Sanggar Seni Kerakyatan (SANSKERTA), Komunitas Muda Progresif (KOMA-Progresif), dan Femme Progresif, bermaksud melakukan aksi longmarch ke gedung DPRD Sulawesi Tengah.


Setelah penggabungan massa dalam satu komando aliansi, 700-an massa siap bergerak menyerang menuju DPRD. Barisan disiapkan, Barisan Pelopor dan pemegang atribut berada pada posisi paling depan massa. Lagu darah juang dinyanyikan untuk membakar semangat. Massa pun, maju jalan. Yel-yel diteriakkan dalam satu suara.


“Kaum muda bersatu, gulingkan SBY; Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan; Pendidikan gratis, sekarang juga; anggota DPR, perampok uang rakyat; Kapitalisme, hancurkan, revolusi sekarang juga; Rakyat berkuasa, hidup sejahtera,” adalah di antaranya pekikan yel-yel yang dikumandangkan oleh barisan massa aksi.


Sepanjang jalan Mawar dan jalan Hasanuddin II, orator dari HMI-MPO menyemangati peserta aksi dengan menyampaikan pentingnya keberanian bagi kaum muda. “Jangan pernah berharap akan ada perubahan kalau dalam pikiran kalian masih ada rasa takut pada hari ini. Jangan pernah bermimpi akan ada perubahan kalau di dalam hati kalian masih terbersit rasa takut pada siapapun. Hari ini, di Sulawesi Tengah, kita akan buktikan bahwa anak muda kerjanya bukan hanya hedon-hedon, bahwa kita kerjanya bukan hanya hura-hura, tapi kita juga bisa memimpin. Coba lihat peta perpolitikan Sulawesi Tengah, semuanya dipimpin oleh orang-orang yang sudah tua. Kita harus memperlihatkan bahwa kaum muda bisa memimpin dan melakukan perubahan,” tegasnya berpidato.


Begitu sampai di Bundaran Hasanuddin, massa aksi berhenti dan menutup satu jalur jalan, agar pengguna jalan tetap bisa lewat di jalur lainnya. Wasir, Ketua BEM STAIN Datokarama Palu membakar massa aksi dengan orasinya yang menyinggung persoalan Bank Sulteng. “…Masih banyak kasus di daerah ini yang belum selesai. Contohnya yang ada di depan kita (menunjuk ke arah Bank Sulteng), di situ, sahabat-sahabat sekalian, ada 42 milyar uang nasabah yang selama bertahun-tahun tidak jelas di mana anggarannya. Kami dari BEM STAIN, pernah melakukan investigasi di DPRD, kami dibilang sebagai wartawan, tapi kami bilang kami adalah mahasiswa dari STAIN yang melakukan investigasi. DPRD berjanji untuk melakukan pengusutan, tapi sampai hari ini, realisasi anggaran nasabah Bank Sulteng tidak ada. Kasihan nasabah, kasihan kaum miskin kota…di mana hati nuraninya ketua Dewan. Mau jadi apa kota Palu kalau ketua Dewannya begitu…semua anggota dewan Sulawesi Tengah telah meninggal dunia, innalillahi wa inna lillahi rajiun...” Wasir sangat kesal pada anggota DPRD yang sudah mati hati nuraninya.


Aksi terus berlanjut. Massa aksi yang dikawal oleh belasan Barisan Pelopor melangkahkan kaki-kaki berderap impian akan perubahan dengan mantap. Titik pemberhentian selanjutnya adalah perempatan Sudirman-Cik Ditiro. Ratusan massa ini menutup jalan, dan sempat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Mimbar itu diisi dengan pidato-pidato politik dari perwakilan PPBI, Ita dan Afdal dari PEMBEBASAN. Ita membeberkan pahitnya kehidupan kaum buruh di bawah kekuasaan elit-elit politik yang menjilat kepada pengusaha. Perempuan progresif ini juga menegaskan pentingnya memiliki kesadaran untuk mengubah nasib sendiri dengan melawan kekuasaan elit-elit penipu rakyat. Sementara Afdal dari PEMBEBASAN, menyatakan harus ada persatuan untuk menggulingkan rezim SBY-Budiono.


Pemberhentian ini tak berlangsung lama. Sisa perjalanan selanjutnya yang kurang lebih hanya 5 menit dikobarkan oleh Hendrik dari PPRM yang dengan lantang bicara harus ada penggulingan rejim SBY-Budiono.


Barisan polisi sudah menunggu di depan gerbang halaman DPRD. Polisi tak mengizinkan masuk. Dengan keras, Jalil menyatakan keharusan bagi AMPIBI untuk masuk ke gedung rakyat yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Begitu juga Muhammad Aksa, anggota KOMRAD, habis-habisan mengecam aparat yang menghalang-halangi massa aksi untuk masuk ke halaman DPRD. Sementara itu, tim negosiator berunding dengan pihak kepolisian agar diizinkan masuk ke halaman gedung DPRD.

“...seharusnya bapak-bapak polisi sadar, bahwa kalian digaji dengan uang rakyat. Seragam kalian, senjata kalian, semuanya dibeli dengan menggunakan uang rakyat. Kami hanya mau masuk...” jelas Jalil.

Setelah para orator selesai menyampaikan orasi-orasinya, Hamzah Sji sebagai korlap aksi kembali mengambil alih kepemimpinan aksi.


“Kita hanya mau masuk, kenapa dihalang-halangi? Ini adalah gedung putih yang dibangun dengan uang rakyat…kawan-kawan sekalian, kalau mau mau lihat binatang tidak perlu jauh-jauh ke kebun binatang. Segala jenis binatang ada di sini, ada di DPRD, ada di Gubernur, ada di Polda, ada di Kejati,” teriaknya sambil mengarahkan telunjuknya ke arah gedung-gedung tersebut yang memang berada saling berdekatan.

Akhirnya pintu gerbang dibuka lebar-lebar alias diizinkan masuk. Bapor (Barisan Pelopor) mengambil formasi paling depan, diikuti dengan pemegang atribut, mobil sound dan iring-iringan massa.


“Di sini negeri kami, tempat padi terhampar luas. Samuderanya kaya raya, negeri kami subur Tuhan…,” sambil menyanyikan lagu darah juang, peserta aksi memasuki halaman DPRD Sulawesi Tengah.


Mobil berhenti. Mimbar orasi kemudian diisi oleh Muhammad Aksa, “…Begitu banyaknya kasus yang sumbernya datang dari gedung ini: kasus korupsi dana Mall, kasus Bank Sulteng, dan kasus korupsi pembangunan gedung DPRD. Coba lihat gedung DPRD di belakang sana, yang sudah menghabiskan anggaran milayaran rupiah tapi sampai hari ini belum bisa digunakan karena belum selesai karena dananya sudah habis dikorupsi. Kawan-kawan tentu belum lupa akan puluhan penderita busung lapar ditemukan di Sigi, apa kerjanya anggota Dewan ini…”


AMPIBI berniat untuk melakukan teatrikal di dalam gedung DPRD yang mempertontonkan ketidakbecusan wakil rakyat dalam menjalankan tanggungjawab mereka. Korlap bersama-sama dengan tim negosiator meminta kepada polisi yang menghadang mereka di depan pintu gedung agar mengijinkan massa aksi masuk. Namun, polisi maupun pihak DPRD tidak mengijinkan dengan alasan ada rapat DPRD bersama dengan unsur-unsur Muspida, yaitu Kapolda, Gubernur dan Kejati di dalam gedung DPRD. Massa tidak puas dengan jawaban ini, dan semakin berang mendengar para penipu sedang berkumpul dalam satu meja di dalam gedung itu.


“Kami hanya mau masuk, Pak. Kenapa kami tidak boleh masuk, padahal gedung ini dibangun dengan uang rakyat?” teriak seorang peserta aksi dari dalam barisan.


Dalam upaya untuk masuk ke gedung DPRD, ada provokasi-provokasi yang datang dari orang yang bukan bagian dari massa aksi. Sejumlah peserta aksi mengidentifikasinya sebagai intel yang memang suka berkeliaran tak jelas menggembosi aksi-aksi terdahulu. Bentrokan tak terhindarkan lagi. Diawali dengan saling dorong sebagai upaya massa untuk masuk ke dalam. Suasana menjadi ricuh dengan adanya aksi saling dorong. Polisi menyerang dengan lebih keras, hingga mengejar massa di halaman gedung DPRD. Terjadi saling kejar-mengejar. Begitu terjadi bentrokan seperti ini, intel-intel yang langsung main pukul dan yang paling beringas.


Situasi menjadi tak terkendali. Massa aksi terpencar ke beberapa titik terpisah. Begitu satu titik berhasil untuk ditengahi, menyusul baku hantam di titik yang lainnya. Bahkan dalam upaya untuk menenangkan massa yang sudah mengamuk tepat di depan gedung DPRD, polisi mendorong dan menendang hingga ada peserta aksi yang jatuh dan diinjak-injak. Massa yang awalnya menghindar, kembali menyerang untuk menolong kawannya yang terjatuh. Tidak hanya itu, ada seorang lagi yang mengalami patah kaki karena terjatuh diserang polisi dan diinjak kakinya.


Tak hanya sampai di situ. Tiga orang peserta aksi dinyatakan hilang. Mereka adalah Risdiyanto dari PPBI, Muh. Ojan dari UNISA dan Adri Hamu yang juga dari UNISA. Anto sempat mengirimkan SMS kepada seorang kawan untuk memberitahukan bahwa dirinya sedang ditangkap oleh polisi dan dipukuli hingga mulutnya berdarah. Seorang wartawan juga mengalami benjol berdarah di kepalanya akibat terkena lemparan batu. Yang lebih kurang ajarnya lagi, polisi meminta agar massa aksi mundur, baru mau melepaskan peserta aksi yang ditangkap. Situasi benar-benar menjadi kacau.


Dua orang anggota Dewan yang sejak tadi melihat seluruh kejadian itu di depan batang hidungnya, mengajak massa aksi untuk berdialog di lapangan, dengan alasan kalau di dalam gedung tidak akan muat. Bersama seorang polisi, ia ingin mendengarkan tuntutan massa aksi. Tetapi kembali lagi, perwakilan dari AMPIBI menegaskan bahwa aksi itu bukan merupakan aksi yang menaruh harapan kepada elit-elit politik karena elit-elit politik yang ada di parlemen saat ini tidak satupun yang akan mampu memenuhi tuntutan-tuntutan perjuangan gerakan. Sudah berkali-kali dialog-dialog dilakukan, apalagi posisi gerakan jelas untuk menggulingkan Pemerintahan Agen Kapitalis, SBY-Budiono dan tidak tidak percaya lagi pada semua elit-elit busuk di parlemen. Kalaupun mau melakukan dialog, pihak kepolisian dan DPRD harus bertanggungjawab dengan menyeret pelaku-pelaku melakukan tindak represi terhadap aksi tersebut.


Pimpinan-pimpinan organisasi yang tergabung dalam AMPIBI melakukan perundingan dengan memisahkan diri untuk membahas langkah apa yang akan diambil selanjutnya.Panggung sound lalu diisi dengan pidato politik dari Risdiyanto PPBI.


“Mengapa kita direpresif, kawan-kawan? Jawabannya adalah itu karena ada antek-anteknya kapitalis. Parlemen, kepolisian, TNI dan semua elit-elit politik yang menghamba kepada asing, imprealisme. Oleh karena itu, tindakan represif aparat kepolisian tadi itu adalah konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang terus diamini oleh rezim sekarang ini. Itulah model sistem kapitalisme; itulah model sistem yang tidak memanusiakan manusia; itulah sistem yang berdasarkan penghisapan manusia atas manusia yang lainnya, kawan-kawan…hari ini kita berada di sini adalah untuk menyampaikan apa yang menjadi sikap politik kita, kawan-kawan, tapi apa yang kita dapati adalah tindakan represif dari aparat kepolisian, kawan-kawan. Aparat kepolisian telah melanggar hak-hak azasi manusia, kawan-kawan. Perjuangan kita hari ini adalah perjuangan kemerdekaan bagi rakyat, perjuangan kemerdekaan untuk menciptakan masyarakat tanpa penindasan. Tidak akan ada kemerdekaan di bawah sistem kapitalisme. Kita butuh sebuah sistem baru, sistem yang tanpa penindasan, yang hanya bisa kita perjuangkan lewat penggulingan kekuasaan, lewan penggulingan kekuasaan rezim kapitalisme saat ini. Kita harus memperjuangkan pemerintahan rakyat miskin. Bahwa buruh mampu memerintah, bahwa petani mampu memerintah, bahwa mahasiswa mampu memerintah, bahwa kaum miskin kota mampu memerintah…” tak peduli dengan memar di wajahnya, suaranya ternyata masih tetap berkobar.


Perundingan tak memakan waktu yang terlalu lama. AMPIBI memutuskan untuk mengusut kasus tersebut dan dengan tetap fokus pada isu Gulingkan SBY-Budiono. Massa aksi kembali dipimpin untuk pulang ke Taman Gor. Sementara peserta yang mengalami cedera di kakinya dilarikan ke RS Undata Palu.


“Kita akan datang lagi, kawan-kawan, dengan massa yang lebih besar. Perjuangan kita tidak sampai di sini, hingga SBY turun dari jabatannya,” tegas Hamzah Siji, korlap berkalung sorban yang juga ketua BEM UNISA ini, dengan lantang.


13.32 Wita, dalam perjalanan pulang, massa aksi hampir saja melampiskan amarahnya dengan menghancurkan mobil polisi. Namun, hal itu tidak sampai terjadi setelah dicegah oleh Korlap dan karena mobil tersebut adalah mobil Ambulance polisi. Sampai di Taman Gor, massa aksi tetap solid.

Sekian, melaporkan langsung dari tempat kejadian.’_’.


Palu, 28 Oktober 2010
SR


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).