Kutuk Aparat Polisi, BEM STAIN Gelar Aksi di Depan Kampus
Hari ini (Senin, 01/11), jam 10.00 Wita, BEM Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama Palu menggelar aksi di depan kampus. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk kecaman terhadap tindak represi aparat pada aksi sebelumnya empat hari yang lalu. Dilaporkan pula, Supriadi, mahasiswa Universitas Al-Khairaat (UNISA) Palu sampai hari ini belum dapat berjalan akibat kekerasan aparat polisi dalam aksi 28 Oktober lalu. Turut pula unsur-unsur organisasi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Bangsa Indonesia (AMPIBI) menghadiri aksi mimbar bebas yang diwarnai dengan aksi bakar ban itu.
Sempat terjadi kemacetan lalu lintas karena mahasiswa tidak mengizinkan pengguna jalan untuk melawati jalur yang berada tepat di depan kampus STAIN. Pengguna jalan lalu dialihkan ke jalur lainnya. Aksi ini dipimpin, Ajwir dari BEM STAIN Datokarama Palu. Sebagai Korlap, ia mempersilahkan pimpinan-pimpinan organisasi yang hadir untuk menyampaikan orasi politiknya.
Hamzah Siji, Ketua BEM Universitas Al-Khairaat yang juga hadir menyatakan dengan tegas untuk terus melanjutkan gerakan persatuan yang telah dibangun.
“Kita membutuhkan militansi dan solidaritas untuk terus menggelorakan perlawanan rakyat, karena saya yakin bahwa gerakan akan lahir dan datangnya dari Sulawesi Tengah, kawan-kawan. Tidak ada gerakan besar yang akan terjadi jika tidak lahir dari rakyat, kawan-kawan. Rentetan aksi mulai dari tanggal 20 Oktober, 28 Oktober dan sampai hari ini, dan kita juga akan turun secara besar-besaran pada tanggal 10 November nantinya, masih semangat, kawan-kawan? (serentak disambut dengan jawaban “Masih!”) Siap melakukan aksi balasan? (massa aksi menjawab “Siap!”) Jangankan polisi, kawan-kawan, setan pun, kita tidak perlu gentar. Kita menyuarakan kebenaran, kenapa harus takut? Kita perjuangkan keadilan, kenapa harus gentar, kawan-kawan? Polisi tidak ubahnya seperti cacing-cacing tanah, tikus, yang beraninya hanya melawan mahasiswa yang bersenjatakan megaphone dan spanduk. Itulah watak asli aparat kepolisian, tapi saya kira kawan-kawan di sini tidak akan pernah gentar, tapi berani melawan aparat dan pemerintah yang menghalangi demokrasi di Indonesia...,” pidato Hamzah Siji, dalam aksi tersebut.
Tepat jam 11.17 Wita, Bambang dari Komite Mahasiswa Demokratik (KOMRAD) menghimbau kepada mahasiswa yang hadir untuk menyikapi kasus represi aparat dengan semakin menguatkan gerakan mahasiswa sebagai agent of change. Menurutnya, mahasiswa adalah pelopor dari gerakan rakyat, karena saat ini rakyat ditimpa berbagai kesulitan dalam mengakses kehidupan yang layak di negeri. Gerakan rakyat saat ini belumlah terorganisir, masih membutuhkan mahasiswa sebagai pelopornya. Sejatinya, mahasiswa harus mau mengorganisasikan rakyat di luarnya agar melawan sistem yang menindas, yaitu sistem kapitalisme dengan neoliberalismenya yang terus dipertahankan oleh Rejim SBY-Budiono dan elit-elit di parlemen. Mereka adalah aktor dari segala kesengsaraan dan permasalahan sosial di negeri ini.
“…sebut saja privatisasi di dunia pendidikan yang kemarin kita kenal dengan BHP adalah suatu upaya untuk mengkomersialisasikan dunia pendidikan. Yang pada akhirnya, pendidikan tidak mampu diakses anak-anak buruh; yang pada akhirnya, pendidikan tidak mampu diakses anak-anak petani, sebab pendidikan semakin mahal…” jelas Bambang dalam orasinya.
Aksi itu juga menegaskan konsistensi unsur-unsur organisasi yang tergabung dalam AMPIBI Sulteng untuk terus melanjutkan gerakan hingga tanggal 10 November nanti, sebagaimana yang diungkapkan oleh Moh. Aksa dari Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM). “Tindakan aparat ini tidak boleh kita biarkan. Tanggal 5 akan kita adakan aksi lagi, puncaknya sampai dengan tanggal 10 yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional…kita akan mobilisasi paling sedikit 2000 orang. Kita sudah melist akan ada sekitar 50 organisasi yang turun dalam aksi 10 November nanti…tanggal 5 dan tanggal 10 kita akan melakukan aksi protes sebagai bentuk komitmen kita terhadap cita-cita kita untuk memperjuangkan hak-hak rakyat dan mahasiswa yang selama ini dirampas, dirampok oleh penguasa di negeri ini. Tidak penguasa kampus, tidak penguasa, daerah, tidak penguasa nasional, semuanya sama, merampas hak-hak mahasiswa. Oleh karena itu, kawan-kawan kita galang persatuan. Di mana pun kita membicarakan persatuan, di kantin-kantin, di kelas-kelas, di mana kita harus menyerukan untuk menyikapi represifitas aparat dan membangun gerakan yang lebih luas lagi…”
Jam 11.29 Wita, Risdiyanto perwakilan dari Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia menyampaikan orasi politiknya. “Assalamu Alaikum War. Wab., hidup mahasiswa, hidup rakyat yang berlawan. Yak, terima kasih, kawan-kawan, hari ini adalah aksi kita sebagai bentuk perlawanan kita atas represi aparat terhadap gerakan Aliansi Masyarakat Pedul Bangsa Indonesia (AMPIBI) Sulteng. Aparat kepolisian sejatinya adalah pelindung bagi pemilik modal, pelindung bagi pemerintah agen penjajah modal. Kekerasan yang dilakukan oleh polisi adalah hal yang membuktikkan bahwa mereka diciptakan sebagai alat kekerasan negara untuk melanggengkan modal-modal internasional masuk ke negeri kita untuk merampok seluruh kekayaan negeri kita. Bagaimana pemerintah SBY-Budono beserta elit-elit parlemennya dan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2-nya akan memberlakukan kebijakan Protap 1, dimana isiannya adalah tembak di tempat terhadap aksi-aksi yang dianggap dianarkis. Itu adalah cerminan penyempitan ruang demokrasi di negeri ini, di mana demokrasi hanya menjadi slogan saja. Demokrasi hanya menjadi angan-angan, tidak terwujud dalam pemerintahan SBY-Budiono karena itulah watak dari kapitalisme. Karena kapitalisme tidak pernah konsisten dalam memperjuangkan demokrasi. Demokrasi yang sesejati-sejatinya hanya akan mampu diberikan oleh pemerintahan rakyat; pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Pemerintahan seperti apa itu, kawan-kawan? Itulah pemerintahan persatuan rakyat miskin, sebuah pemerintahan yang berwatak kerakyatan. Pemerintahan yang demokratis, ekologis, pemerintahan yang ramah lingkungan…, jelas Risdiyanto dalam orasinya.
Mimbar bebas ini ternyata tidak berjalan mulus. Azma, Pembantu Tiga Ketua STAIN menganggap aksi tersebut mengganggu aktivitas perkuliahan mahasiswa dan merusak nama baik STAIN. “Kalau sudah ada yang namanya buruh tani, itu bukan bagian dari kita sebagai pendidikan tinggi. Lebih baik kalian cari tempat yang netral, di Taman Gor atau di mana,” katanya.
Wazir Muhaemin, Ketua BEM STAIN, menjelaskan bahwa aksi tersebut tidak bermaksud mengganggu karena dilakukan di depan kampus dan bukan di dalam. Aksi tersebut juga akan digilir ke kampus-kampus lain, termasuk di UNISA. Akhirnya, Pembantu Ketua Tiga STAIN membiarkan saja aksi terus berlanjut.
Padahal mimbar bebas tersebut juga tidak memaksakan mahasiswa untuk meninggalkan kuliah. Miris rasanya, mendengarkan kaum buruh tani, bagi birokrasi kampus tak pantas diperjuangkan; tak pantas bagi buruh tani menyuarakan aspirasinya di depan gedung megah pendidikan tinggi. Tentu saja, di kepala birokrat semacam itu tahu betul bahwa anak-anak buruh tani miskin tak akan mampu untuk mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Jumlah mahasiswa memang semakin menipis, hanya sekitar 4 juta orang atau sekitar 16% saja angkatan muda yang berstatus mahasiswa. Sisanya 84%! Jumlah yang mencengangkan.
Gerakan rakyat di segala sektor memang dipenuhi berbagai hambatan. Gerakan mahasiswa dihambat oleh birokrasi kampus; gerakan buruh dihalang-halangi oleh pihak perusahaan dengan adanya larangan berserikat, dan banyak lagi. Tapi, satu hal yang pasti, kita akan selalu mencari jalan untuk melewati hambatan-hambatan itu, karena tak ada jalan lain, selain melancarkan gerakan perubahan. Tak ada jalan lain, selain revolusi.(Sr)
Komentar
Posting Komentar