Langsung ke konten utama

LAWAN PEMADAMAN LISTRIK

Pemilu elit 2009 sudah usai, yang kembali dimenangkan pemerintahan SBY-Budiono. Rakyat yang akan menanggung akibatnya, karena pemerintahan SBY Budiono akan tetap seperti sebelumnya menjalankan kebijakan-kebijakan yang anti rakyat, yaitu kebijakan neoliberalisme.



Terbukti salah satunya dengan kasus pemadaman listrik di Kota Palu dan berbagai daerah lainnya, dimana hal ini terjadi karena porsi anggaran untuk pengadaan listrik sangatlah kecil sehingga PLN tidak mampu untuk mengadakan infrastruktur seperti mesin-mesin baru dan bahan bakar. Pemerintahan agen neolib lebih memilih untuk membayar utang luar negeri yang jumlahnya mencapai 100-200 Trilyun setiap tahun dan menghambur-hamburkan uang untuk belanja pejabat. Bayangkan saja anggaran untuk pelantikan anggota dewan mencapai 48 M. Ini lah hasil dari kepatuhan rezim penjajah modal SBY-Budiono kepada lembaga-lembaga donor internasional (IMF, World Bank, WTO dsb).

Ditambah lagi sekarang ini pemerintah SBY-Budiono sedang bersiap-siap untuk mensahkan RUU (Rancangan Undang-Undang) Kelistrikan yang baru yang di dalamnya memuat bahwa listrik bisa dikelola swasta. artinya listrik akan semakin mahal, di tengah harga minyak dunia yang terus naik dan perusahaan swasta yang selalu berlogika keuntungan semata. Contohnya saja, PLTU Mpanau yang notabene sebagian sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Kota Palu, terus menuntut untuk dinaikkan harga listriknya kepada PLN. Dan akhirnya PLN akan menaikkan tarif listrik sebesar 20-30% kepada warga.

Alasan pemadaman listrik selalu lah alasan yang klasik dan dibuat-buat: batu bara habis, mesin rusak dsb. Dalam demonstrasi Ampel ke PLN tanggal 31 Agustus lalu, PLN sudah menyatakan tidak ada solusi untuk menghentikan pemadaman. Artinya, pemadaman tidak akan berhenti dan manajemen PLN sendiri tidak berdaya selain menjalankan kebijakan busuk dari Pemerintahan SBY-Budiono yang akan mensahkan RUU Kelistrikan dan menaikkan Tarif Dasar Listrik.

Padahal Indonesia yang kaya akan sumber daya alam migas dan batubara yang jika diolah secara mandiri di bawah kontrol buruh dan rakyat, maka akan mampu menyediakan pelayanan listrik murah dan berkualitas serta membiayai program-program kerakyatan seperti pendidikan dan kesehatan gratis.

Untuk itu, kami dari Aliansi Masyarakat Anti Pemadaman Listrik (AMPEL) Sulteng sebagai Front yang independen menolak berkooperasi dengan elit manapun, menyatakan sikap dan menyerukan:

  1. Lawan Pemadaman Listrik
  2. Boikot Pembayaran Listrik
  3. Tolak RUU Kelistrikan
  4. Tolak swastanisasi PLN
  5. Ganti Pemerintahan Boneka Penjajah Modal (SBY-Budiono)
  6. Bentuk Pemerintahan Rakyat Miskin.
  7. Nasionalisasi Aset-aset asing di bawah kontrol buruh dan rakyat.
Sekian.

Palu, 16 September 2009

Selebaran ini dikeluarkan oleh:
ALIANSI MASYARAKAT ANTI PEMADAMAN LISTRIK (AMPEL) SULTENG
-KOMRAD, KPRM-PRD. PPRM. HMI-MPO, LMND-PRM, FEMME PROGRESIF-SC, SRMK-PRM, KOMA PROGRESIF –
Central informasi: Jl. Lasoso No. 54 Palu Barat Sulteng. Cp: 085256011381 (Bambang)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).