PERNYATAAN SIKAP
FRONT PERSATUAN RAKYAT MISKIN SULAWESI TENGAH (FPRM-SULTENG)
(KPRM-PRD, LMND-PRM, PPRM, KOMA PROGRESIF, FEMME-PROGRESIF, PERSATUAN MAHASISWA PRO DEMOKRASI, KOMRAD, SRMK-PRM)
FRONT PERSATUAN RAKYAT MISKIN SULAWESI TENGAH (FPRM-SULTENG)
(KPRM-PRD, LMND-PRM, PPRM, KOMA PROGRESIF, FEMME-PROGRESIF, PERSATUAN MAHASISWA PRO DEMOKRASI, KOMRAD, SRMK-PRM)
USUT TUNTAS SEMUA KASUS PELANGGARAN HAM, TEGAKKAN HAM DENGAN MEMBANGUN ORGANISASI PERSATUAN RAKYAT YANG NON KOOPTASI DAN NON KOOPERASI
10 Desember adalah Hari Hak Asasi Manusia sedunia yang diperingati setiap tahunnya dengan mobilisasi-mobilisasi massa sebagai bentuk perlawanan terhadap berbagai pelanggaran HAM yang terjadi karena sistem kapitalisme yang memang tidak memanusiakan manusia.
Sejarah pemikiran HAM juga merupakan pergulatan pemikiran dari kekuatan produktif yang direvolusionerkan oleh perkembangan kemajuan alat produksi. Peningkatan kemakmuran (kelimpahan hasil produksi/kekayaan material) mendorong terjadinya masyarakat berkelas (yaitu: masyarakat yang memiliki alat-alat produksi dan masyarakat yang tidak memiliki alat-alat produksi) yang semakin menuntut diakuinya hak individual bagi klas pemilik alat produksi.
Puncak pemikiran ini terjadi di Inggris ketika para Baron bergerak melawan kekuasaan absolut raja John I yang gemar menarik pajak yang tinggi, tanpa dilibatkan dalam proses politik (pengambilan keputusan). Konsep–hubungan kekuasaan dan warga negara— terus berkembang hingga pada satu fase dimana kekuasaan absolut monarkhi (dengan semua pemikiran konservatifnya) kehilangan keabsyahannya dan melahirkan konsep negara modern.
Konsep negara modern hari ini tidak serta merta melahirkan perwujudan penegakkan HAM, karena sistem kapitalisme yang berdasar kepada kepemilikan pribadi adalah sumber dari semua pelanggaran HAM karena sistem ini didirikan di atas dasar penghisapan mayoritas rakyat oleh para pemilik modal.
Di Indonesia, pelanggaran HAM lebih parah lagi karena adanya warisan feodalisme, kapitalis bersenjata dan lemahnya tenaga produktif melahirkan pemerintahan yang despotik (Orde Baru). Dari semua institusi yang memiliki kewenangan untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM tidak ada yang mampu menyeret jendral-jendral pelanggar HAM. Padahal bagaimana kekejaman bangsa ini yang membantai hampir 3 juta jiwa rakyat Indonesia pada periode 1965-1969, belum lagi kasus Talangsari, Kedung Ombo, Marsinah, Kasus 27 Juli, Tanjung Priok, Ambon - Aceh Berdarah, Mei 98, dsb yang sampai hari ini tidak jelas penanganan kasusnya kalaupun ada, tetapi belum mampu menyeret otak-otak pelaku. Ini dikarenakan seluruh spektrum politik yang ada di parlemen kita adalah kekuatan-kekuatan lama yang sebenarnya tokoh-tokohnya adalah terlibat. Belum lagi soal posisi para reformis gaadungan yang takut dan pengecut berhadapan dengan kekuatan ini.
Kemenangan SBY-Budiono pada pemilu 2009 lalu juga tidak akan mampu menuntaskan kasus pelanggaran HAM malah akan semakin meningkatkan kadar represifitas. Kebijakan-kebijakan neoliberalisme yang telah merenggut hak-hak dasar rakyat akan menciptakan perlawanan dimana-mana dan oleh rezim akan diselesaikan dengan cara-cara militeristik. Berbagai kasus perampasan tanah rakyat, penggusuran, demontrasi diwarnai berbagai penangkapan bahkan penembakan warga oleh pihak militer. Korupsi yang memakan uang rakyat sehingga merebut hak-hak dasar kesejahteraan rakyat juga tidak mampu diselesaikan sampai saat ini.
Hasil Pemilu 2009 telah nampak di depan mata semakin represif dan memiskinkan sehingga kita harus mengorganisasikan perlawanan rakyat dengan prinsip politik yang tepat, yaitu prinsip politik nonkooptasi dan nonkooperasi yang artinya kita harus menolak untuk bekerja sama dan dicampuri oleh elit-elit politik yang hari bercokol di pemerintahan.
Untuk itu, kami menyatakan sikap:
1. Usut tuntas semua kasus pelanggaran HAM.
2. Seret jenderal-jenderal pelanggar HAM ke pengadilan HAM.
3. Bubarkan komando teritori.
4. Gulingkan Rezim penjajah modal, SBY-Budiono.
5. Bentuk Pemerintahan Rakyat Miskin.
Selain itu, ditengah-tengah praktek pemerintahan yang represif dan mengabdi pada modal, tuntutan mendesak yang harus segera kita perjuangkan adalah:
1. Turunkan Harga Sembako
2. Pendidikan dan Kesehatan Gratis
3. Kenaikan Pendapatan dan Lapangan Pekerjaan
4. Perumahan, Air Bersih, Energi, serta Transportasi Murah dan Massal
5. UU Politik dan Pemilu yang Demokratis
6. Penulisah Sejarah yang Jujur; Mengembalikan Ingatan Sejarah Rakyat
7. Pengadilan dan Penyitaan Harta Soeharto/Kroni, dan Koruptor Lainnya
8. Kuota 50% Perempuan untuk Semua Jabatan Publik
9. Perbaikan Kerusakan Lingkungan
Tuntutan ini hanya akan tercapai bila kita rebut dengan jalan mengganti pemerintahan borjuis dengan pemerintahan rakyat miskin. Maka hal yang harus kita lakukan adalah dengan mengorganisasikan segenap kekuatan dan perlawanan rakyat ke dalam wadah-wadah politik persatuan yang mandiri sebagai cikal bakal dari pemerintahan politik rakyat miskin yang nantinya akan mewujudkan program-program sosialis dengan dibiayai dari pemutihan utang, industri nasional, penyitaan harta koruptor dan lain-lain.
Palu, 10 Desember 2009
Korlap
Abd. Kadir Jaelani
Korlap
Abd. Kadir Jaelani
Komentar
Posting Komentar