Langsung ke konten utama

SIKAP Peringatan Hari HAM se-DUnia 2009

PERNYATAAN SIKAP
FRONT PERSATUAN RAKYAT MISKIN SULAWESI TENGAH (FPRM-SULTENG)
(KPRM-PRD, LMND-PRM, PPRM, KOMA PROGRESIF, FEMME-PROGRESIF, PERSATUAN MAHASISWA PRO DEMOKRASI, KOMRAD, SRMK-PRM)


USUT TUNTAS SEMUA KASUS PELANGGARAN HAM, TEGAKKAN HAM DENGAN MEMBANGUN ORGANISASI PERSATUAN RAKYAT YANG NON KOOPTASI DAN NON KOOPERASI

10 Desember adalah Hari Hak Asasi Manusia sedunia yang diperingati setiap tahunnya dengan mobilisasi-mobilisasi massa sebagai bentuk perlawanan terhadap berbagai pelanggaran HAM yang terjadi karena sistem kapitalisme yang memang tidak memanusiakan manusia.

Sejarah pemikiran HAM juga merupakan pergulatan pemikiran dari kekuatan produktif yang direvolusionerkan oleh perkembangan kemajuan alat produksi. Peningkatan kemakmuran (kelimpahan hasil produksi/kekayaan material) mendorong terjadinya masyarakat berkelas (yaitu: masyarakat yang memiliki alat-alat produksi dan masyarakat yang tidak memiliki alat-alat produksi) yang semakin menuntut diakuinya hak individual bagi klas pemilik alat produksi.
Puncak pemikiran ini terjadi di Inggris ketika para Baron bergerak melawan kekuasaan absolut raja John I yang gemar menarik pajak yang tinggi, tanpa dilibatkan dalam proses politik (pengambilan keputusan). Konsep–hubungan kekuasaan dan warga negara— terus berkembang hingga pada satu fase dimana kekuasaan absolut monarkhi (dengan semua pemikiran konservatifnya) kehilangan keabsyahannya dan melahirkan konsep negara modern.

Konsep negara modern hari ini tidak serta merta melahirkan perwujudan penegakkan HAM, karena sistem kapitalisme yang berdasar kepada kepemilikan pribadi adalah sumber dari semua pelanggaran HAM karena sistem ini didirikan di atas dasar penghisapan mayoritas rakyat oleh para pemilik modal.

Di Indonesia, pelanggaran HAM lebih parah lagi karena adanya warisan feodalisme, kapitalis bersenjata dan lemahnya tenaga produktif melahirkan pemerintahan yang despotik (Orde Baru). Dari semua institusi yang memiliki kewenangan untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM tidak ada yang mampu menyeret jendral-jendral pelanggar HAM. Padahal bagaimana kekejaman bangsa ini yang membantai hampir 3 juta jiwa rakyat Indonesia pada periode 1965-1969, belum lagi kasus Talangsari, Kedung Ombo, Marsinah, Kasus 27 Juli, Tanjung Priok, Ambon - Aceh Berdarah, Mei 98, dsb yang sampai hari ini tidak jelas penanganan kasusnya kalaupun ada, tetapi belum mampu menyeret otak-otak pelaku. Ini dikarenakan seluruh spektrum politik yang ada di parlemen kita adalah kekuatan-kekuatan lama yang sebenarnya tokoh-tokohnya adalah terlibat. Belum lagi soal posisi para reformis gaadungan yang takut dan pengecut berhadapan dengan kekuatan ini.

Kemenangan SBY-Budiono pada pemilu 2009 lalu juga tidak akan mampu menuntaskan kasus pelanggaran HAM malah akan semakin meningkatkan kadar represifitas. Kebijakan-kebijakan neoliberalisme yang telah merenggut hak-hak dasar rakyat akan menciptakan perlawanan dimana-mana dan oleh rezim akan diselesaikan dengan cara-cara militeristik. Berbagai kasus perampasan tanah rakyat, penggusuran, demontrasi diwarnai berbagai penangkapan bahkan penembakan warga oleh pihak militer. Korupsi yang memakan uang rakyat sehingga merebut hak-hak dasar kesejahteraan rakyat juga tidak mampu diselesaikan sampai saat ini.
Hasil Pemilu 2009 telah nampak di depan mata semakin represif dan memiskinkan sehingga kita harus mengorganisasikan perlawanan rakyat dengan prinsip politik yang tepat, yaitu prinsip politik nonkooptasi dan nonkooperasi yang artinya kita harus menolak untuk bekerja sama dan dicampuri oleh elit-elit politik yang hari bercokol di pemerintahan.

Untuk itu, kami menyatakan sikap:
1. Usut tuntas semua kasus pelanggaran HAM.
2. Seret jenderal-jenderal pelanggar HAM ke pengadilan HAM.
3. Bubarkan komando teritori.
4. Gulingkan Rezim penjajah modal, SBY-Budiono.
5. Bentuk Pemerintahan Rakyat Miskin.

Selain itu, ditengah-tengah praktek pemerintahan yang represif dan mengabdi pada modal, tuntutan mendesak yang harus segera kita perjuangkan adalah:
1. Turunkan Harga Sembako
2. Pendidikan dan Kesehatan Gratis
3. Kenaikan Pendapatan dan Lapangan Pekerjaan
4. Perumahan, Air Bersih, Energi, serta Transportasi Murah dan Massal
5. UU Politik dan Pemilu yang Demokratis
6. Penulisah Sejarah yang Jujur; Mengembalikan Ingatan Sejarah Rakyat
7. Pengadilan dan Penyitaan Harta Soeharto/Kroni, dan Koruptor Lainnya
8. Kuota 50% Perempuan untuk Semua Jabatan Publik
9. Perbaikan Kerusakan Lingkungan

Tuntutan ini hanya akan tercapai bila kita rebut dengan jalan mengganti pemerintahan borjuis dengan pemerintahan rakyat miskin. Maka hal yang harus kita lakukan adalah dengan mengorganisasikan segenap kekuatan dan perlawanan rakyat ke dalam wadah-wadah politik persatuan yang mandiri sebagai cikal bakal dari pemerintahan politik rakyat miskin yang nantinya akan mewujudkan program-program sosialis dengan dibiayai dari pemutihan utang, industri nasional, penyitaan harta koruptor dan lain-lain.

Palu, 10 Desember 2009

Korlap



Abd. Kadir Jaelani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).