Langsung ke konten utama

Untuk Kaum Perempuan dan Kaum Buruh yang Berjuang

Judul Buku              : Ibunda
Penulis                     : Maxim Gorki
Penerjemah             : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                   : Kalyanamitra, Jakarta
Cetakan                  : Kedua, Juni 2002
Tebal                       : xxi + 513 halaman; 21 cm

IBUNDA
dan
Kebangkitan Perempuan Indonesia
Oleh: Melani Budianta


APA RELEVANSI novel Ibunda karya pengarang revolusioner Rusia, Maxim Gorki pada akhir tahun 2000? Ketika blok komunis dan sosialis di Eropa Timur dan Barat runtuh tembok-temboknya dan Cina membuka pintunya kepada pasar, apa maknanya membaca kembali karya yang telah mencuat sebagai prototype novel revolusioner dan sastra proletar ini?

Banyak jawaban bisa diajukan atas pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi tidak perlu ditanyakan relevansi penerbitan ulang Ibunda bagi kaum perempuan Indonesia di akhir tahun 2000, dua tahun sesudah goncangan reformasi melanda negeri ini. Membaca Ibunda  di Indonesia yang telah mengalami atau menyaksikan kekerasan, dan yang seperti tokoh utama novel Ibunda, Pelagia Vlassov, diubah oleh pengalaman-pengalaman tersebut menjadi pejuang kemanusiaan dan keadilan. Latar daerah industri di Rusia satu abad yang lalu dalam novel itu seakan menjadi pemicu untuk mengingat kembali adegan-adegan yang rasanya masih baru kemarin terjadi, atau bahkan yang sedang berlangsung detik-detik ini pula di Aceh, di Papua, di perbatasan Timor Leste, di Jakarta, dan di tempat-tempat lainnya yang bersimbah darah. Membaca Ibunda adalah menyelami perasaan ibu-ibu korban kerusuhan Mei, Semanggi, Aceh, dan korban kekerasan lainnya, dan menyaksikan tahap demi tahap suatu proses metamorfosa. Dari ibu yang dulu gemetar dan khawatir, yang dilanda duka atas kekerasan terhadap anak atau anggota keluarga mereka dari ibu rumah tangga yang sebelumnya tak beranjak dari lingkup dapur dan tetangga, menjadi orang yang tak ragu maju di forum-forum publik, membagikan pamphlet, turun ke jalan menyuarakan hati nurani mereka.

Seperti Pelagia Vlassov, korban kekerasan rumah tangga yang mendapatkan semangat hidupnya kembali, kita telah menyaksikan para perempuan korban kekerasan meninggalkan kampung mereka di Aceh, membuka kamar-kamar terkunci di Jakarta, menyeberang daerah rawan di Maluku, untuk menegakkan keadilan dan memperjuangkan masa depan yang lebih ramah bagi manusia.

Dalam konteks inilah, penerbitan kembali terjemahan novel Ibunda menjadi sangat relevan dan penting. Novel Ibunda mengisahkan pengalaman Pelagia, janda seorang montir pabrik. Tokoh utama ini tidak ditampilkan sebagai sosok yang memiliki keindahan fisik. Badannya bongkok dan miring, wajahnya kerut merut dan alisnya terbelah oleh bekas luka. Penampilannya lebih tua dari usianya yang empat puluhan bukan saja akibat kerja berat, tapi karena sepanjang perkawinannya ia hidup di antara pukulan dan caci maki suaminya. Matanya kelam memancarkan kesedihan dan ketakutan. Pelagia mewakili sosok perempuan yang bukan saja tercabik-cabik oleh kemiskinan tetapi terkungkung oleh tatanan yang tidak menghargai perempuan. Praktek kekerasan dalam rumahtangga digambarkan sebagai sesuatu kebiasaan yang sudah diterima sebagai kenyataan hidup. Dan bagi anak gadis, seakan-akan tidak ada pilihan lain. Ketika ragu menerima  lamaran Vlassov, ayah Pelagia memakinya bahwa masih beruntung ada lelaki yang menginginkannya.

Melalui sosok yang paling menderita ini pembaca diajak memasuki dunia kaum buruh di kota industri di Rusia dengan latar belakang awal abad ke-20, ketika benih-benih revolusi mulai muncul. Digambarkan oleh novel ini situasi kumuh pabrik yang mewarnai hidup para buruhnya. Seluruh hidup para buruh dikendalikan oleh peluit pabrik dan digilas oleh kemiskinan, sehingga terdorong untuk lari pada minuman keras dan menyalurkan rasa getir dan marah kepada orang yang berada pada posisi yang lebih lemah, terutama istri dan anak. Lingkaran hidup yang berawal dengan kelelahan, kejenuhan, kemiskinan dan berakhir pada jerat alkohol dan kekerasan terus berputar karena semua itu sudah diterima sebagai suatu yang biasa.

Arus keruh tahun-tahun itu tetap mengalir, perlahan-lahan dan tiada berubah, melalui salurannya—saluran kebiasaan yang telah berabad-abad lamanya menentukan dunia pikiran dan kelakuan mereka. Tiada seorangpun mempunyai keinginan sedikitpun untuk memperkenalkan perubahan. (11)

Dalam alur novel ini, lingkaran kepasrahan ini pada akhirnya dipatahkan oleh seorang pemuda buruh bernama Pavel Vlassov dan ibunya Pelagia Vlassov. Pavel membenci sikap ayahnya yang dikuasai oleh alkohol dan kekerasan, tetapi pada masa remajanya sempat hanyut dalam arus lingkungannya. Tetapi setelah membaca buku-buku sosialis, ia  berubah menjadi pemuda yang secara serius mencari apa yang dianggapnya sebagai kebenaran, dan memikirkan usaha untuk mengubah lingkungannya.

Walaupun Pelagia bergembira bahwa anak satu-satunya itu selamat dari cengkeraman alkohol, pada awalnya sang ibu sempat khawatir dan bertanya-tanya akan perubahan pada diri anaknya. Apalagi ketika Pavel mulai mendapat tamu-tamu yang membicarakan hal-hal yang di luar jangkauan pikirannya. Ketika kata-kata “sosialis” dan “komunis” didengarnya dari percakapan itu, sang ibu pun gemetar, karena ia dibesarkan dalam tatanan yang mensosialisasikan dua kata itu sebagai momok yang menakutkan. Kaum sosialis adalah penjahat dan pengkhianat yang melawan dan ingin membunuh Tsar!

Alur ceritanya kemudian menggambarkan tahap demi tahap proses perubahan, bukan pada diri Pavel, tetapi pada diri Ibunda. Cerita ini pada intinya disampaikan dengan teknik narator orang ketiga, melalui sudut  pandang (terbatas pada) tokoh sang Ibu. Narator masuk ke dalam visi sang ibu yang sangat saleh dan tekun pada agamanya. Sebuah kalimat pembuka sebuah bab, misalnya, secara metaforis menggambarkan bagaimana hari demi hari lewat bagaikan manik-manik Rosario yang jatuh di antara sentuhan jari, suatu gambaran yang mewakili perspektif dan cara sang Ibu mendapatkan kekuatan menjalani hidupnya.

Melalui mata dan telinga sang Ibulah, proses menuju revolusi sosialis disampaikan. Perubahan pada diri Ibu, dari rasa khawatir dan takut, menjadi pendukung setia gerakan anaknya, bahkan sampai menjadi aktifis yang tak kalah bersemangat, digambarkan secara realistis tahap demi tahap. Perubahan itu bukan datang dari kesadaran pikiran, melainkan diawali oleh kepekaan seorang ibu terhadap perasaan-perasaan positif yang dirasakannya muncul pada pertemuan-pertemuan aneh kawan-kawan anaknya itu. Ia melihat bagaimana perdebatan yang sengit dalam rapat-rapat itu tidak pernah diakhiri oleh kekerasan, suatu hal yang asing dalam kehidupannya. Kemudian ia mulai menangkap dan ikut merasakan semangat yang berkobar pada diri anaknya. Kesetiakawanan para aktifis itu kemudian dirasakannya sangat berkontras dengan kekasaran hidup para buruh yang lain, kesewenang-wenangan polisi, kelicikan para intel, kecurigaan para tetangga dan kata-kata kasar orang-orang yang tak menginginkan perubahan.

Maka Ibunda, yang buta huruf, mulai tertarik untuk kembali belajar membaca, suatu hal yang ditinggalkannya semenjak menikah. Dorongan itu muncul karena sang Ibu ingin mulai tergelitik untuk ingin tahu berbagai macam hal yang dibicarakan dengan penuh antusiasme oleh anaknya dan kawan-kawannya. Ia mulai membuka buku-buku tentang hewan, tumbuhan, negara-negara asing, dan berbagai macam bacaan milik anaknya. Titik balik penting dalam kehidupan Ibunda terjadi ketika anaknya dijebloskan ke dalam penjara, karena tuduhan menyebarkan pamflet gelap di pabrik. Inisiatif Ibunda untuk membantu menyebarkan pamflet di pabrik dengan cara menyembunyikan dalam keranjang makanan jualannya muncul pertama-tama demi menyelamatkan anaknya. Jika penyebaran pamflet terus berjalan, berarti tuduhan terhadap Pavel batal! Ketika usaha itu berhasil, dan menyebabkan keonaran di pihak penguasa dan kegairahan di kalangan buruh, Ibunda merasa bangga dan merasa dirinya begitu berarti. Iapun dengan sukarela mengerjakan tugas penyeludupan pamflet itu ke mana-mana. Ketika semangat perjuangan anaknya melalui pamflet, bacaan, pertemuannya dengan berbagai kalangan aktifis membuatnya semakin paham akan nilai-nilai yang diperjuangkan kaum revolusioner itu, sang Ibunda pun sepenuhnya menjadi aktifis sejati. Dalam titik ini, cintanya kepada anak satu-satunya Pavel telah mengalami transendensi  menjadi cinta bagi semua anak manusia.

Yang menarik dari novel ini, perubahan “ideologis” dalam diri Ibunda tidak mengorbankan religiusitasnya yang sangat mendalam. Pelagia dapat mengaitkan faham persaudaraan kaum buruh dengan sosok yang diimaninya, yakni Kristus yang mengorbankan dirinya bagi orang kecil. Tetapi pada saat yang sama, mata Pelagia mulai terbuka untuk membedakan ajaran untuk mencintai dengan praktek-praktek kaum pendeta dan gereja yang memanfaatkan kekuasaan di atas penderitaan orang miskin. Maka Pelagia tidak lagi menjadi sekedar seorang yang patuh pada ritual-ritual dan dogma agama, melainkan seorang yang menggali dasar-dasar kepercayaannya dengan kritis tanpa tergoyahkan oleh kaum revolusioner sekitarnya yang umumnya tidak lagi percaya pada Tuhan.

Tidak mengherankan bahwa Kalyanamitra, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan dan pendampingan korban kekerasan, dari kekerasan rumahtangga sampai kekerasan oleh Negara, memilih untuk menerbitkan ulang novel Ibunda. Sangat penting untuk dicatat bahwa Maxim Gorki menulis novel yang konon menyalakan semangat perjuangan kaum muda di dalam dan di luar negerinya dengan protagonis seorang perempuan. Novel ini tidak saja bisa menjadi inspirasi bagi para perempuan Indonesia untuk menolak bersikap pasrah terhadap kemandegan, kemiskinan dan ketidakberdayaan, tetapi seperti komentar Pramoedya Ananta Toer, penerjemahnya, terhadap Ibunda, penerbitan ulang novel terjemahan ini dapat dianggap sebagai penghargaan terhadap perjuangan kaum perempuan itu sendiri (kata Pram: “memberikan penghargaan pada Ibu yang tidak pernah dihargai—yang ngetik). Novel Ibunda menunjukkan bahwa keberanian dan keteguhan Pelagia bisa mengubah posisinya dari sekedar makhluk yang dianggap bagian dari isi rumah belaka, menjadi seorang tokoh yang diperhitungkan dalam perubahan masyarakat.

Di Indonesia, sejarah belum banyak mencatat kontribusi perempuan dalam perubahan masyarakatnya. Padahal, di zaman revolusi sampai reformasi, ibu-ibu seperti Pelagia menyelundupkan informasi, menjadi mata-mata, menyembunyikan dan mengobati pejuang, menyiapkan dan mendistribusikan logistik yang sangat vital bagi perjuangan. Jika peran perempuan semacam ini diangkat ke permukaan, seringkali komentar yang muncul adalah: “bukankah membantu, merawat, dan memasak itu memang pekerjaan rutin seorang perempuan?” Dengan perkataan lain, kontribusi mereka dianggap tidak “layak” dicatat dalam sejarah. Dalam konteks ini perjuangan diasosiasikan dengan stereotip umum tentang maskulinitas, dan kata pejuang dan pahlawan secara otomatis  diasosiasikan dengan laki-laki. Padahal seandainyapun pengertian perjuangan dibatasi pada perang secara fisik, tak sedikit perempuan ikut mengangkat senjata, berdiri di garis depan demonstrasi dan mengatur strategi.

Pada saat yang sama novel Ibunda menunjukkan bahwa perjuangan untuk merubah masyarakat tidak harus dilakukan dengan kebencian, kemarahan dan kekerasan. Gerakan yang dipelopori oleh Pavel dan kawan-kawannya adalah gerakan yang menitikberatkan pada perubahan kesadaran, melalui bacaan, diskusi dan penyebaran informasi, dan perlawanan tanpa kekerasan melalui pemogokan dan cara-cara lainnya. (Ini mengingatkan kita pada gerakan tanpa kekerasan Gandhi dan civil disobedience yang dirumuskan oleh sastrawan Amerika Henry David Thoreau). Bahkan ketika pemogokan kaum buruh dihadang dengan senjata para polisi dan tentara, Pavel memimpin para demonstran untuk terus maju tanpa senjata dan tanpa perlawanan. Itulah sebabnya Pelagia, sang ibu yang menjadi pahlawan utama novel ini, menghayati dan mendukung perjuangan anaknya sepenuhnya, sebab sesuai dengan doktrin yang dianutnya, yakni doktrin kasih sayang.

Kita melihat bagaimana semangat yang sama dengan penuh keberania ditunjukkan oleh para ibu dan kaum perempuan di berbagai tempat di Indonesia, ketika semangat perlawanan dengan cara kekerasan justru menjadi modus yang dominan. Gerakan Perempuan Peduli di Ambon dengan penuh resiko berusah menjembatani dua kelompok yang saling berjihad atas nama agama. Di hadapan terror dan ancaman, perempuan-perempuan di Aceh dari berbagai kelompok yang berkonflik memberanikan diri berkumpul untuk mencari jalan keluar bagi permasalahan masyarakatnya. Di Jakarta dan di berbagai tempat lainnya, perempuan korban kekerasan dan korban krisis ekonomi bangkit untuk menolong sesama dan masyarakat.

Novel Ibunda juga menyadarkan kita pada perbedaan antara perubahan untuk kepentingan sesaat dan perubahan tatanan yang mendasar. Sejauh mana berbagai konflik dan intrik berbagai kalangan yang membawa bendera reformasi menggapai perubahan struktural yang diinginkan? Sebab selain sebagai individu yang secara realistis mengalami transformasi, sosok Ibunda dalam tataran lain adalah simbol dari tanah air atau entitas negeri itu sendiri.

Sebagai karya sastra, Ibunda mewakili suatu genre novel realisme sosialis, dengan kekuatan dan kelemahannya. Novel ini secara gamblang dan kuat mengandung unsur-unsur propaganda, dan gayanya yang mendeskripsikan keseharian dengan penuh detil untuk menekankan kedekatan dengan kenyataan, seringkali bagai dipisahkan oleh benang tipis dengan idealism cita-cita revolusi dan romantisme perjuangan. Tetapi pesan-pesan propaganda itu dibungkus oleh kekuatan Gorki dalam menghidupkan setiap sosok tokohnya secara individual, dan oleh jiwa yang menyala di balik tulisannya. Intensitas Gorki kita rasakan melalui intensitas dan penjiwaan Pramoedya Ananta Toer, penerjemahnya. Maka sungguh beruntung kita semua yang dapat menikmati penerbitan ulang novel ini pada persilangan waktu yang sangat unik. Buku ini terbit bersamaan dengan menjamurnya buku-buku “kiri” lainnya yang meledak setelah selama 32 tahun dilarang untuk dibaca di negeri ini, ironisnya di saat tatanan sosialisme komunis tidak lagi menjadi blok yang diperhitungkan. Membaca novel Ibunda mungkin membantu kita memahami mengapa tulisan-tulisan semacam ini ditakuti oleh penguasa. Tetapi lebih dari itu, kita membaca novel yang menampilkan perempuan sebagai kekuatan perubahan itu sendiri, di saat perjuangan perempuan di Indonesia mencapai titik-titik yang menentukan.

Jakarta, November 2000

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).