Langsung ke konten utama

Belajar dari Organisasi Perjuangan Perempuan Dongi-Dongi


Empat hari berselang Hari Kartini, tepatnya 25 April adalah suatu momentum penting bagi Oppando. Organisasi Perjuangan Perempuan Dongi-Dongi ini melaksanakan Konferensi 1 yang dihadiri oleh 25 perempuan Dongi-Dongi dan belasan peserta peninjau.

Oppando sudah berdiri setidaknya setahun belakangan. Jauh sebelum itu, keterlibatan kaum perempuan Dongi-Dongi dalam perjuangan mempertahankan lahan mereka telah ada sejak tahun 2001. Pelaksanaan konferensi I tahun ini merupakan tonggak sejarah dalam mempermantap perjuangan perempuan di Dongi-Dongi.

Dimulai jam sepuluh pagi, acara konferensi berlangsung di sebuah Bantaya, semacam rumah panggung yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan pertemuan-pertemuan. Konferensi dibuka oleh Kuasa Ratalembah, Ketua Forum Petani Merdeka (FPM). Dalam sambutannya, Kuasa menyatakan dukungan terhadap organisasi perjuangan perempuan Dongi-Dongi. Menurutnya, organisasi perempuan akan menampung keterlibatan ibu-ibu dalam perjuangan, bukan untuk melawan kaum laki-laki. Berorganisasi juga adalah bagian dari hak-hak kaum perempuan.

“Keberadaan laki-laki biasanya hanya menindas, perempuan hanya disuruh menyapu, mencuci piring, hanya masak. Padahal perempuan ini harus punya ideologi, punya pemikiran yang lebih jenius daripada laki-laki. Perempuan ini bukan hanya khusus di dapur. Kita harus mempunyai hak hidup yang sama. Tidak ada perbedaannya, hak berserikat, hak berkumpul begini sesuai dengan program yang kita buat bersama yang tidak melanggar UUD 1945. Ini yang perlu kita pahami bersama,” kata Kuasa Ratalembah dengan nada mantap disambut tepuk tangan meriah para hadirin.

Selain itu, sambutan juga diisi oleh Rahma dari Serikat Perempuan Lembah Palu (SPLP) yang juga anggota Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA). Ia menuturkan keinginannya berbagi dengan ibu-ibu di mana saja untuk saling memberikan penguatan tentang pentingnya membangun organisasi perempuan dalam situasi perempuan masih dinomor-duakan. “Untuk itu, kita harus berjuang bersama-sama untuk berjuang dari ketertindasan itu sendiri. Kami berharapa ke depannya OPPANDO akan lebih maju. Penting bagi OPPANDO untuk melakukan penyadaran. Melihat situasi yang tidak bergitu berpihak kepada perempuan. Di berbagai sektor masih banyak diskriminasi terhadap perempuan.”

Beberapa Catatan Penting
Konferensi itu mengungkapkan berbagai kenyataan pahit yang diderita oleh kaum perempuan. Tercatat sekitar 58 persen penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan adalah perempuan. Jumlah demikian tidak menjadikan hak perempuan setara dengan laki-laki. Dalam berbagai praktek, perempuan kerap terdiskriminasi. Kentalnya budaya patriarki di pedesaan menyumbang masalah pembatasan akses kepemilikan perempuan terhadap tanah. Upah buruh tani perempuan dibayar lebih rendah daripada buruh tani laki-laki karena nilai tenaga kerja perempuan dianggap golongan kelas dua.

Kemiskinan dan patriarki membuat perempuan sangat rentan mengalami pelecehan seksual, trafficking, penderita buta huruf terbesar, kekerasan, kawin muda, kawin paksa dan seterusnya. Feminisasi kemiskinan bukan sekadar wacana. Kemiskinan pun ditemukan berwajah perempuan.

Penderitaan ini diperparah dengan fenomena perubahan iklim. Bisa dipastikan  perubahan iklim menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas hidup masyarakat pedesaan. Akibat dari perubahan iklim, bumi menjadi sangat panas, muncul serangan hama, musim sulit diprediksi, dan kekeringan yang berkonsekuensi pada penurunan hasil panen para petani.

Problem perrubahan iklim juga berdampak pada perempuan. Direktur Solidaritas Perempuan (SP), Endang Herdianti menyebutkan perubahan iklim pertama-tama menyebabkan penurunan hasil panen, pada Kamis (12/5) . Kemudian berdampak pada perempuan pedesaan yang banyak beralih pekerjaan, misalnya yang dari petani kemudian menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke luar negeri. Apalagi dengan iming-iming gaji tinggi. Hal ini tidak menguntungkan kaum perempuan karena banyak sekali terdengar kasus kekerasan terhadap TKW oleh majikan di luar negeri.

Ada Kehendak Perubahan
Konferensi I OPPANDO mengambil tema “Perempuan Dongi-Dongi Bangkit Berorganisasi Bergerak untuk Mewujudkan Kedaulatan dan Keadilan atas Sumber Daya Agraria dan Hak-hak Dasar Rakyat”.

OPPANDO diharapkan mampu menjadi motor perjuangan kaum perempuan di Dongi-Dongi. Sesi pemilihan Badan Pimpinan OPPANDO berhasil melahirkan lima perempuan yang akan memimpin organisasi. Mereka adalah Vevey, Irawati, Tina, Agustin, Dince, Mince dan Isna. Organisasi ini dicita-citakan akan menjadi wadah yang mempersatukan seluruh perempuan di Dongi-Dongi dan berjejaring dengan organisasi gerakan lainnya.

Kehendak juang kaum perempuan Dongi-Dongi tidak tanggung-tanggung. Mereka menginginkan persamaan upah buruh tani laki-laki dan perempuan, persamaan hak atas tanah bagi laki-laki dan perempuan, bekerjasama untuk membangun koperasi konsumsi dan produksi, serta membangun pusat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan.

Sebagai masyarakat yang tinggal di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, situasi perempuan sangat lah rentan. Sampai sekarang status Dongi-Dongi belum juga diakui oleh pemerintah sebagai wilayah administrasi desa. Mereka dianggap ilegal karena menghuni hutan konservasi. Kegentingan ini akan semakin bertambah di bawah resiko program United Nations on Reducing Emission from Deforestation and Degradation (UN-REDD).

Program UN-REDD adalah program mengurangi emisi karbon di udara melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Terdapat upaya yang sistematis serta dapat diukur berapa jumlah emisi karbon di udara yang berhasil dikurangi. Keberhasilan pengurangan karbon akan diganjar dengan sejumlah insentif dari negara-negara maju ke negara pelaksana REDD. Insentif ini bisa dimanfaatkan untuk biaya pembangunan. Di Sulteng, program ini (UN-REDD) sedang dalam proses diujicobakan untuk implementasi tahun 2012 nanti.
Optimisme keberlangsungan program ini tidak akan mengancam hak-hak masyarakat adat (lokal) bergantung pada implementasi FPIC. Free, Prior, Informed and Consent adalah prinsip-prinsip persetujuan masyarakat atas dasar informasi awal.  Free, artinya bebas tanpa paksaan. Dengan kata lain, kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan masyarakat; Prior berarti sebelum proyek atau kegiatan tertentu diizinkan pemerintah harus mendapatkan ijin dari masyarakat terlebih dahulu; Informed, merujuk pada pemberian informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan meliputi sebab maupun akibatnya; dan Consent, merupakan hasil akhir berupa persetujuan yang diberikan oleh masyarakat sendiri.

Taman Nasional berpeluang besar akan menjadi kawasan Demonstration Activities (DA). Kawasan DA merupakan kawasan pengujian dan pengembangan metodologis, teknologi dan institusi pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang berupaya untuk mengurangi emisi karbon.

Olehnya organisasi lokal di sekitar daerah Taman Nasional, khususnya organisasi perempuan, tidak hanya memperjuangkan masalah-masalah internal mereka. Organisasi juga harus bersiap akan situasi-situasi eksternal, termasuk menghadapi program REDD yang kemungkinan besar akan masuk ke lahan hidup mereka. Vevey, salah seorang Badan Pimpinan OPPANDO, menyadari hal itu dan akan berupaya agar program-program konservasi tidak merugikan kaum perempuan dan rakyat pedesaan. Ia pun berpidato, ”Melalui konferensi ini kita akan melahirkan program-program yang akan memajukan perempuan Dongi-Dongi, dan kita juga akan melakukan konsolidasi. OPPANDO akan bersama-sama Forum Petani Merdeka secara sejajar berjuang bersama-sama.”

Begitu pula, Direktur SP, Endang Herdianti, dari tempat terpisah juga mengatakan agar program REDD memasukkan isu gender dan perempuan mendapatkan peran dalam pengambilan keputusan. “Harapan kita perempuan seharusnya memantau implementasi REDD nantinya dan kita akan coba bagaimana cara mereka untuk memantau implementasi REDD itu. Jadi kita juga sedang merancang bagaimana perempuan itu sendiri itu bisa melakukan pemantauan terhadap implementasi REDD itu. Makanya penting sekali adanya safe guard itu (aturan kebijakan) dan FPIC,” tegasnya.

Perempuan pun berkehendak perubahan.


Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 41, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).