Langsung ke konten utama

Fak Sulteng Perjuangkan “Ganti Rezim, Ganti Sistem”


Langit mendung dan jalanan basah tidak menghalangi langkah demonstran untuk menggelar aksi 10 Desember, peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Pun aksi Forum Rakyat Anti Kekerasan (FAK) Sulteng harus dimulai jam 12 siang, menunggu reda hujan yang telah turun sejak pagi.

Arak-arakan ratusan massa FAK bermula dari Taman Gor Palu menempuh rute jalan Mawar, Hasanuddin, Sudirman hingga berakhir di Gedung DPRD Sulteng, jalan Samratulangi. Sepanjang jalan, aksi yang dikorlapi oleh Endang Herdianti, yang juga adalah Direktur Solidaritas Perempuan ini, meneriakkan slogan “Ganti Rezim, Ganti Sistem!”.

Endang menilai berbagai kasus berdarah dan kriminalisasi berbasis perluasan ekonomi kapital di Sulawesi Tengah kian meningkat. Mobilisasi aparat keamanan baik kepolisian maupun TNI masih menjadi langkah yang ampuh untuk membungkam perjuangan rakyat atas keadilan sumber-sumber produksi. Rangkaian kasus kekerasan di Sulteng itu di antaranya kasus kriminalisasi aktivis Forum Rakyat Advokasi Sawit (FRAS), Eva Bande, berhadapan dengan perkebunan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS); pemenjaraan 28 petani Morowali setelah aksi menuntut dan merusak fasilitas PT Bintang Delapan Mineral (BDM), dan; kasus penembakan dalam aksi warga Kolo Bawah ke Medco di Tiaka, Morowali.

FAK Sulteng menyoal kasus Tiaka yang diselesaikan oleh pemerintan dengan cara yang tidak adil. Bahkan, tidak ada satupun aparat polisi yang mendapatkan sanksi setelah menembak hingga tewas dua warga Tiaka. Bagi polisi, kematian warga hanya kesalahan prosedur semata, bukan pelanggaran HAM. Rakyat Kolo Bawah yang pada akhir Agustus 2010 lalu menuntut tanggung jawab Medco yang telah merusak lingkungan hidup mereka, justru dianggap kriminal. Salah satu demonstran, Andri M. Sondeng, masih terbaring di rumah sakit akibat luka tembak di dada, dan sedang dalam proses hukum dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.

Kasus kekerasan dinilai akan semakin meluas sejalan dengan perluasan investasi di Indonesia. Perpres No 32 yang dikeluarkan tanggal 20 Mei 2011 melegalkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dimana Sulteng direncanakan sebagai kawasan investasi nikel terbesar di Indonesia. Sistem kapitalisme yang memperluas kapital demi kepentingan korporasi dianggap sebagai biang kerok berbagai kasus kekerasan.

Duduki DPRD
Di depan DPRD, massa FAK bertemu dengan massa Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang juga aksi pada hari itu untuk menuntut realisasi pasal 33 kepada negara. Ketua PRD, Taufik, mengatakan bahwa neoliberalisme harus ditolak, dan pasal 33 harus ditegakkan dalam pembangunan ekonomi. “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Bukan dikuasai oleh negara, untuk kepentingan perusahaan,” tegas Taufik.

FAK dan PRD melakukan aksi bersama dengan menduduki gedung DPRD Sulteng. Sebagian massa membubarkan diri untuk pulang menyiapkan aksi yang lebih besar lagi hari Senin. Sementara, sebagian massa bertahan di gedung DPRD. Massa yang bertahan, menggelar tikar dan membuat forum bersama di halaman gedung DPRD. Sejumlah baliho dan bendera dipasang di gedung DPRD sebagai simbol pendudukan. Upaya pendudukan ini sempat beberapa kali berusaha dihalangi oleh anggota DPRD, namun massa tidak mau bubar.

Minggu malam, massa FAK-PRD menggelar doa bersama untuk Sondang Hutagalung. Ia adalah seorang Sahabat Munir Jakarta yang tewas bakar diri di depan istana negara. Sondang yang juga mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) ini meninggal pada 10 Desember di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.  Semasa hidup, ia dikenal sebagai ketua Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenis Untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi Justice) yang aktif memperjuangkan HAM dengan melakukan aksi kamisan bersama Kontras di depan Istana Negara setiap minggu.

Pada hari akhir pendudukan, Senin, ratusan massa FAK-PRD menggelar mimbar di depan gedung DPRD sampai dengan tengah hari. Kini, FAK Sulteng telah berganti nama menjadi Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat (FPKR) dan terus berkomitmen memperjuangkan “ganti rezim, ganti sistem”.


Palu, Arsip 2011
Ditulis untuk Majalah Silo Edisi 44, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).