Langsung ke konten utama

Gubernur Niat Usir Dua Perusahaan Tambang


Gubernur Sulteng, Longki Djanggola, nampak serius saat melontarkan niatnya untuk mengusir PT Inco. Longki nampak geram saat mengisahkan janji-janji Inco membangun pabrik di Bahudopi yang tidak kunjung terealisasi. Pernyataan Longki ini terlontar dalam perhelatan Dialog Kebijakan LSM dan Pembangunan Berbasis Sumber Daya Alam di Sulawesi Tengah yang diselenggarakan oleh Yayasan Tanah Merdeka, Kamis (22/12) di Hotel Rama Palu.

“Di dalam MP3I itu ada pembohongan publik. Di situ tertulis PT Inco akan membangun smelter nikel, tapi saya sudah bicara dengan Inco. Tidak ada pembangunan pabrik itu sampai sekarang,” tanggap Longki saat ditanyakan mengenai Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang menjadikan Sulteng sebagai salah satu wilayah penghasil nikel dengan adanya PT Inco.

Longki juga memberikan keterangan bahwa Bupati Morowali, Anwar Hafid, sengaja memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga tumpang susun di atas konsesi lahan PT Inco karena Bupati kesal pada Inco yang tidak berproduksi padahal sudah 42 tahun memegang konsesi di blok Bahudopi. “Jika PT Inco jadi berproduksi, baru Bupati Morowali akan menertibkan semua IUP-IUP yang tumpang susun itu,” ungkap Longki.

Polemik antara pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) dengan PT Inco agaknya telah mencapai titik klimaks. Longki mengaku sudah mengirimkan surat yang tertuju pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), meminta agar izin konsesi PT Inco dicabut. Pertimbangannya, keberadaan PT Inco yang mengangkangi lahan seluas 36.635,36 hektar yang terbagi dalam blok bohodopi dan blok kolonedale, tidak menguntungkan kas daerah. Jika Inco tidak berproduksi di Sulteng, artinya tidak ada royalti yang masuk ke Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Selain Inco, perusahaan yang menjadi sasaran kegusaran Longki adalah PT Medco. Pasalnya, Medco sama sekali tidak memberikan laporan kepada pemerintah daerah. Gubernur pernah meminta transparansi keuntungan perusahaan kepada Medco, namun tidak diberikan. Pihak PT Medco berdalih bahwa dalam perkara laporan adalah urusan Medco dengan pemerintah pusat, bukan dengan pemerintah daerah. Sebagai Gubernur, Longki merasa tidak dihargai.

“Selama ini, Medco hanya menginformasikan pemda sekian bagianmu, atau pemkab sekian bagianmu. Tapi berapa keseluruhan pendapatan Medco tidak pernah diberitahu kepada kami,” tutur Longki dengan nada gusar.


Konflik Elit
Menurut seorang pegawai Dinas Pertambangan yang tidak mau disebut namanya, pihak yang mengeluarkan izin adalah juga pihak yang berhak mencabut izin. Jadi, izin Inco hanya bisa dicabut oleh pemerintah pusat. Dia juga menyebutkan bahwa kebijakan Bupati Morowali yang mengeluarkan izin di atas lahan Inco adalah pelanggaran terhadap hukum. Bupati bisa saja dipidanakan jika Inco menuntut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga ke Arbitrase Internasional sesuai dengan yang diatur dalam UU Minerba.

Meskipun demikian, power (kekuatan) politik Bupati secara de facto (praktikal) di daerah agaknya yang membuat Inco tidak mengambil tindakan menempuh jalur hukum. Karena perusahaan yang tidak menghargai otoritas tersebut bisa merasa “tidak aman” dalam beroperasi di suatu daerah. Adanya gangguan-gangguan kepentingan yang tidak diakomodir oleh perusahaan.

Persaingan antar-perusahaan, baik yang sama-sama mengantongi izin IUP maupun antar perusahaan yang mengantongi izin Kontrak Karya (dari pemerintah pusat) dengan perusahaan yang mengantongi IUP (dari pemerintah kabupaten) kerap menimbulkan konflik yang mengambil arena mobilisasi masyarakat.
Dalam investigasi Silo, Agustus lalu, sejumlah baliho “anti tambang asing” terpampang di sejumlah titik di desa-desa yang masuk Blok Bahudopi. Salah satu perusahaan yang dipersoalkan dalam baliho tersebut adalah PT Inco. Setelah ditelusuri, ternyata sumber pendanaan gerakan itu berasal dari PT Bintang Delapan Mineral. Ironisnya, BDM yang selalu mengaku perusahaan lokal ini ternyata dikuasai oleh perusahaan dari Cina, Dingxin (Jatam Sulteng, 2011).

Manajer Riset dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Andika Setiawan, mengungkapkan ketidakpercayaannya pada keseriusan Pemda mengusir Inco. Menurutnya, pengusiran Inco itu karena dipicu oleh sejumlah perusahaan lain yang ingin masuk ke Morowali yang pada umumnya berasal dari Cina. “Cina butuh nikel. Celakanya, di masa yang akan datang Morowali bisa tenggelam karena Cina itu mengambil nikel dalam bentuk ore (bahan galian),” katanya.

Jadi jelas sekali, otonomi daerah sebenarnya hanya mendesentralisasikan kekuasaan ke tangan segelintir elit daerah. Pembagian keuntungan yang tidak memuaskan salah satu pihak di tingkatan elit berpotensi bertransformasi menjadi konflik yang lagi-lagi harus ditanggung rakyat karena konflik itu bisa meluas menjadi pertikaian antar massa pendukung. Juga bukan rakyat yang berdaulat atas sumber-sumber daya di daerah, tetapi elit-elit lokal.


Palu, Arsip 2011
Ditulis untuk Majalah Silo Edisi 43, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengorbanan Terbaik Manusia Indonesia*

Oleh: Sherr Rinn “Orang yang paling bahagia adalah mereka yang memberikan kebahagiaan terbesar kepada orang lain.” (Status Facebook Sondang Hutagalung, 19 September 2011) “Untuk memberikan cahaya terang kepada orang lain kita jangan takut untuk terbakar. Dan bagi mereka yang terlambat biarlah Sejarah yang menghukum-nya.” (Sondang Hutagalung)

FPRM Sulteng Serukan Lawan Korupsi dengan Membangun Gerakan Rakyat Mandiri

FPRM News – Puluhan massa Front Politik Rakyat Miskin (FPRM) Sulteng melakukan aksi peringatan hari Anti Korupsi se-dunia di depan gedung DPRD Sulteng pada hari Rabu (09/12) lalu. Massa aksi menuntut penuntasan semua kasus di Indonesia secara transparan dan partisipatif. Menurut mereka rezim SBY-Budiono dan elit-elit politik di parlemen maupun di yudikatif tidak mampu menutaskan kasus korupsi yang terjadi karena lemahnya tenaga produktif dan tingginya budaya konsumerisme.

Sering Dituduh Pencuri Bisa Dapat Penghargaan

Subuh, gelap, belum ada cahaya matahari yang menghalau ketenaran bintang-bintang di langit. Sebagian besar orang masih meringkuk di tempat tidur. Sementara itu, orang-orang yang taat ibadah berlomba memenuhi panggilan masjid untuk shalat. Pria bertubuh sedang, berkulit cokelat ini  juga sudah bangun, bahkan pada jam 5 sepagi itu, ia sudah siap bergegas meninggalkan rumah. Rumah kontrakan berdinding papan beratapkan rumbia. Kisah ini bukan kisah seorang tani di desa. Ia hidup di kota Palu, bertempat tinggal di jalan Nenas.