Biasanya pantai yang juga menjadi salah satu tempat melepas penat warga kota ini marak dijajaki penjual buah dan warung kecil. Apalagi pada hari Minggu, bisa dipastikan taman di tepi pantai Talise ramai dikunjungi oleh warga dengan beragam keperluan. Ada yang hanya sekadar ngobrol, memotret, bersepatu roda, makan dan minum, jogging hingga jadi tempat berkumpul komunitas sepeda motor.
Ada yang berbeda di Pantai Talise. Minggu, 29 Mei, keluar dari kebiasaan hedonis, kehendak perubahan didengungkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng yang melakukan mimbar bebas di Talise. Pukul 16.00 Wita, puluhan massa berkumpul mengelilingi monumen Patung Kuda, membentangkan spanduk dan melakukan orasi via soundsystem. Korlap Aksi, Syarifah, berorasi bahwa hari itu adalah Hari Anti Tambang (Hatam) yang menyerukan penghentian seluruh operasi maupun rencana industri pertambangan.
Menurut Jatam Nasional dalam website resminya (www.jatam.org), Hatam adalah mandat dari Pertemuan Nasional Jatam 2010. Hatam diperingati setiap tanggal 29 Mei 2011. Dan bulan Mei adalah bulan perlawanan terhadap industri tambang. Tanggal 29 Mei adalah hari pertama terjadinya semburan lumpur Lapindo lima tahun lalu.
Mengapa Tambang Harus Dihentikan?
Aksi tersebut membeberkan sejumlah fakta mengenai dampak negatif industri pertambangan. “Sudah sepuluh abad, tepatnya sejak tahun 1600an, industri ekstraktif di Indonesia tidak pernah menguntungkan rakyat. Hasil ekstraktif berupa minyak, gas, nikel, besi, dsb dibawa keluar negeri untuk pembangunan industri di negara-negara maju. Sementara, sisanya adalah petaka berupa limbah dan kerusakan ekosistem yang harus ditanggung masyarakat setempat,” kata Manajer Riset dan Publikasi, Andika Setiawan kepada Silo.
Selain itu, pertambangan yang sering diklaim dapat meningkatkan kemakmuran suatu negeri, tidak berlaku bagi Indonesia. Pertama, sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak mengalami peningkatan kualitas. Human Development Index 2009 menunjukkan Indonesia hanya berada di Peringkat 111 di dunia, lebih rendah daripada Palestina.
Kedua, Penggunaan teknologi impor untuk industri dalam negeri sebanyak 92 persen. Artinya ketergantungan industri dalam negeri terhadap negara-negara maju sangatlah besar karena SDM dalam negeri belum mampu mengembangkan teknologi secara mandiri. Sejak pembukaan kembali investasi oleh Orde Baru tahun 1967 melalui pemberian ijin perdana kepada Freeport untuk mengeruk bumi Papua, hingga sekarang alih teknologi tidak membuahkan hasil yang berarti.
Ketiga, utang Indonesia sudah mencapai Rp1700 triliun (2010), mengalahkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang rata-rata hanya Rp1000 triliun/tahun. Utang ini adalah instrumen utama yang membuat negara sangat tergantung sehingga resep kebijakan neoliberalisme yang menguntungkan kapitalis asing bisa didesakkan dengan mudah kepada pemerintah. Di antaranya, pemberian ijin pengerukan sumber daya alam kepada perusahaan swasta, terutama perusahaan asing.
Keempat, angka kemiskinan mencapai 31,02 juta dengan standardisasi indikator konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar Rp7000/hari. Jadi, ada sekitar 31,02 juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah tujuh ribu rupiah per hari.
Di Sulawesi Tengah, seluas 2.389.580 hektare (ha) atau sekitar 42 persen dari total daratan Sulteng 6.803.300 ha telah dikonversi menjadi kawasan pertambangan. Investasi yang selalu digembor-gemborkan oleh pemerintah dapat membawa kesejahteraan, faktanya masih kontradiktif dengan angka kemiskinan Sulteng (versi BPS) yang sebesar 18,07 persen atau 474.990 jiwa pada 2010.
Angka kemiskinan ala BPS ini harus dicermati bukan sebagai ukuran jumlah warga miskin secara ril. Jika standard angka kemiskinan dinaikkan, jumlahnya dipastikan akan bertambah. Ambil contoh Bank Dunia yang menggunakan standard angka kemiskinan $2/hari atau sama dengan Rp18.000 (kurs $1=Rp9.000), pernah menemukan angka kemiskinan Indonesia mencapai 90 juta jiwa pada tahun 2008 hingga 2009.
Untung tak mungkin diraih, limbah tak dapat ditolak. Berbagai pencemaran lingkungan yang mendera tidak membuat kapok pemerintah untuk terus memberikan ijin pertambangan kepada perusahaan. Pencemaran tailing di teluk Buyat, Minahasa, menjadi penyebab gangguan kesehatan, mulai kesehatan kulit hingga reproduksi yang diderita warga Teluk Buyat pada 2003 hingga harus dipindahkan ke Duminanga pada tahun 2005. Semburan Lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 2006 belum berhenti dan makin bertambah hingga kini.
Fakta paling ironis yang mengungkapkan bahwa pemerintah melindungi penjahat lingkungan adalah dalam kasus dimana Exxon Mobil Oil telah dinyatakan bersalah dan terbukti terlibat dalam pelanggaran HAM di Aceh oleh Pengadilan Federal (2006) dan Mahkamah Agung Washington (2008), namun pelakunya masih dibiarkan dan beroperasi di Indonesia sampai saat ini.
Perusahaan pertambangan seperti International Nikel Coorporation (Inco), Exxon, Freeport, Newmont, Lapindo, Bumi Resources, Total dan seterusnya, mendapatkan legitimasi dari negara untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Di Indonesia, pada 2008, Exxon Mobil Oil mampu membukukan keuntungan sebesar USD 45.2 Miliar. Inco Indonesia yang juga beroperasi di Morowali ini mencatatkan laba bersih sebesar US$437,4 juta pada 2010 lalu.
Jika angka keuntungan perusahaan pertambangan di seluruh Indonesia disandingkan dengan kondisi kemiskinan baik dalam angka maupun kondisi ril di Indonesia, maka trickle down effect (tetesan kesejahteraan dari atas ke bawah) benar-benar tidak berlaku di dalam fakta.
CPM, Ancaman di Depan Mata
Massa juga membentangkan sebuah spanduk bertuliskan “Tolak CPM”. PT Citra Palu Mineral (CPM) dinilai merupakan ancaman serius bagi warga kota Palu jika anak perusahaan Bumi Resources, milik Bakrie Group itu, jadi beroperasi di Poboya.
Sikap yang melandasi penolakan PT CPM adalah karena perusahaan itu melalui kontrak karya menguasai 561.050 ha konsesi pertambangan dan jaraknya dengan teluk palu sangat dekat. Konsekuensinya, Teluk Palu berpotensi dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah logam berat. Hal ini merupakan suatu ancaman besar di masa mendatang bagi warga kota Palu. Apalagi PT CPM sebagai anak perusahaan PT Bumi Resources, dimana PT Bumi telah menorehkan sejarah kelam sebagai penyebab tragedi semburan lumpur Lapindo dan mengelak bertanggungjawab atas hal itu.
Menurut Andika, CPM itu adalah ancaman di masa depan. Pertama, Industri ekstraktif akan menghasilkan limbah yang besar, penggusuran hingga kekerasan, serta meningkatnya nilai hedonisme masyarakat di sekitar tambang. Ancaman kedua, rusaknya ekosistem dan hancurnya kawasan tambang Poboya. Masyarakat kota Palu bergantung terhadap air yang ada di Poboya.
Di Poboya juga terdapat Taman Hutan Rakyat (Tahura) Paneki yang terancam hancur jika PT CPM jadi melakukan eksploitasi. Hal ini jelas bertentangan dengan upaya Reducion Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) Plus yang tengah aktif dipersiapkan oleh pemerintah.
“Implementasi REDD tetap akan bullshit jika pertambangan tetap dilaksanakan di wilayah kawasan hutan. Kawasan hutan adalah penting untuk penyangga dunia. Apabila pertambangan tetap dilakukan di kawasan-kawasan hutan, menurut kami, REDD hanyalah omong kosong belaka,” tegas Andika.
Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 42, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.
Komentar
Posting Komentar