Langsung ke konten utama

Hutan Berharap pada Inpres


Hutan telah disadari menjadi aset yang penting bagi kehidupan manusia di bumi. Kesadaran ini semakin menjadi sejak Reducion Emission From Deforestation dan Forest Degradation dipersiapkan di Indonesia. Salah satu regulasi yang penting mengenainya adalah Inpres No. 10 Tahun 2011 mengenai moratorium penebangan hutan primer dan pembukaan lahan gambut.

Inpres ini memberikan manfaat bagi keberlangsungan hutan. Moratorium memberikan kesempatan bagi hutan untuk tumbuh dan bebas dari penebangan, serta jika diperlukan bisa diperpanjang. “Inpres itu, kan, diperuntukkan agar hutan bisa bernafas. Bisa saja diperpanjang oleh pusat jika dua tahun itu dirasa tidak cukup,” kata Kepala Subdinas Planalogi, Syafiuddin Natsir, pada Selasa (12/10).

Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah (2011) melansir luas areal kawasan hutan mencapai 4,3 juta hektar (ha), sementara 626 ribu ha atau sekitar 16% dinyatakan kritis. Bisa dibayangkan, terlepas dari REDD ada atau tidak, betapa pentingnya langkah moratorium demi penyelamatan hutan kita.

Terbitnya Inpres, tidak lantas persoalan selesai. Bukan saja karena Inpres memberikan pengecualian moratorium pada proyek geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu, tetapi juga konflik kepentingan yang mengambil arena peruntukan kawasan hutan. Hal ini terjad terutama sejak otonomi daerah dinikmati oleh pemerintah daerah kabupaten.

Hutan dapat dimanfaatkan demi kepentingan manusia. Namun, ada perbedaan mendasar antara pemanfaatan untuk kebutuhan subsisten (rakyat) dengan pemanfaatan demi kepentingan profit (korporasi).

Pemkab Harus Tahu Inpres
Sejak lama, hutan menjadi perebutan di antara kepentingan, yang melibatkan pejabat pusat dan daerah, pengusaha, dan rakyat di sekitar hutan. Hutan juga merupakan arena kekayaan yang tidak hanya mengandung kayu, tetapi juga seringkali menyimpan bahan galian berupa mineral dan gas bumi. Keadaan ini menkondisikan konflik kepentingan dalam berbagai variabel versus. Pemerintah versus rakyat; pemerintah daerah versus pemerintah pusat; pengusaha versus rakyat; pengusah versus pengusaha.

Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, N. Nahardhi, mengatakan bahwa Dinas Kehutanan Propinsi tidak mengeluarkan izin untuk kawasan hutan. “Yang mengeluarkan izin itu pemerintah  kabupaten (Pemkab). Kewenangannya Dinas Kehutanan itu mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007,” jelasnya, pada Selasa (11/10).

PP No. 38 Tahun 2007 memberikan kewenangan kepada Dinas Kehutanan Propinsi dalam hal inventarisasi, pertimbangan teknis, perlindungan hutan dan beberapa pemberian izin.

Hal senada juga dijelaskan oleh Kepala Bidang Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Sulawesi Tengah, Aris Bulo Pasaru, “Gubernur itu tidak mengeluarkan izin. Selama ini yang mengeluarkan izin adalah pemerintah kabupaten. Memang Undang-Undang Minerba memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk mengeluarkan izin lintas kabupaten, tapi ini sangat jarang terjadi,” ungkapnya kepada Silo, Selasa (11/10).

Pemerintah pusat sebaiknya mensosialisasikan Inpres No. 10 Tahun 2011 langsung kepada pemerintah kabupaten yang selama ini paling banyak mengeluarkan izin penggunaan kawasan hutan.

Konflik-konflik yang menyangkut pemanfaatan kawasan hutan juga perlu dibenahi lebih lanjut. Jangan sampai hutan yang diperuntukan sebagai daerah konservasi dan cadangan karbon digunakan untuk keperluan lain dengan mengatasnamakan adanya bahan galian, panas bumi dan sebagainya di kawasan hutan tersebut yang diklaim sebagai milik daerah.

Warning  ini sangatlah beralasan. Karena ternyata pemerintah juga telah mengeluarkan Pepres (Peraturan Presiden) No. 28 tahun 2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah. Artinya, hutan Indonesia tidak benar-benar aman dari eksploitasi. Ke depannya, Pepres ini akan melegalisasi proyek-proyek investasi pembangkit listrik panas bumi (geothermal) milik perusahaan (korporasi) yang disebut-sebut tidak akan menganggu keberlangsungan hutan di atasnya. Bisakah, hutan berharap pada tanggungjawab korporasi?

Nyatanya, kini hutan hanya berharap pada Inpres.


Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 43, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).