Langsung ke konten utama

Hutan dalam Skema Pasar


Pengelolaan sumber daya alam di daerah ini paling banyak menggunakan kawasan hutan, baik untuk keperluan kayu, perkebunan maupun pertambangan. Pemerintah sangat “ringan tangan” memberikan izin-izin pemanfaatan atau konversi hutan kepada perusahaan, namun menjadi bertangan besi ketika masyarakat lokal (adat) memanfaatkan kawasan hutan yang disebut taman nasional atau konservasi. Hutan sangat rentan dieksploitasi secara berlebihan demi mendapatkan nilai ekonomis.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan tahun 1999, luas hutan Sulawesi Tengah, yakni 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari wilayah Provinsi (6.803.300 ha). Lahan hutan 854.245 hektar hanya dikuasai oleh 13 perusahaan pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Tercatat delapan perusahaan masih aktif beroperasi di hutan seluas 573.710 hektar, sementara lima lainnya dinyatakan tidak aktif. HPH ini diberikan demi mendapatkan pemasukan kas negara.

Di Banggai misalnya, luas daerah ini adalah 967.200 hektar dimana terdapat empat HPH seluas 240.110 hektar. Tiga HPH, yakni milik PT Balantak Rimba Rejeki, PT Dahatam Adi Karya, PT Palopo Timber Company, dan PT Satyaguna Sulajaya. Tiga perusahaan pertama terhitung masih aktif, yang menggunakan 212.370 hektar hutan untuk dibabat. Bahkan, kini kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang seluas 3.900 hektar kebanggaan Banggai itu rusak berat akibat rambahan PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). Menurut salah seorang staf Yayasan Merah Putih (YMP), Azmi Sirajudin (2011), kerusakan hutan di Banggai sebenarnya jauh lebih parah daripada yang tertulis di atas kertas karena hampir setiap hari media-media lokal di Luwuk ramai memberitakan laporan masyarakat mengenai perambahan hutan.

Saat ini, 16 persen atau 626 ribu hektar hutan di Sulteng dinyatakan kritis. Secara nasional, laju kerusakan hutan di Indonesia rata-rata 1,2 juta hektar per tahunnya. Daerah ini juga terkenal rawan banjir bandang. Selama lima tahun terakhir, hampir semua wilayah kabupaten di Sulteng pernah terkena banjir. Morowali, Poso, Sigi, Toli-toli, Parigimoutong dan Buol adalah di antaranya daerah yang rawan banjir.

Pada 2010, banjir besar melanda 10 desa di kecamatan Petasia, Morowali. Bencana ini sangat terkait dengan operasi berbagai perusahaan nikel di sana. Hutan lindung dan budidaya yang dirusak di wilayah itu sudah mencapai 21, 8 persen. Tercatat, 36 ribu hektar alih fungsi lahan perkebunan sawit di Kabupaten Morowali dicaplok dua perusahaan besar, yakni PT Sinar Mas sebanyak 16 ribu Ha dan PT Astra 20 ribu Ha (YTM, 2010).

Baru-baru ini, Desember 2011, Desa Bolapapu, Kulawi, Sigi, terkena banjir yang menewaskan enam orang, sementara ratusan rumah rusak berat. Pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) mengakui bencana itu terjadi karena berkurangnya tumbuhan penyerap air dan curah hujan yang tinggi. Gubernur Sulteng, Longki Djanggola, sempat menyatakan banjir terjadi karena ilegalogging yang lalu dibantah oleh pemda setempat.

Pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab. Pemerintah pusat dalam hal ini diwakili oleh menteri lah yang mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan dengan pertimbangan teknis dari dinas kehutanan dan Gubernur.

Diakui atau tidak, sekarang iklim terasa sangat tidak stabil dan sulit diprediksi, diperparah dengan kondisi hutan yang semakin kritis akibat eksploitasi perusahaan terhadap hutan demi kepentingan pasar.

Penyelamatan Hutan dalam Skema Pasar
Memang, terdapat upaya menyelamatkan hutan sebagai apa yang disebut Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradations (REDD), plus konservasi dan pertumbuhan ekonomi (REDD+). Dana satu milyar dollar dikucurkan untuk mewujudkan proyek ini di Indonesia. Tak jauh beda dengan konservasi, prinsipnya hutan tidak boleh ditebang. Hal lain lagi, REDD mengusung mekanisme pasar sebagai aturan kompensasi karbon yang tersimpan di dalam hutan. Cadangan karbon yang dijaga agar jangan sampai terlepas ke udara bernilai dollar.

Dunia sedang krisis ekologi. Tahun 2005 jumlah emisi karbon sudah mencapai 379 ppm (part per million), sementara jumlah karbon di udara tidak boleh melebih 450 ppm. Jika melewati ambang batas 450 ppm, maka akan terjadi perubahan radikal terhadap iklim dan bumi yang sulit untuk diprediksi, kerusakan besar-besaran dan krisis lainnya yang dapat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan kehidupan manusia.
Mawas terhadap bahaya ini, negara-negara maju atau negara annex one (1) berupaya melegitimasi suatu mekanisme penyelematan bumi tanpa menggangu pertumbuhan ekonomi atau produksi kapitalis di negeri-negeri tersebut. Itu lah mengapa, negara-negara berkembang yang masih luas kawasan hutannya dan sebenarnya hanya menyumbang 20 persen emisi dunia diharapkan menjaga kawasan hutan dan mendapatkan pembayaran atas cadangan karbon yang tersimpan di hutan-hutan itu. Tahun 2012 ini adalah gerbang pembukaan implementasi proyek REDD di Indonesia.

Dengan klaim luas lahan 4,3 juta hektar hutan, Sulteng berkesempatan mendapatkan program REDD tersebut. Pemerintah tergiur mendapatkan pembayaran langsung atas karbon sebagai pihak yang memiliki hak legal formal terhadap pemanfaatan hutan. Begitu juga pihak private sector (swasta) berkesempatan untuk mengembangan proyek REDD melalui mekanisme business to business (B to B) atau dari pihak swasta ke pihak swasta lainnya, tender dengan restu pemerintah.

Atas nama penyelamatan hutan sekalipun, tetap saja indikasi kuat pengkaplingan lahan menghantui pelaksanaan proyek ini. Jika demikian, hanya segelintir manusia yang memiliki kekayaan yang bisa selamat dari program pasar semacam ini. Masyarakat adat/lokal berpotensi tersingkir dari hak atas pemanfaatan hutan.

Untungnya, ada FPIC atau Free, Prior and Informed Consent yang harus ada dalam proyek REDD. FPIC merupakan prinsip-prinsip persetujuan terhadap suatu program atau proyek oleh masyarakat lokal/adat yang didahului atas adanya informasi awal berupa segala aspek mengenai pelaksaan proyek tersebut termasuk dampak-dampaknya.

Masalahnya, FPIC sangat rentan dimanipulasi. Pengalaman Forest Peoples Programme (FPP) dari pelaksanaan FPIC di berbagai belahan dunia mencatat kegagalan praktek FPIC bisa disebabkan berbagai faktor, seperti apresiasi dari pihak luar atas pengambilan keputusan oleh masyarakat adat; manipulasi terhadap lembaga-lembaga adat mereka; manipulasi pengambilan keputusan oleh para elit adat demi kepentingan mereka sendiri; dan kesalahpahaman masyarakat adat tentang implikasi hukum, sosial dan lingkungan. (Colchester dan Ferrari, 2007).

Atau tak perlu jauh-jauh, pengalaman pelaksanaan FPIC di Aceh mengatakan seluruh pelaksana proyek (Developer) berbasis REDD/REDD+ seringkali alpa melaksanakan kewajibannya. Para pengemban proyek REDD di kawasan Ulu Masen, Aceh, yang didanai oleh Amerika Serikat dan Kanada, sama sekali tidak pernah melakukan sosialisasi ataupun konsultasi kepada masyarakat adat / lokal, untuk meminta pendapat mereka terkait jalannya proyek REDD. (Sirajuddin, YMP: 2010)

Jadi, dalam penyelamatan hutan teranyar yang disebut REDD/REDD+, ada tarik menarik kepentingan pasar dan masyarakat adat/lokal. Sanggup kah nanti kepentingan masyarakat adat/lokal yang dimenangkan?


Palu, Arsip 2011

Ditulis untuk Majalah Silo Edisi 44, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).