Langsung ke konten utama

Kaleidoskop 2011: Menelan Getir di Tanah Kaya


Tahun baru merupakan batas virtual (buatan) manusia. Suatu tonggak dimana waktu berakhir, lalu dimulai lagi. Karena batas ini adalah virtual, maka ia tidak bisa memanipulasi (mengubah) kejadian nyata itu sendiri. Kejadian-kejadian yang disusun setiap hari tanpa peduli batas waktu. Kejadian yang bisa terjadi tahun 2011 maupun terjadi lagi pada 2012, atau terangkai dalam tahun-tahun itu. Dalam agenda besar investasi di Sulteng, tahun 2011 adalah suatu fase dari proses yang sudah dimulai pada tahun-tahun lalu, dipermantap pada 2011, dan akan semakin diperdalam pada tahun-tahun yang akan datang.

Politik desentralisasi yang diimplementasikan dalam kebijakan otonomi daerah (Otda) melalui UU No. 32 tahun 2004 semakin dimapankan dari tahun ke tahun. Tema besar otonomi ialah kemandirian dimana pemerintah daerah (Pemda) diharapkan sanggup menyelenggarakan pemerintahan sendiri demi kepentingan masyarakat sesuai dengan aturan undang-undang. Pemda memiliki wewenang eksekusi (membuat keputusan) seperti pembuatan anggaran, pembangunan, dan investasi.

Pembangunan yang menjadi ruh program pemerintah dipercaya merupakan jalan menuju kemakmuran rakyat. Pembangunan dikonotasikan sebagai sesuatu yang positif, tak peduli jika pembangunan harus menghalalkan segala cara. Ironisnya, pembangunan dalam semangat otonomi tidak disertai dengan pengembangan sumber daya manusia (SDM) lokal dan teknologinya sehingga model pembangunan daerah menjadi justru sangat mengandalkan bantuan dari luar serta salah urus. Sebenarnya, masalah minim SDM dan teknologi adalah persoalan klasik dari sejak zaman Indonesia baru merdeka yang tak kunjung berbuah manis sampai kini.

Hingga, jalan tempuh mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya dengan melalui investasi. Jual apa saja yang bisa dijual asal cepat dapat uang, dampaknya belakangan. Investasi tentu saja adalah “makanan” pemilik modal besar, hampir 100 persen modal asing.

Tidak ada hambatan berarti untuk menempuh cara ini karena pertama, minus SDM dan teknologi adalah argumentasi kuat pemerintah untuk mengeluarkan berbagai izin investasi. Alasan “kita belum bisa mengelola sendiri sumber daya alam kita karena belum mampu” atau “nanti akan ada alih teknologi” bisa dipakai untuk memuluskan semua rencana investasi. Kedua, di sisi politik, rakyat sekadar sebagai lumbung suara dalam pemilu yang lima tahun sekali. Rakyat tidak memiliki kontrol langsung terhadap negara. Bahkan jika melawan, maka rakyat bisa dikriminalisasikan sesuai aturan hukum yang berlaku yang melindungi property (aset) perusahaan.


Pasar dan Sumber Daya Alam
Kekayaan Sulawesi tengah bisa dilihat jumlah penduduk sekitar 2,5 juta jiwa dan berbagai potensi sumber daya alam seperti nikel, minyak dan gas, emas, galian C, hasil-hasil hutan dan perkebunan, terutama kakao dan sawit.

Bukan kebetulan jika potensi ini mendatangkan berbagai izin investasi dalam lapangan ekstraktif sumber daya alam, perkebunan, kehutanan dan pembukaan bisnis retail berupa pasar-pasar modern.

Sebagai gambaran, terdapat 365 izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh para petinggi di daerah ini. 109 IUP berada di Morowali. Selain itu, Perhimpunan Evergreen Indonesia (PEI) Sulteng memprediksikan bahwa luas areal ekspansi kelapa sawit akan bertambah seluas 200.000 hektar karena adanya rencana ekspansi 7 perusahaan yang berupaya diloloskan oleh pemerintah di 4 Kabupaten masing-masing.

Pertumbuhan pasar modern di daerah perkotaan provinsi akan semakin pertajam dengan rencana pemerintah kota Palu yang akan membangun Palu Bay Park (Taman Teluk Palu) dengan mereklamasi (menimbun) laut teluk palu seluas 40 hektar. Taman ini bukan lahan penghijauan, namun merupakan pusat perbelanjaan yang dilengkapi fasilitas mewah kelas bintang lima.

Ruang-ruang publik semakin didesak oleh kepemilikan aset korporasi (perusahaan).

Banyak harapan yang disemai dalam proses ini. Pemerintah menyodorkan kata “pembangunan” dengan janji lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi rakyat. Fakta menunjukkan ini hanya mitos belaka. Pemerintah tidak serius dalam membangun sumber daya manusia. Porsi anggaran belanja pejabat selalu terlihat terpaut jauh dengan anggaran pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan pemberdaya

Angka kemiskinan versi BPS (standard Rp 7.000,-) memang menurun dari tahun ke tahun. Pada 2010 sebanyak 474,99 ribu jiwa (18,1 persen), lalu pada tahun 2011 sebanyak 423,63 ribu jiwa (15,8 persen). Konsentrasi kemiskinan sebanyak 88,58% berada di pedesaan. Tapi lucunya, sembilan dari 11 wilayah kabupaten/kota di Sulawesi tengah masuk kategori daerah tertinggal (Bank Indonesia, 2011). Kegetiran hidup rakyat berusaha dimanipulasi dalam angka.

Peningkatan kasus kekerasan terlihat jelas dalam dinamika perluasan investasi. Yang terbaru adalah kasus Tiaka, Morowali dimana aparat yang menjaga PT Medco menembak dua orang warga Kolo Bawa hingga tewas dalam suatu demonstrasi pada bulan Ramadhan. Kematian warga dinilai oleh negara sebagai kesalahan prosedur sehingga bukan polisi yang diseret ke meja hijau, melainkan warga yang dijadikan tersangka.

Kerusakan lingkungan menghadirkan bencana ekologi  yang menambah derita rakyat. Ancaman dampak merkuri dan sianida, bencana banjir, pendangkalan air sungai, hingga penyakit gatal-gatal merebak di berbagai daerah di Sulteng.

Pembangunan ini lagi-lagi menguntungkan segelintir elit lokal yang memiliki koneksi dengan partai-partai politik besar dari atas (pusat). Sementara, rakyat menelan nyeri derita yang tak berkesudahan.
Demi Perluasan Modal

Nasib jutaan rakyat diletakkan dalam skema perluasan modal global (ekspansi kapital). Perkembangan modal di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa, menyusul Cina, terlalu sempit di dalam negeri mereka sendiri. Negara-negara maju sekarang sedang menderita krisis rutin yang terjadi 5-10 tahun sekali. Krisis ini berlaku dalam model produksi barang dan jasa secara besar-besaran yang dipicu oleh persaingan di antara para pemilik modal. Hasil produksi ini terlalu berlebihan sehingga perlu diekspor ke negeri lain, salah satunya Indonesia. Selain itu, proses produksi ini membutuhkan bahan baku berupa sumber daya alam dari negeri lain seperti Indonesia. Itu lah yang melatarbelakangi apa yang kita kenal sebagai investasi.

Investor asing membawa uang, barang serta alat-alat produksi. Pemerintah menerima kedatangan investasi dan bertindak sebagai perantara (agen). Untuk memuluskan ini, infrastruktur besar dibangun, tanah rakyat diambil-alih, tenaga kerja murah diberikan dan seterusnya. Pelaksanaanya disahkan oleh seperangkat aturan kebijakan lengkap yang ditegakkan oleh aparat militer (TNI maupun polisi).

Tidak hanya di Sulteng, di daerah-daerah lain di Indonesia bernasib sama. Rentetan peristiwan kekerasan teranyar terjadi. Sebut saja pembantaian 30 petani di Mesuji, Lampung oleh pihak keamanan perkebunan sawit PT Sylva Inhutani pada Januari silam yang baru ketahuan belakangan ini. Tewasnya tiga warga Lambu, Bima, di Nusatenggara Barat akibat tembakan polisi yang membubarkan pendudukan warga di Pelabuhan Sape. Warga menolak rencana tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara di lahan seluas 24 ribu hektar.
Segera, akan lebih banyak lagi, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan kekerasan sebagai selalu produk investasi kapital (modal). Oleh pemerintah, rencana ini telah disusun baik-baik dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Plan ini menempatkan Sulteng sebagai salah satu wilayah tujuan investasi perkebunan sawit, pertambangan nikel dan emas.


Palu, Arsip 2011
Ditulis untuk Majalah Silo Edisi 43, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).