Langsung ke konten utama

KAS Luncurkan “Sutet Adalah Monster Bagi Kami”


Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Telah setengah jam berlalu sejak jadwal acara yang ditetapkan, namun belum nampak tanda-tanda acara akan segera dimulai. Kursi-kursi masih kosong-lompong, menunggu diisi.

Penantian ini tidak sia-sia, nyaris setengah jam kemudian, tamu-tamu berdatangan. Di antara mereka saling mengenal satu sama lain, kentara dari wajah mereka sumringah sembari berjabat tangan. Setelah masing-masing mengambil tempat duduk, mengalir cerita tak putus-putusnya. Bukan cerita biasa, tapi perkara sosial pelik yang butuh pemecahan.

Kesenyapan dari diskusi mendadak melanda ruangan itu, saat Wilianita Selviana melalui mikrofon mengumumkan acara akan dimulai. Ia adalah direktur Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah yang hari itu (8/06) menggelar serangkaian acara dalam rangka peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2010 di Restoran Kampung Nelayan, Palu.

Enam Tahun Menolak Sutet
Agenda acara pertama diawali dengan pemutaran film pendek “Tower PLTA adalah Monster Bagi Kami”. Film yang berdurasi 14 menit 18 detik ini menceritakan perjuangan warga desa Peura, Poso, yang menolak pembangunan tower Saluran Udara Tegangan Extra Tinggi (Sutet) milik PLTA Sulewana milik PT Poso Energy, anak perusahaan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia.

Sejak 2005, warga tidak ingin ada sutet di desa Peura. Mereka mengalami intimidasi, kekerasan, kriminalisasi bahkan pecah belah di antara keluarga di dalam masyarakat.

Koalisi Advokasi Sutet (KAS) meluncurkan film pendek sebagai bagian dari upaya kampanye penolakan pembangunan sutet di daerah pemukiman warga. KAS diinisiasi oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk Walhi dan YMP. Film Peura juga sudah dapat diakses di internet, http://vimeo.com/24609352.

Selain film, KAS juga me-launching  kertas posisi kasus Peura “Enam Tahun Menolak Sutet: Kami Tidak Menolak Listrik, Kami Menolak Ketidakadilan” yang dicetak di atas kertas daur ulang.

To Peura (orang Peura) menolak pembangunan menara sutet 51 dan 52 yang mengambil lokasi di bibir pantai, sekitar pemukiman warga. Lokasi itu sering dilewati warga yang pergi bekerja dan juga tempat bermain anak-anak.

Persoalan pelik yang menimpa warga Peura adalah konflik di kalangan warga sendiri. Hal itu terjadi karena pihak perusahaan menawarkan janji-janji kepada masyarakat, misalnya janji listrik gratis.

Pihak warga yang kontra pembangunan sutet tidak percaya janji tersebut yang mereka nilai tidak masuk akal. Listrik gratis juga tidak setara dengan keselamatan warga. Mereka bersikukuh ingin lokasi menara sutet kembali ke titik pengukuran awal sesuai dengan rancangan Amdal sutet yang sudah disetujui tidak melintasi pemukiman tapi di daerah pegunungan.

Wilianita mengatakan alasan perusahaan memindahkan pembangunan menara sutet ke desa Peura adalah demi efisiensi. Kalau tower dibangun di pemukiman atau di bibir pantai, itu menghemat dua menara sutet. Jika perusahaan membangun menara sutet di pegunungan, ada empat menara sutet mesti dibangun. “Jadi perusahaan memindahkan tower bukan karena kasihan pada masyarakat tapi soal bagaimana mereka mengefisiensi biaya pembangunan tower,” kata Lita.

Menurut Direktur Yayasan Merah Putih (YPR) yang juga bagian dari KAS, Dedi Irawan, kasus pembangunan menara sutet ini tidak bisa dilihat dalam kerangka kasus Peura semata. “Kasus Peura ini hanya salah satu dari sekian banyak kasus-kasus yang terkait dengan PLTA. Hal yang mendasari, tentunya soal politik energi yang salah di negeri ini,” jelasnya.

Hijau dan Merah
Dalam rangkaian acara itu, Walhi Sulteng juga memberikan penghargaan kepada insan lingkungan yang telah melakukan penyelamatan lingkungan dari pekerjaan yang dilakoninya sehari-hari.

“Saya undang dengan hormat Bapak Suganda maju ke depan. Kami sangat bangga karena pekerjaan beliau ini banyak tidak dihargai oleh banyak orang. Padahal pekerjaan beliau inilah yang banyak berkontribusi kepada lingkungan dari hal-hal yang sangat sederhana,” ujar Lita.

Suganda adalah seorang yang menjadi pemulung sampah sudah selama lebih dari 20 tahun. Ia maju ke depan hadirin, menerima sertifikat penghargaan langsung dari Direktur Walhi Sulteng. Wajahnya mengguratkan tidak percaya dengan penghargaan yang diterimanya. Serah-terima itu disambut tepuk tangan oleh para undangan.

Terakhir, Walhi Sulteng mengumumkan raport merah lingkungan yang diperuntukkan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Palu. Panitia sengaja tidak mengundang karena menilai pihak dari Pemkot Palu pasti tidak akan datang karena dapat raport merah. Raport merah itu tetap diumumkan dan rencananya akan dikirimkan ke Pemkot Palu.

Ada tujuh poin yang menjadi dasar kenapa ada raport merah yang diberikan Walhi kepada Pemkot Palu. Salah satunya adalah pembiaran terhadap tingkat emisi yang berbahaya di bagian wilayah batasan kotamadya akibat paparan merkuri yang diperkirakan lebih dari 240 ton elemen merkuri telah dilepaskan di lingkungan sekitar kota Palu karena adaya aktivitas tambang Poboya.

Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 42, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengorbanan Terbaik Manusia Indonesia*

Oleh: Sherr Rinn “Orang yang paling bahagia adalah mereka yang memberikan kebahagiaan terbesar kepada orang lain.” (Status Facebook Sondang Hutagalung, 19 September 2011) “Untuk memberikan cahaya terang kepada orang lain kita jangan takut untuk terbakar. Dan bagi mereka yang terlambat biarlah Sejarah yang menghukum-nya.” (Sondang Hutagalung)

FPRM Sulteng Serukan Lawan Korupsi dengan Membangun Gerakan Rakyat Mandiri

FPRM News – Puluhan massa Front Politik Rakyat Miskin (FPRM) Sulteng melakukan aksi peringatan hari Anti Korupsi se-dunia di depan gedung DPRD Sulteng pada hari Rabu (09/12) lalu. Massa aksi menuntut penuntasan semua kasus di Indonesia secara transparan dan partisipatif. Menurut mereka rezim SBY-Budiono dan elit-elit politik di parlemen maupun di yudikatif tidak mampu menutaskan kasus korupsi yang terjadi karena lemahnya tenaga produktif dan tingginya budaya konsumerisme.

Sering Dituduh Pencuri Bisa Dapat Penghargaan

Subuh, gelap, belum ada cahaya matahari yang menghalau ketenaran bintang-bintang di langit. Sebagian besar orang masih meringkuk di tempat tidur. Sementara itu, orang-orang yang taat ibadah berlomba memenuhi panggilan masjid untuk shalat. Pria bertubuh sedang, berkulit cokelat ini  juga sudah bangun, bahkan pada jam 5 sepagi itu, ia sudah siap bergegas meninggalkan rumah. Rumah kontrakan berdinding papan beratapkan rumbia. Kisah ini bukan kisah seorang tani di desa. Ia hidup di kota Palu, bertempat tinggal di jalan Nenas.