Langsung ke konten utama

Ke Jakarta atau di Daerah?

Perdebatan seputar Mayday ke Jakarta atau di daerah (khususnya Bekasi) penting untuk diulas.

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) bersama unsur-unsur Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) bersepakat menggelar aksi bersama di Jakarta sebagai bentuk penyatuan nasional. Massa buruh dari Jakarta, Bogor, Tangerang, Karawang, Bekasi dan sekitarnya, harus masuk Jakarta dengan target 500 ribu – 1 juta buruh. Kelompok buruh ini menuntut JAMSOSTUM: Jaminan Kesehatan, Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah, serta tolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), tolak RUU Ormas dan RUU Kamnas. Sementara, cabang-cabang FSPMI (kecuali Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya) akan melaksanakan aksi di pusat-pusat kekuasaan daerah masing-masing.

Konsentrasi aksi pada “Pusat kekuasaan” ini lah  yang menjadi titik tekan MPBI. Dengan kata lain, aksi Mayday adalah bentuk aksi politik untuk menuntut kepada pemerintah agar memenuhi tuntutan Jamsostum.

Kelebihan dari aksi MPBI adalah bersifat lebih politis dan me-nasional. Selain itu, program JAMSOSTUM dan Tolak Kenaikan BBM adalah kebutuhan mendasar bagi buruh dan rakyat sehingga potensi dukungan sangat besar. Namun, yang tidak diperhitungkan oleh organisasi ini adalah hambatan premanisme dan PHK sepihak hingga pembubaran serikat (union busting) yang menimpa buruh di pabrik-pabrik yang jika tidak cepat ditangani akan menurunkan daya mobilisasi.

Semakin lama dibiarkan, konsolidasi preman, aparat polisi dan pengusaha (bahkan bersama pemerintah daerah) akan semakin kuat. Pengusaha juga tak ragu-ragu untuk menanamkan modalnya pada kelompok preman berkedok ormas. Misalnya, Masyarakat Peduli Investor (MPI) kini bekerjasama dengan pengusaha membuat jalan di dekat kawasan industri MM2100 adalah bentuk konsolidasi ekonomi dan politik. Bahkan, ormas ini berusaha menarik simpati masyarakat dengan memperuntukan jalan tersebut untuk para pengendara motor.

Jika kekuatan preman sudah cukup kuat, maka kemungkinan mereka menghalang-halangi mobilisasi buruh semakin masif pula.

Di sisi lain, FKI SPSI akan melaksanakan aksi mayday di daerah saja, tidak di Jakarta. FKI SPSI Bekasi akan melaksanakan aksi mayday dalam bentuk rally kawasan dan menuntut ke pemerintah daerah (Pemda) di Kabupaten Bekasi. Alasannya, masih banyak persoalan buruh di kawasan yang belum bisa terselesaikan sehingga tak perlu ke Jakarta.

Federasi Pekerja Industri Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FKI SPSI) menanggung resiko yang sangat besar dengan melakukan aksi sendiri di kawasan dan Pemda pada saat yang lainnya ke Jakarta—keberanian mengambil resiko yang patut kita hargai. Programnya juga lebih ekonomis: masalah-masalah pabrik. Apalagi, ormas akan turun juga pada 1 Mei untuk mengamankan kawasan industri. Sweaping tidak mungkin dilakukan jika dihalang-halangi oleh aparat dan preman. Memang, adalah lebih baik jika buruh keluar dari pabrik dengan kesadarannya sendiri ketimbang karena sweaping.

Kalau begitu, manakah aksi yang paling efektif?

Bupati Kabupaten Bekasi, Neneng Hasanah Yasin, mengatakan buruh sebaiknya demo ke Jakarta saja karena demo di kabupaten Bekasi akan menganggu stabilitas ekonomi. Pemerintah menawarkan kepada buruh agar masuk Gelora Bung Karno yang acaranya akan dibiayai sebesar Rp7 Miliar merupakan gambaran ketakutan agar buruh tidak turun ke jalan. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sofjan Wanandi, menyarankan buruh tumpengan bersama pengusaha untuk merayakan 1 Mei.

Forum Investor Bekasi (FIB) akan menggelar tabligh akbar (zikir bersama) pada 1 Mei di kawasan Jababeka. Ada indikasi, FIB akan berusaha membenturkan buruh yang bergerak ke Jakarta dengan ormas keagamaan. Kini, pengusaha berusaha menggunakan agama untuk menyudutkan buruh.

Selain itu, ada juga perusahaan yang meliburkan buruhnya pada 1 Mei (bahkan ada yang sanggup meliburkan selama 3 hari) juga adalah gambaran, sebetulnya pengusaha memberikan buruh pilihan untuk pulang kampung (liburan) agar tidak ikut aksi Mayday. Kesadaran buruh harus semakin maju menolak godaan pengusaha dan pemerintah agar tidak ikut aksi Mayday.

Tentu saja  Neneng lebih senang jika buruh masuk Jakarta, karena kawasan-kawasan industri bersih dari buruh yang demo. Pabrik-pabrik yang belum ada serikat atau sudah ada serikat tapi tidak ikut aksi mayday masih bisa bekerja pada 1 Mei, minimal bisa masuk kerja setengah hari (shift 2 atau shift 3), seusai pulang dari zikir bersama Ustad Arifin Ilham atau jalan santai yang diselenggaran Forum Investor Bekasi dan Pemda. Selain itu, barang-barang masih bisa dikirim dan menerima kiriman, meski agak terganggu karena macet.

Pemerintah dan pengusaha takut jika ekonomi lumpuh. Kita ingat betul, ketika penutupan kawasan 27 Januari 2012 lalu, efeknya hingga membuat istana gelisah. Pimpinan-pimpinan buruh langsung dipanggil untuk berunding dengan menteri. Begitupun aksi mogok nasional 3 Oktober 2012 di kawasan-kawasan industri (meski tidak sampai 24 jam) mampu membuat pengusaha dan pemerintah kelimpungan, kerugian yang diderita ratusan milyar.

Atau bagaimana aksi pengawalan pengesahan BPJS tanggal 28 Oktober 2011 yang berlangsung hingga malam hari. Dan aksi BBM tanggal 27 Maret 2012 yang berlangsung hingga malam hari mengepung gedung DPR. Buruh bersama berbagai elemen gerakan mengepung gedung Dewan Perwakilan Rakyat, tidak mau pulang jika tuntutannya tidak dipenuhi. Hingga akhirnya, DPR terpaksa menolak opsi kenaikan BBM, bahkan fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR berubah haluan di tengah jalan yang awalnya mendukung kenaikan BBM menjadi menolak kenaikan BBM.

Belakangan, meskipun aksi-aksi buruh terhitung besar, tapi jika hanya longmarch SEKADAR LEWAT pusat-pusat kekuasaan (istana dan kementerian-kementrian) tidak ada efeknya. Aksi semacam itu, yang sekedar lewat, tidak bisa menekan pemerintah apalagi pengusaha. Yang terjadi, justru kemarahan kelas menengah belaka karena jalanan macet.

Jadi, aksi yang paling efektif adalah:

1) Mogok atau melumpukan kawasan industri. Jika  hal ini terjadi, tidak perlu besar-besaran datang ke Jakarta, maka tekanannya kepada pemerintah dan pengusaha akan kuat sekali. Aksi di daerah sekalipun tidak akan banyak berpengaruh, jika tidak diarahkan untuk mogok kawasan, atau minimal FKI-SPSI bisa ada propaganda penyadaran mogok kawasan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan buruh tentu sudah bagus, mengingat kekuatan sendiri FKI SPSI tidak akan cukup untuk melumpuhkan kawasan. Apalagi mereka yang sendirian pasti akan dihadang oleh preman.

2) Kepung pusat-pusat kekuasaan sampai tuntutan dipenuhi. Aksi ke pusat-pusat kekuasaan bukan sekadar lewat (longmarch), tapi bertahan hingga tuntutan dipenuhi. Hanya dengan cara seperti itu, buruh bisa menekan pemerintah. Lalu pemerintah bisa menekan pengusaha bahkan menekan polisi yang membiarkan premanisme. Karena jelas sekali, aksi ke Jakarta (pusat-pusat kekuasaan) tidak membuat pengusaha tertekan secara langsung.

Jadi, persoalan yang sesungguhnya bukan pada polemik aksi ke Jakarta atau aksi di daerah. Masalah yang harus dijawab adalah apakah aksi-aksi tersebut sanggup menghentikan produksi ataukah sanggup mengepung/menduduki pusat-pusat pemerintahan? Jika aksi dilakukan di daerah kawasan industri, apakah sanggup melancarkan pemogokan kawasan? Jika aksi dilakukan di Jakarta, apakah sanggup mengepung/menduduki pusat pemerintahan hingga tuntutan dipenuhi?

MPBI bukannya tidak berencana mogok nasional. Mogok nasional jilid 2 rencananya akan digelar pada bulan Agustus 2013 jika pemerintah tidak menjalankan BPJS Jaminan Kesehatan per 1 Januari 2014. Padahal, situasi mendesak saat ini adalah mengatasi premanisme dalam hubungan industrial dan PHK sepihak yang jika tidak diatasi menurunkan kepercayaan buruh terhadap serikat dan akhirnya mengurangi daya mobilisasi massa.

Penutup

Kita tidak tahu, apakah aksi Mayday nanti mengalami peningkatan mobilisasi atau penurunan. Sebagai catatan, mobilisasi terbesar sepanjang masa reformasi (15 tahun terakhir) adalah pada Mayday 2012 sebanyak 100 ribu buruh melakukan longmarch dari Hotel Indonesia ke Istana, lalu menuju Gelora Bung Karno (GBK) untuk mengikuti rapat akbar MPBI. Jika mengalami penurunan, tentunya harus evaluasi. Tapi, semoga saja mobilisasi meningkat, karena ukuran besar-kecilnya gerakan adalah mobilisasi massa, bukan retorika pimpinannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).