Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru.
Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).
Pihak kepolisian juga tidak mau bertanggungjawab mendanai biaya pengobatan korban. Menurut Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Donggala, AKBP I Nengah Subagia, penembakan tersebut sudah sesuai dengan prosedur tetap kepolisian (protap).
Salah seorang korban yang masih di Rumah Sakit, Basri, menyesalkan tindakan polisi yang menurutnya salah sasaran. “Heri itu tidak ikut tawuran. Dia dengar ribut-ribut, baru keluar rumah cari keponakannya yang belum pulang,” kata korban yang karena kena tembakan di lengan kanannya ini, harus menjalani dua kali operasi.
Catatan Kritis
Kekerasan demi kekerasan terus terjadi di bumi Sulawesi Tengah. Setelah sebelumnya kasus Buol yang menewaskan sembilan orang, kasus Tiaka yang menewaskan dua orang dan saat ini kasus Pakuli yang menewaskan satu orang.
Dalam kasus Tiaka yang masih dalam bulan Ramadhan lalu, memperlihatkan konflik antara perusahaan Medco dan warga dimana polisi berposisi menjaga kepentingan perusahaan. Sementara, dalam kasus di Pakuli, pertentangannya antara warga dengan warga (konflik horizontal) yang menerima represi dari pihak polisi. Dalam hal ini, penyelesaian konflik horizontal mengambil jalan kekerasan oleh aparat.
Dalam suatu masyarakat yang banyak terjadi konflik horizontal, membuat institusi militer memiliki alasan untuk mengambil tindakan kekerasan baru—menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan. Tidak hanya itu, dominasi militer juga akan semakin terasa dalam kehidupan masyarakat sipil. Kecenderungan yang berbahaya bagi demokrasi.
Yang mengherankan, daerah Sulawesi Tengah, khususnya kota Palu, sudah tidak asing dengan program-program perdamaian yang menghabiskan anggaran milyaran rupiah. Bahkan banyak kawan-kawan aktivis dan prodemokrasi yang ikut mengambil bagian dari program tersebut. Pemerintah juga memberi dukungan yang besar, bahkan United Nation Development Programme (UNDP) menyokong program-program perdamaian. Lalu, di mana salahnya program-program itu?
Kita tidak bisa membangun perdamaian sejati di atas ketimpangan sosial yang parah. Problem kemiskinan, pengangguran dan partisipasi pendidikan yang rendah belum mampu diselesaikan dengan benar oleh pemerintah.
Salah seorang aktivis muda, Andika Setiawan, mengatakan pemuda pengangguran merupakan potensi konflik yang tinggi. “Karena tidak punya pekerjaan, para pemuda pengangguran sangat mudah dimobilisasi untuk terlibat dalam konflik-konflik, khususnya di wilayah pedesaan,”
Palu, Arsip 2011
Ditulis untuk Majalah Silo Edisi 43, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.
Komentar
Posting Komentar