Langsung ke konten utama

Menjadikan Reforma Agraria Sebagai Gerakan Sosial


Dalam sejarah peradaban umat manusia, sejak masa komunal primitif, penguasaan tanah merupakan masalah mendasar. Sengketa-sengketa agraria muncul sebagai akibat penguasaan atas tanah-tanah subur oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan politik. Sengketa-sengketa itu seringkali berlangsung dengan cara-cara yang keji yang menyadarkan mayoritas orang untuk mengatur persoalan agraria.

Reforma agraria (landreform) tidak bisa disamakan dengan reformasi yang perubahannya bersifat tambal sulam (koreksi). Reforma agraria menginginkan perubahan fungsi dan juga struktur.

Sejak manusia terlibat dalam konflik agraria, sejak itu pula manusia berpikir tentang konsep reforma agraria. Tonggak-tonggak sejarah reforma agraria telah dimulai pada masa Yunani Kuno tahun 500 SM, lalu Romawi Kuno tahun 134 SM, Enclosure Movement di Inggris abad 12-akhir abad 14, gerakan reforma agraria besar-besaran pada Revolusi Prancis1880an, dan redistribusi lahan pada Revolusi Rusia 1917. Tonggak-tonggak selanjutnya berlangsung pasca perang dunia kedua sampai dengan piagam petani (peasants’ charter) yang diinisiasi oleh Food and Agriculture Organization-United Nations (FAO-UN) atau FAO-PBB.

Di Indonesia, tonggak reforma agraria dimulai pada masa Raffless (1811) yang memperkenalkan teori domein, yaitu sistem pajak tanah. Tonggak kedua (1830) yakni Culturstelsel (tanam paksa) Gubernur Jenderal Van den Bosch; UU Penyewaan Tanah Pemerintahan Belanda (1848); liberalisasi tanah (1870), dan; masa pemerintahan Jepang.

Pada masa kemerdekaan, Gunawan Wiradi menyebutnya sebagai tonggak keenam dimana puncak dari segala upaya reforma agraria adalah lahirnya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mencerminkan pemihakan terhadap kepentingan rakyat. Hal ini jelas tercermin dalam pasal 11 dan 13.
Pasca 1966, UUPA buyar oleh pemerintahan Orde Baru yang menggunakan pendekatan jalan pintas (bypass approach). UUPA dipeti-es-kan (didiamkan) diganti dengan kebijakan mengandalkan bantuan asing, hutang dan investasi dari luar negeri serta bertumpu pada yang besar. Akibatnya, konflik agraria bukannya semakin mereda, tetapi sebaliknya, makin marak ke mana-mana. Selain itu, Orde Baru juga terus memelihara hambatan politis-psikologis “Landreform sebagai program PKI”, “landreform adalah aksi sepihak”.

Reforma Agraria Sebagai Dasar Pembangunan
Di era globalisasi, langkah pembangunan mengambil paradigma modernisasi yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi di atas segala-galanya (tidak peduli untuk siapa), perencanaan terpusat (top-down), mengusahakan stabilitas yang opresif, dan bahkan seringkali mengabaikan pembangunan sektor pertanian. Konsep ini sudah terbukti gagal pada masa Orde Baru yang menimbulkan konflik agraria di mana-mana.

Mayoritas rakyat berada di pedesaan. Pembangunan ekonomi kerakyatan harus memberdayakan masyarakat pedesaan sebagai basis ekonomi yang tangguh. Jika pedesaan merupakan basisnya, maka masalah penguasaan tanah harus ditata kembali. Struktur agraria didominasi oleh usaha tani keluarga yang efisien, teknologi maju dan terutama bekerja dengan tenaga keluarga. Hak-hak dan kebutuhan petani wanita diperhatikan sekali. Akses dan kepastian dalam hak-hak atas tanah dan air diupayakan secara aktif. Di mana terdapat persoalan distribusi tanah tidak merata, maka di situ diperlukan reforma agraria yang terdesentralisasi, partisipatif. Berbagai lembaga demokratis perlu ditumbuhkan. Melalui demokratisasi akan terbangun sikap kemandirian, rasa percaya diri, dan kemampuan mengorganisir diri sehingga rakyat pedesaan memiliki posisi tawar yang kuat.

Ekonomi rakyat bertumpu pada beberapa prinsip dasar, seperti produksi berorientasi kebutuhan masyarakat, bukan pasar; mengutamakan manfaat bagi rakyat, bukan laba; pelibatan rakyat dan melestarikan lingkungan; meningkatkan tanggungjawab sosial dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi; peningkatan kualitas hidup rakyat banyak, bukan perorangan.

Menjadikan Reforma Agraria Sebagai Gerakan Sosial
Pembangunan berbasiskan ekonomi rakyat pedesaan perlu memastikan reforma agraria sebagai agenda bangsa. Berangkat dari realitas dimana pemerintah mengesampingkan reforma agraria, maka di sini letak perlunya format reforma agraria sebagai gerakan sosial.

Gerakan agraria merupakan suatu usaha, upaya dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Reformasi yang sedang berlangsung harus didorong menetapkan kebebasan berserikat di pedesaan. Organisasi tani haruslah kuat secara kuantitatif (banyaknya) dan kualitatif (kualitas). Dalam hal ini, peranan Ornop/LSM (Organisasi non Pemerintah) memberdayakan rakyat di pedesaan agar bertranformasi menjadi mandiri dalam memperjuangkan reforma agraria. Karena harus diingat, reforma agraria sebaik-baiknya meninggalkan filsafat paternalistik, yaitu hanya mengharapkan kedermawanan pemerintah dalam melakukan reforma agraria. Menarik dukungan pemerintah lokal, dapat dilakukan dengan metode persuasi.

Mumpung suasana kebebasan sedang terbuka (siapa tahu kebebasan itu tertutup kembali), saatnya penggiat reforma agraria mengambil kesempatan membangun penguatan organisasi tani sebagai alat penggerak reforma agaria.

Judul: Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir.
Penulis: Gunawan Wiradi
Penerbit: KPA, Sajogyo Institute dan AKATIGA
Terbit: Oktober, 2009
Halaman: xxxiv + 200


Palu, Arsip 2011

Ditulis untuk Majalah Silo Edisi 43, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).