Langsung ke konten utama

Niat Baik yang Terbatas


Moratorium penebangan hutan bukan isu baru. Sudah sekian lama diusulkan sebagai salah satu jalan keluar dari persoalan deforestasi di Indonesia oleh para aktivis dan organisasi lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sendiri telah mengusulkan kebijakan moratorium penebangan hutan kepada pemerintah sejak tahun 2002.

Akhirnya pada tahun ini pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium pemberian ijin di kawasan hutan dalam bentuk Instruksi Presiden (Inpres). Tepatnya pada tanggal 20 Mei 2011, Preside Susilo Bambang Yudhoyono (Sby) menerbitkan Inpres nomor 10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Moratorium berlaku untuk hutan alam primer dan lahan gambut yang ditetapkan seluas 64 hektare (ha) di seluruh Indonesia yang dapat dilihat pada peta indikatif lampiran inpres.

Niat baik ini tidak bisa dilepaskan pengaruh dari dari program Reducion Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang saat ini tengah dipersiapkan oleh pemerintah. REDD ini merupakan wujud dari komitmen presiden SBY akan menurunkan emisi sebanyak 26 persen secara mandiri dan sebanyak 41 persen bila ada dana bantuan, dalam pidatonya di pertemuan G-20 di Pennsylvania, Amerika Serikat. Dan saat ini, Indonesia telah mendapatkan bantuan dari pemerintah Norwegia sebesar US$1 miliar.

Bagaimanapun juga, niat baik ini patut diapreasiasi sebagai suatu langkah maju yang diambil oleh pemerintah dalam bidang lingkungan hidup. “Kami mengapresiasi niat baik pemerintah melalui inpres tersebut. Meskipun ada sejumlah pertanyaan mengapa inpres ini dikeluarkan sudah sangat terlambat ketika hutan Indonesia sudah terancam hampir habis dan pada saat REDD project sedang diusulkan. Apakah ini bagian dari skenario memuluskan REDD di Indonesia?” kata Direktur Walhi Sulteng, Wilianita Selviana kepada Silo, Minggu (12/06).

Sangat Terbatas
Selain terlihat lamban dan demi program REDD, kebijakan moratorium jeda balak dalam Inpres No. 10 tahun 2011 ini  mengandung banyak pengecualian dan keterbatasan. Penundaan pemberian ijin hutan baru hanya berlaku untuk wilayah hutan primer dan gambut yang ditetapkan seluas 64 hektare, tidak termasuk hutan sekunder. Jangka waktu Inpres ini juga hanya selama dua tahun.

Lebih jauh lagi, penundaan pemberian ijin di kawasan hutan memberlakukan sejumlah pengecualian, yaitu; pertama, permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; kedua, pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal , minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; ketiga, perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan keempat, restorasi ekosistem.

Jadi, masih sangat besar peluang untuk mengonversi hutan selama dalam waktu yang singkat, dua tahun.
Manajer Publikasi dan Riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, mengatakan  jeda tebang (moratorium logging) yang ideal harus mengakomodir kepentingan masyarakat terhadap hutan, yang paling tidak mengandung  tiga prinsip dasar.

Pertama, memberikan ruang politik dan ekologi kepada pada masyarakat hutan alam untuk menentukan hutannya sendiri. Masyarakat berbasis hutan sudah mesti berubah logika menjadi hutan berbasis masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah mereka yang mengenal dengan baik fungsi-fungsi hutan secara ekologi dan ekonomi, yaitu masyarakat adat dan lokal. Bukan dengan pola green belt, yang menjadikan negara seoalah-olah tuan tanah besar, menguasai hutan melalui undang-undang maupun produk hukum dibawahnya.
Kedua, memberikan kesempatan pada publik yang luas, akademisi, masyarakat lokal, pers, dan lain-lain untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timber-tracking) bukan membentuk korps baru diluar pasukan menteri kehutanan. Karena itu menjadi bagian dari pemborosan biaya uang tidak perlu.

Terakhir, tidak lagi atau hentikan sama sekali memberikan kesempatan pada industri yang merusak hutan dan hak-hak tenurial (penguasaan) masyarakat seperti pertambangan, perkebunan sawit, dan timber. Tanpa proses penghentian tiga raksasa pemusnah hutan itu, maka mustahil mencapai target penurunan emisi.


Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 42, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).