Langsung ke konten utama

“No Right, No REDD”

REDD (Reducing Emission From Deforestation and Degradation) belum berhenti diperdebatkan. Belum tercapai suatu kesepakatan final mengenai bentuk dari program REDD itu sendiri. Di tengah pergumulan itu, suatu program ujicoba (eksperimen) layak dicoba.  Itulah barangkali eksperimen yang tengah ditempuh oleh kerjasama Pemerintah Indonesia dan Norwegia yang sudah disepakati Mei 2010 lalu. Kesepakatan program REDD telah bergerak pula ke Sulawesi Tengah sebagai salah satu propinsi yang memiliki vegetasi hutan seluas sekitar 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari wilayah Provinsi.

Bernama United Nations on Reducing Emission From Deforestation and Degradation (UN-REDD) yang didukung oleh Pemerintah Norwegia secara khusus di Sulawesi Tengah. Program ini dipersiapkan untuk menghadapi program REDD+ secara nasional untuk tahun 2012 nanti. Sejumlah persiapan telah dilakukan, termasuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) UN-REDD yang dianggotai 76 orang dari berbagai elemen masyarakat. Pembentukan Pokja ini mendapatkan legalitas dari Surat Keputusan Gubernur Sulteng nomor 522/84/DISHUTDA-G.ST/2011 tertanggal 18 Pebruari 2011.

Banyak pihak yang pesimis, terutama terkait dengan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Banyak pengalaman sebelumnya yang mengungkapkan marginalisasi masyarakat adat saat berhadapan dengan hutan konservasi. Atas nama konservasi, masyarakat adat bisa dihilangkan aksesnya terhadap hutan oleh negara. Sebut saja contoh terdekat, masyarakat di sekitar Taman Nasional Lore Lindu yang kehilangan haknya atas akses terhadap hutan.

Satu-satunya peluang masyarakat adat hanya bergantung pada FPIC (Free, Prior, Informed and Consent) sebagai suatu persetujuan bebas tanpa paksa yang didahului dengan informasi memadai tentang sebab dan akibat suatu proyek, dalam hal ini UN-REDD.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulteng, Rizal Mahfud, menuturkan pengalaman dan upaya yang sedang diperjuangkan oleh AMAN Sulteng dalam memastikan posisi dan hak-hak masyarakat adat dalam proses program UN-REDD. Berikut petikannya:

Secara partisipatif, AMAN Sulteng pernah melaksanakan workshop pada Januari lalu untuk mensosialisasikan REDD+, juga sekaligus memilih perwakilan dari masyarakat adat. Sosialisasi itu memiliki tujuan agar masyarakat tidak salah tafsir mengenai bahwa REDD sama dengan konservasi Taman Nasional dan proyek bagi-bagi uang. Sejauh mana pencapaian kegiatan AMAN tersebut?

Workshop yang memberikan pemahaman tentang konsep REDD+ yang disampaikan oleh PMU (Programme Management Unit) UN-REDD Jakarta dan Konsep Dinas Kehutanan untuk mengatasi laju Deforestasi dan Degradasi hutan di Sulawesi Tengah.

Selain dua narasumber tersebut manyampaikan materinya Ketua PW (Pengurus Wilayah) Aman Sulteng juga menyampaikan materi tentang konsep adaptasi dan mitigasi yang suda dilakukan selama ini oleh masyarakat adat Sulawesi Tengah serta konsep Free Prior Inform Consent (FPIC) yang menjadi prasyarat utama dalam program UN-REDD, karena dalam implementasi skema REDD+ dimasyarakat adat/lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan di Sulawesi Tengah, proses FPIC harus berjalan sesuai tahapan yang ada dalam konsep tersebut, sehingga skema ini tidak merugikan masyarakat adat/lokal yang menerima dampak langsung dari project REDD+ yang implementasinya diakhir tahun 2012.

Dari hasil  Workshop tersebut, peserta yang terdiri dari perwakilan masyarakat adat/lokal dari 10 Kabupaten dan 1 Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah sangat-sangat kritis menanggapi Skema REDD+ yang nantinya akan diterapkan diwilayah adat mereka sehingga timbul stetmen masyarakat adat pada saat itu “Jika hak-hak masyarakat adat terhadap tanah dan pengetahuan lokal tidak diakui oleh skema REDD+ maka project-project yang akan masuk dikomunitas masyarakat adat akan gagal” khususnya masyarakat adat yang tinggal disekitar Taman Nasional mengharapkan jangan sampai skema REDD+ menjadikan masyarakat adat korban yang kedua kalinya setelah Taman Nasional atau menjadikan mereka tamu atau orang asing diwilayah adat mereka sendiri..

Sejauh mana keterlibatan AMAN Sulteng dalam program UN-REDD?

Keterlibatan AMAN Sulteng selama ini dalam program UN-REDD adalah mendorong FPIC sebagai prasyarat dalam skema REDD+ di Sulawesi Tengah dan pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan pengetahuan lokal masyarakat adat atas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang suda mereka lakukan sebelum munculnya konsep REDD+ di Sulawesi Tengah.dan kampanye terhadap FPIC dan hak-hak masyarakat adat dilakukan ditingkat regional dan nasional pada pertemuan yang membahas tentang program UN-REDD.

Apakah keterwakilan masyarakat adat sudah cukup memadai dalam Pokja UN-REDD Sulteng?

Keterwakilan masyarakat adat di Pokja REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah yang SKnya dikeluarkan langsung oleh Gubernur, kami rasa belum maksimal disetiap sub pokja hanya diwakili masing-masing 1 orang dibanding dari unsur pemerintah yang jumlahnya begitu banyak perwakilan dari semua dinas yang bersentuhan langsung dengan skema REDD+ di Sulawesi Tengah. Walaupun dari semua dinas yang ada namanya dalam SK, ada yang tidak aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan atas pembiayaan UN-REDD Program.

Bagaimana penilaian Anda mengenai kerja-kerja program UN-REDD selama ini, khususnya dalam hubungannya dengan pelibatan masyarakat adat?

Program UN-REDD selama ini di Sulawesi Tengah masih dalam tahapan pra kondisi menuju implementas skema REDD+ dan pelibatan masyarakat adat dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan selalu melibatkan masyarakat adat khusunya PW Aman Sulteng yang merupakan organisasi yang memayungi komunitas masyarakat adat di Sulawesi Tengah guna menyatukan presepsi dalam skema REDD+ yang nantinya di implementasikan pada akhir tahun 2012.

Langkah-langkah apa saja yang sudah dilaksanakan ataupun sedang dipersiapkan oleh AMAN untuk memastikan posisi masyarakat agar tidak dirugikan oleh UN-REDD, bahkan bisa mengambil manfaat langsung dari UN-REDD?

Sekarang ini AMAN bekerjasama dengan Dewan Kehutanan Nasional untuk membuat Rekomendasi-rekomendasi untuk penerapan proses FPIC yang akan diberlakukan dalam setiap project REDD+ yang masuk diwilayah komunitas masyarakat adat dan pembiayaannya dari program UN-REDD, selain itu program UN-REDD sering menghadirkan orang-orang AMAN dalam kegiatan yang dilakukan oleh Dephut (Departemen Kehutanan), DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), UKP4 (Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), DKN (Dewan Kehutanan Nasional).

Program UN-REDD juga mengakomodir landasan hukum perjuangan masyarakat adat baik instrumen hukum nasional dan internasional yang mengakui hak-hak masyarakat adat seperti Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat.

Program UN-REDD bisa dijadikan oleh PW Aman Sulteng untuk mencapai tujuan organisasi seperti mendatangkan Pengurus Daerah dan Dewan Aman yang ada di Kabupaten untuk melakukan Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) selain mengikuti kegiatan yang menjadi agenda utama program UN-REDD

Banyak kalangan yang pesimis bahwa UN-REDD tidak akan menguntungkan masyarakat adat, apalagi banyak anggapan skema UN-REDD belum jelas dan berimplikasi pada perdagangan karbon. Hal itu akan membuat masyarakat adat didiskriminasikan bahkan bisa dikriminalisasikan. Ditambah lagi satu-satunya peluang masyarakat untuk melibatkan diri pada program hanyalah FPIC. Apa saja yang antisipasi AMAN untuk memastikan hal itu tidak terjadi dan memastikan hak-hak masyarakat adat tidak dilanggar?

Antisipasi AMAN dalam meminimalisir permasalahan dalam skema REDD+ diwilayah komunitas masyarakat adat adalah: memetakan wilayah-wilayah komunitas masyarakat adat anggota AMAN beserta tata kelola dan potensi hutannya, mendokumentasikan pengetahuan lokal masyarakat adat,  penguatan institusi lokal masyarakat adat. Sehingga dengan demikian tercapai statement (pernyataan) AMAN ”No Right, No REDD” (Tak ada Hak, Tak Ada REDD)

Bagaimana proyeksi Anda ke depannya terkait mengenai efektifitas pelaksanaan UN-REDD di Sulteng dengan tidak meminggirkan masyarakat adat?

Dalam pelaksanaan skema REDD+ yang sekarang ini dalam tahap persiapan yang dibiayai oleh program UN-REDD harus mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan pengetahuan lokal yang sudah berlaku dimasyarakat adat dan menempatkan masyarakat adat sebagai Subjek dalam setiap proses-proses yang berhubungan dengan pelaksanaan skema REDD+.

Pemerintah Daerah dan Dinas yang terkait dalam skema REDD+ di Sulawesi Tengah harus menghargai inisiatif lokal yang suda dilakukan masyarakat adat dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim diwilayah adat mereka. (Rin)

Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 41, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).