PERDAMAIAN HARUS BERKEADILAN SOSIAL[1]
Perdamaian berakar kata dari damai, aman, tentram[2]
dan kata-kata lainnya yang senada. Ungkapan “damai” menggambarkan suatu kondisi
atau keadaan sosial di dalam masyarakat dimana tidak terjadi benturan-benturan
antara anggota individu maupun kelompok di dalam masyarakat tersebut. Gagasan
perdamaian ini menjadi sangat populer di era reformasi ini dimana banyak
terjadi konflik-konflik kekerasan yang bernuansakan SARA di berbagai daerah di Indonesia .
Sebenarnya apa yang melatarbelakangi konflik?? Hal ini sangat penting
untuk diketahui, karena untuk merekonstruksi perdamaian perlu memahami jelas
akar konflik sebagai antitesis perdamaian itu sendiri. Menurut pendekatan
konflik (conflict approach) yang menjadi teori yang sangat populer akhir-akhir
ini, konflik senantiasa ada (inheren) dan melekat di dalam masyarakat[3]
sebagaimana halnya tata tertib. Masyarakat sendiri adalah suatu entitas yang
heterogenistik. Ada
beberapa faktor aktual yang menyebabkannya. Yang pertama, kemajuan teknologi transportasi menjadikan mobilitas
masyarakat menjadi sangat tinggi[4].
Urbanisasi, transmigrasi, migrasi adalah realitas sehari-hari. Uniknya, adalah
perpindahan manusia ke daerah yang baru yang meski telah beradaptasi cukup lama
tidak serta merta membuatnya kehilangan identitas etnis. Dan memang masyarakat
sarat dengan berbagai perbedaan (suku, agama, ras, pekerjaan, strata sosial).
Kedua, masyarakat senantiasa
berkembang atau bersifat dinamis. Perubahan sendiri adalah produk dari konflik
dalam kadar yang berbeda-beda seperti perbedaan pendapat, tawuran, kekerasan
sampai disintegrasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa konflik membutuhkan manajemen
sehingga dapat berbuah perubahan yang konstruktif, evolusionis dan tanpa
kekerasan. Manajemen konflik untuk menciptakan atau mengkondisikan perdamaian
dilakukan dengan mengatasi akar permasalahannya.
Secara garis besar, konflik dibedakan menjadi konflik vertikal dan
konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi antar masyarakat dengan pemerintah
melalui aksi-aksi demonstrasi, boikot sampai anarkisme. Hal ini biasanya
terjadi jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dinilai masyarakat akan
merugikan, semisal kenaikan BBM, impor beras, ganti rugi lahan dan sebagainya.
Apalagi Indonesia
adalah negara yang subur dan sangat kaya akan sumber daya alam sehingga
mengundang investor untuk melakukan eksploitasi pertambangan atau pun membuka
usaha-usaha perkebunan, hutan dan sebagainya. Praktik pengambil-alihan lahan
oleh perusahaan seizin pemerintah kerap memunculkan resistensi masyarakat
apalagi jika tanah tersebut adalah tanah adat atau tidak mendapat ganti rugi
yang layak. Investasi juga kebanyakan tidak ramah lingkungan semisal kasus
Lapindo, Teluk Buyat dan sebagainya. Masyarakat juga tidak diuntungkan secara
langsung karena sistem bagi hasil yang tidak adil dan kronisnya penyakit
korupsi di negeri ini. Perlawanan masyarakat tidak sedikit membawa jatuh
korban.
Konflik horizontal sebagai yang kita kenal sebagai konflik antar individu
atau kelompok di dalam masyarakat yang biasanya bernuasakan SARA. Tetapi, jika
dikaji lebih dalam, maka akan ditemukan kesenjangan ekonomi adalah penyebab
utamanya. Terdapat kelompok-kelompok masyarakat biasanya bersuku, ber-ras atau
beragama tertentu yang menguasai atau dominan dalam kehidupan ekonomi.
Kecemburuan sosial yang telah tumbuh menjadi benih-benih konflik menemukan
tempatnya jika dipicu sedikit saja. Dengan mudahnya konflik kelas (strata)
bertransformasi menjadi konflik SARA/etnis[5].
Padahal perbedaan SARA tidaklah bersifat antagonistik. Hanya dalam
kondisi sosio ekonomi berkelas miskin dan kaya, maka konflik sangat besar
potensi terjadinya. Sebagaimana yang kita ketahui, praktik-praktik kejahatan,
prostitusi dan tindakan amoral lainnya didorong karena kondisi kemiskinan.
Maka, dapat disimpulkan bahwa akar dari konflik kekerasan adalah faktor
kesenjangan ekonomi, masalah ketidakadilan sosial yang menghantui di Indonesia .
Jika selama ini perdamaian yang dimaksud adalah stabilitas politik dan keamanan
di dalam negara demi kelancaran pembangunan dan investasi, maka hal ini
tidaklah tepat karena sama saja memelihara benih-benih antagonistik di dalam
masyarakat.
Perdamaian perlu didefinisikan secara universal yang dapat memberi tidak
hanya rasa aman, tetapi juga rasa adil bagi semua. Jika program perdamaian
tidak disertai dengan program peningkatan kesejahteraan rakyat, maka sekeras
apapun kita berkampanye mempopulerkan perdamaian tidak akan berhasil. Oleh karena itu, program kesejahteraan perlu
dilakukan lebih serius dengan membina pondasi kemandirian masyarakat.
Palu, 17 November 2008
[1] Inti
pikiran dalam tulisan ini merupakan
essay pemenang dalam lomba menulis Sakaya Organizer pada bulan November 2008 dengan tema "Perdamaian Menurut Saya",
dimuat kembali untuk tujuan edukasi.
[2] Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini
hal. 73, oleh Bambang Marhijanto
[3] Nasikun.
Sistem Sosial Budaya hal. 10
[4] Sarinah, Apa yang Dapat Diharapkan dari Media Massa
dalam Membangun Perdamaian di Sulawesi Tengah?; Suatu kajian kritis terhadap
posisi media massa
[5] George
Junus Aditjondro dalam Dinamika Politik
dan Modal di Sulawesi: Apa yang dapat Dilakukan oleh Aktor Pro-demokrasi, 2006.
Komentar
Posting Komentar