Langsung ke konten utama

Perdamaian Berkeadilan Sosial, 2008


PERDAMAIAN HARUS BERKEADILAN SOSIAL[1]

Perdamaian berakar kata dari damai, aman, tentram[2] dan kata-kata lainnya yang senada. Ungkapan “damai” menggambarkan suatu kondisi atau keadaan sosial di dalam masyarakat dimana tidak terjadi benturan-benturan antara anggota individu maupun kelompok di dalam masyarakat tersebut. Gagasan perdamaian ini menjadi sangat populer di era reformasi ini dimana banyak terjadi konflik-konflik kekerasan yang bernuansakan SARA di berbagai daerah di Indonesia.

Sebenarnya apa yang melatarbelakangi konflik?? Hal ini sangat penting untuk diketahui, karena untuk merekonstruksi perdamaian perlu memahami jelas akar konflik sebagai antitesis perdamaian itu sendiri. Menurut pendekatan konflik (conflict approach) yang menjadi teori yang sangat populer akhir-akhir ini, konflik senantiasa ada (inheren) dan melekat di dalam masyarakat[3] sebagaimana halnya tata tertib. Masyarakat sendiri adalah suatu entitas yang heterogenistik. Ada beberapa faktor aktual yang menyebabkannya. Yang pertama, kemajuan teknologi transportasi menjadikan mobilitas masyarakat menjadi sangat tinggi[4]. Urbanisasi, transmigrasi, migrasi adalah realitas sehari-hari. Uniknya, adalah perpindahan manusia ke daerah yang baru yang meski telah beradaptasi cukup lama tidak serta merta membuatnya kehilangan identitas etnis. Dan memang masyarakat sarat dengan berbagai perbedaan (suku, agama, ras, pekerjaan, strata sosial).

Kedua, masyarakat senantiasa berkembang atau bersifat dinamis. Perubahan sendiri adalah produk dari konflik dalam kadar yang berbeda-beda seperti perbedaan pendapat, tawuran, kekerasan sampai disintegrasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa konflik membutuhkan manajemen sehingga dapat berbuah perubahan yang konstruktif, evolusionis dan tanpa kekerasan. Manajemen konflik untuk menciptakan atau mengkondisikan perdamaian dilakukan dengan mengatasi akar permasalahannya.

Secara garis besar, konflik dibedakan menjadi konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi antar masyarakat dengan pemerintah melalui aksi-aksi demonstrasi, boikot sampai anarkisme. Hal ini biasanya terjadi jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dinilai masyarakat akan merugikan, semisal kenaikan BBM, impor beras, ganti rugi lahan dan sebagainya.

Apalagi Indonesia adalah negara yang subur dan sangat kaya akan sumber daya alam sehingga mengundang investor untuk melakukan eksploitasi pertambangan atau pun membuka usaha-usaha perkebunan, hutan dan sebagainya. Praktik pengambil-alihan lahan oleh perusahaan seizin pemerintah kerap memunculkan resistensi masyarakat apalagi jika tanah tersebut adalah tanah adat atau tidak mendapat ganti rugi yang layak. Investasi juga kebanyakan tidak ramah lingkungan semisal kasus Lapindo, Teluk Buyat dan sebagainya. Masyarakat juga tidak diuntungkan secara langsung karena sistem bagi hasil yang tidak adil dan kronisnya penyakit korupsi di negeri ini. Perlawanan masyarakat tidak sedikit membawa jatuh korban.

Konflik horizontal sebagai yang kita kenal sebagai konflik antar individu atau kelompok di dalam masyarakat yang biasanya bernuasakan SARA. Tetapi, jika dikaji lebih dalam, maka akan ditemukan kesenjangan ekonomi adalah penyebab utamanya. Terdapat kelompok-kelompok masyarakat biasanya bersuku, ber-ras atau beragama tertentu yang menguasai atau dominan dalam kehidupan ekonomi. Kecemburuan sosial yang telah tumbuh menjadi benih-benih konflik menemukan tempatnya jika dipicu sedikit saja. Dengan mudahnya konflik kelas (strata) bertransformasi menjadi konflik SARA/etnis[5].

Padahal perbedaan SARA tidaklah bersifat antagonistik. Hanya dalam kondisi sosio ekonomi berkelas miskin dan kaya, maka konflik sangat besar potensi terjadinya. Sebagaimana yang kita ketahui, praktik-praktik kejahatan, prostitusi dan tindakan amoral lainnya didorong karena kondisi kemiskinan.

Maka, dapat disimpulkan bahwa akar dari konflik kekerasan adalah faktor kesenjangan ekonomi, masalah ketidakadilan sosial yang menghantui di Indonesia. Jika selama ini perdamaian yang dimaksud adalah stabilitas politik dan keamanan di dalam negara demi kelancaran pembangunan dan investasi, maka hal ini tidaklah tepat karena sama saja memelihara benih-benih antagonistik di dalam masyarakat.

Perdamaian perlu didefinisikan secara universal yang dapat memberi tidak hanya rasa aman, tetapi juga rasa adil bagi semua. Jika program perdamaian tidak disertai dengan program peningkatan kesejahteraan rakyat, maka sekeras apapun kita berkampanye mempopulerkan perdamaian tidak akan berhasil. Oleh  karena itu, program kesejahteraan perlu dilakukan lebih serius dengan membina pondasi kemandirian masyarakat.

Palu, 17 November 2008



[1] Inti pikiran dalam  tulisan ini merupakan essay pemenang dalam lomba menulis Sakaya Organizer pada bulan November 2008 dengan tema "Perdamaian Menurut Saya", dimuat kembali untuk tujuan edukasi.
[2] Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini hal. 73, oleh Bambang Marhijanto
[3] Nasikun. Sistem Sosial Budaya hal. 10
[4] Sarinah, Apa yang Dapat Diharapkan dari Media Massa dalam Membangun Perdamaian di Sulawesi Tengah?; Suatu kajian kritis terhadap posisi media massa
[5] George Junus Aditjondro dalam Dinamika Politik dan Modal di Sulawesi: Apa yang dapat Dilakukan oleh Aktor Pro-demokrasi, 2006.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).