Langsung ke konten utama

Poboya: Butuh Segera Ditangani Atau Terlambat Sama Sekali

Poboya kembali bergolak. Meski dalam momen yang berbeda, masih tetap dalam isu yang sama: Tolak PT CPM. Setelah berjibaku menolak PT CPM (Citra Palu Mineral) dalam serangkaian aksi-aksi sebelumnya, kali ini aksi para penambang Poboya mengambil momentum Hari Buruh Internasional (1/05/11) dalam suatu aliansi yang menamakan diri Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia (PRRI) Sulteng. Ada pula aksi dua aliansi berbeda lainnya, Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sulteng dan Koalisi Pemerintahan Amanah dan Bersih (KOMPAS) Sulteng.

Kala itu sekitar jam 11 siang. Matahari sudah memangggang ribuan massa yang menumpangi puluhan mobil di sepanjang jalan depan gerbang DPRD hingga perempatan lampu merah. Massa aksi tak kalah garangnya dengan matahari. Mereka memberikan dukungan yel-yel menguatkan orator-orator mereka yang berlaga di atas mobil soundsystem. Para pejabat tergopoh-gopoh keluar dari gedung DPRD menghampiri massa di depan gerbang yang dijaga aparat polisi.

Tuntutan para penambang memang keras. Gulingkan SBY-Budiono; Tolak CPM; Turunkan Cudi-Toni dan Kapolda, Pendidikan dan Kesehatan Gratis, adalah beberapa di antara tuntutan yang disampaikan dalam aksi yang dikorlapi oleh Kusnadi Paputungan ini.

Tidak main-main, mereka menuntut Walikota Rusdi Mastura dan wakilnya Andi Mulhanan Tombolotutu untuk  turun dari jabatannya. Alasannya kepemimpinan Cudi-Toni dianggap hanya memberikan janji-janji tanpa realisasi. Buktinya, dalam melakukan aktivitas di Poboya, para penambang mengaku selalu diancam ditangkap, dipenjara, dan diintimidasi. Sementara di sisi lain, para pemilik modal besar dengan bermodalkan uang dan dokumen bisa merampas hak rakyat karena dilindungi oleh negara dengan berbagai perangkat aturan hukum  dan aparaturnya.

Menanggapi tuntutan itu, Walikota Palu, Rusdi Mastura mengaku tidak terpengaruh karena ia merasa sudah dipilih oleh mayoritas rakyat kota Palu, sementara para pengunjuk rasa hanya sebagian kecil saja daripada pemilih. “Saya dipilih oleh masyarakat kota Palu, sementara yang berunjuk rasa lebih banyak berasal dari luar kota Palu,” ujarnya.

Rusdy Mastura menegaskan niat pemerintah kota Palu untuk menertibkan karena aktivitas pertambangan sudah membahayakan lingkungan. Dan sebenarnya tidak dilarang melakukan penambangan, hanya saja butuh sosialisasi agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Menurut Suardin, Humas aksi, penertiban ditujukan untuk mengakomodir masuknya PT CPM. Bahkan pemerintah sudah pernah meminta kepada masyarakat untuk pembagian lahan-lahan. Tapi rakyat merasa tidak ada lagi kepemilikan lahan perusahaan di Poboya.

“Mereka mencoba membentuk Bankamdes (Badan Keamanan Desa) yang sebenarnya coba menetralisir semua perlawanan yang ada di sana. Tapi masyarakat menolak Bankamdes itu. Buktinya hari ini anggota-anggota Bankamdes itu terlibat dalam penolakan hari ini, utamanya Bankamdes Poboya,” kata Suardin yang juga biasa disapa Adin ini, menjelaskan.

Bahaya Potensi Pencemaran
Telah ada temuan yang mengungkapkan bahwa air kota Palu tengah terancam. Ancaman itu bernama Merkuri dan Sianida. Hal ini bukan lagi sekadar dugaan saja, tapi sudah menjelma menjadi fakta tak terbantahkan.

Hal ini pernah diungkapkan oleh Prof Dr Mappiratu MS pada diskusi pertambangan di Baruga Deprov, setahun silam (22/05/2010).

“Kami mengambil sampel air di bak terbuka yang kotor dan bersih. Setelah dianalisis di laboratorium, untuk bak kotor mengandung merkuri dengan konsentrasi 0,005 ppm dan air yang bersih 0,004 ppm. Standar air minum maksimal mengandung Merkuri 0,001 ppm. Hasil analisis ini menunjukkan ada potensi pencemaran,” terang Mappiratu.

Menurut pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), Merkuri (air raksa, Hg) adalah salah satu jenis logam yang banyak ditemukan di alam dan tersebar dalam batu - batuan, biji tambang, tanah, air dan udara sebagai senyawa anorganik dan organik. Umumnya kadar dalam tanah, air dan udara relatif rendah. Berbagai jenis aktivitas manusia dapat meningkatkan kadar ini, misalnya aktivitas penambangan yang dapat menghasilkan merkuri sebanyak 10.000 ton / tahun.

Merkuri tidak seperti Sianida dan Arsenik yang bisa langsung mematikan. Butuh proses akumulasi bagi Merkuri untuk merusak tubuh manusia. Pencemaran yang diketahui karena Merkuri pertama kali dikenal luas di Jepang. Pada akhir tahun 1953 di antara penduduk nelayan dan keluarganya di sekitar Teluk Minamata di baratdaya Pulau Kyushu, yang makanan utamanya terdiri atas ikan, terjadilah wabah neurologis yang tidak menular.

Para penderita secara progresif mengalami melemahnya otot, hilangnya penglihatan, terganggunya fungsi otak dan kelumpuhan yang dalam banyak hal berakhir dengan koma dan kematian. Penyakit itu belum dikenal oleh dunia kedokteran. Baru pada tahun 1959 dapatlah ditunjukkan, penyakit tersebut disebabkan oleh konsumsi ikan yang tercemar  oleh metilmerkuri. Sumber metilmerkuri ialah limbah yang mengandung Hg dari beberapa pabrik kimia milik Chisso Co. yang memproduksi plastic (PVC). Limbah tersebut telah dibuang ke Teluk Minamata selama beberapa tahun sebelum 1953. Penyakit ini kemudian dikenal dengan nama penyakit Minamata.

Contoh terdekat adalah pencemaran di Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Ada lebih 5 juta ton tailing di teluk buyat sejak Newmont mengakhiri tambangnya tahun 2003. Juga sekitar 80 persen dari 266 warga Teluk Buyat mengalami gangguan kesehatan, mulai kesehatan kulit hingga reproduksi. Logam berat Arsen mencemari sumur-sumur warga di Kampung Ratatotok dan Buyat sejak Newmont menambang. Akhirnya, 25 Juni 2005, sekitar 68 Kepala Keluarga Buyat pantai pindah ke Duminanga.

Memang belum ada data yang pasti mengenai seberapa besar tingkat pencemaran di daerah hilir (kota Palu). Hal itu masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Tak ada salahnya waspada, mengingat besarnya potensi pencemaran. Kesadaran akan bahaya ini yang perlu dikembangkan menjadi tindakan konkret untuk mencegah dan mengatasi pencemaran. Ada 300 ribu jiwa warga kota Palu yang sedang dipertaruhkan.
Selain itu, potensi pencemaran Sianida juga tak kalah meresahkan. Perusahaan Daerah Kota Palu mengaku bisa melariskan 18 ton Sianida dalam waktu 1-1,5 bulan. Penjualan Sianida ini di luar penjualan Sianida ilegal yang marak beredar.

Tidak mengelakkan fakta pencemaran itu, Suardin menyatakan seharusnya masyarakat diberdayakan dalam soal manajemen limbah bukan dijadikan sebagai alasan buat mengusir karena pengusiran itu tidak adil dan manipulatif.

“Seharusnya kita memanejemen limbah itu. Pertanyaannya apakah pemerintah mensupport itu?  Saya kira harusnya disupport saat pertambangan dikuasai oleh rakyat. Tapi tokh itu tidak dilakukan. Oke, ada penelitian-penelitian, saya kira masyarakat mau ditertibkan soal itu. Tapi kemudian, itu dihembus kepada massa seakan-akan bahwa dengan adanya limbah itu, maka CPM harus masuk. Sejak kapan kemudian para peneliti itu dan pemerintah kota mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa air kita sudah tercemar. Tapi itu tidak ada, hanya perang di media, kan.  Jadi sudah jelas kepentingannya siapa. Dan kalau perusahaan masuk apa jaminannya tidak akan tercemar. Harusnya berimbang lah. Yang jelasnya bahwa tidak ada lagi cara lain bahwa seluruh penambang menolak perusahaan masuk ke tanah Poboya,” tegas Adin, mengakhiri pernyataannya.

Perlu Kontrol Publik
Para penambang telah sejak lama berkeras menolak CPM. Pernah pula melakukan aksi penghadangan mobilisasi alat bor PT Citra Palu Mineral (CPM) di pertigaan jalan depan kantor Kelurahan Lasoani Palu Timur pada Selasa, 08 Februari lalu. Meskipun sudah dikeluarkan Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 7 tahun 2010 tentang Izin Pertambangan Rakyat, namun Perwali ini mengacu pada kesepahaman antara Muspida Palu dengan CPM, dimana CPM memahami keberadaan penambang tradisional selama kegiatan eksplorasi mereka tidak diganggu. Sikap para penambang yang sekarang pun tegas, menolak memberikan tanah Poboya kepada PT CPM walau hanya sejengkal.

Penertiban sudah berkali-kali niat dilakukan oleh Polda. Untuk itu, POLDA mengaku sudah menyiapkan 3000 personel anggota Brimob. Bisa dibayangkan konflik yang bernuansa sosial dan ekonomi yang tengah dan yang akan terjadi jika cara-cara kekerasan dikedepankan dalam persoalan ini. Sementara itu, kita juga diperhadapkan dengan bahaya yang jauh lebih besar: kerusakan lingkungan.

Sebenarnya proses ini bukan hanya menyangkut kepentingan PT CPM, penambang tradisional dan pemerintah. Siapapun yang akan melakukan eksploitasi di Poboya akan melibatkan kepentingan keberlangsungan hidup 300 jiwa warga Palu.

Penelitian lebih lanjut harus segera dilakukan untuk mendapatkan kepastian sejauh mana tingkat pencemaran beserta kemungkinan-kemungkinannya. Hasil penelitian yang harus dipublikasikan kepada masyarakat secara luas. Publikasi yang dimaksudkan untuk mengundang partisipasi masyarakat dalam mengawasi pembuangan limbah tambang Poboya. Jangan sampai dibuang ke Teluk Palu atau sekadar hanya ditampung di waduk pembuangan. Apalagi Palu adalah daerah rawan gempa sehingga pembuangan yang sembarangan beresiko jebol.

Poboya itu bukan hanya milik CPM atau warga “asli” Poboya, tapi sekarang menjadi milik masyarakat Palu. Kepemilikan yang bukan soal kepemilikan emas, tapi dampak-dampak yang harus ditanggung oleh kita semua di masa yang akan datang. Jangan sampai Palu menjadi seperti kota Rio Tinto, Spanyol, yang direlokasi karena pencemaran logam berat. Selamatkan kota kita!



Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 41, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).