Langsung ke konten utama

REDD itu Hanya Dana Suplemen

Upaya mengonkretkan program Reducion Emission From Deforestation and Forest Degradation  (REDD) terus dilakukan dalam berbagai bentuk ujicoba. Banyak pihak boleh pesimis, tapi proses menuju implementasi REDD pada 2012 nanti terus berjalan. REDD merupakan program strategis yang diakomodir langsung oleh negara dengan melibatkan berbagai pihak termasuk para pelaku bisnis dan masyarakat sipil. Pemerintah tengah bekerja keras untuk menurunkan emisi sebesar 26 - 41 persen sesuai dengan komitmen presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada dunia.

REDD sebenarnya bukan barang baru. Sebelumnya program semacam ini biasa disebut sebagai konservasi hutan. Hal yang ditonjolkan dari REDD adalah penurunan emisi karbon dalam skema perdagangan. Jumlah emisi karbon di udara tidak boleh melebih 450 ppm (part per million), sementara pada tahun 2005 jumlah emisi di udara sudah mencapai 379 ppm. Puncak emisi diperkirakan terjadi pada tahun 2015 nanti. Artinya, puncak dari dampak perubahan iklim secara besar-besaran akan terjadi pada saat itu.

Kepentingan Lingkungan versus Kepentingan Ekonomi? 
Secara global, sumbangan emisi negara-negara berkembang hanya 20 persen, jauh kecil daripada sumbangan emisi negara-negara maju yang sebanyak 80 persen. Hal ini jelas disadari oleh dunia dengan melihat komitmen yang termuat dalam Protokol Kyoto.

“Target dan jadwal penurunan emisi yang harus dilakukan negara maju, yaitu sebesar lima persen dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai dalam periode 2008-2012.” (Protokol Kyoto)

Protocol Kyoto gagal, yang artinya hingga detik ini, negara-negara maju atau negara Annex 1 (Amerika Serikat, Rusia, Jepang, Jerman dan sebagainya) telah gagal menurunkan tingkat emisi sebanyak lima persen. Alasannya, ekonomis, penurunan emisi sama dengan menurunkan tingkat produksi negara-negara maju. Hal yang mungkin tidak akan terpikirkan sama sekali oleh negara-negara industri tersebut. Olehnya diperlukan suatu mekanisme penyelamatan bumi tanpa mengganngu kepentingan ekonomi dunia.

Perjalanan menyelamatkan bumi pun sangat lamban, dimulai dari Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil pada 1992 hingga Conference of Parties (COP) 15 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Coppenhagen, Denmark, tahun 2009.

Adalah Nicholas Stern, penasihat ratu Inggris, yang pada tahun 2007 berhasil membuka mata negara-negara maju akan dampak perubahan iklim. Stern memasukkan dampak pemanasan global dalam terminologi ekonomi dimana investasi yang akan dikeluarkan sangatlah besar untuk menghadapi puncak pemanasan global. Tentu saja, jika menyangkut kerugian ekonomi, negara-negara maju baru bisa tersentak.
Setelah negara-negara UNFCCC melewati berbagai COP tersebut, hasilnya adalah REDD sebagai program penurunan emisi karbon di udara dengan cara mengurangi deforestasi dan degradasi (kerusakan) hutan. Dalam hal ini hutan lebih mendapatkan sorotan ketimbang industri sebagai penyumbang emisi. Alasan lain yang diajukan oleh UNFCCC adalah “andil emisi global yang berasal dari negara-negara berkembang akan bertambah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan sosial”.

Hanya Suplemen
Di Sulawesi Tengah, terdapat United Nations on REDD (UN-REDD) yang menggodok persiapan menuju implementasi REDD+ pada 2012. Plus-plus REDD, diantaranya, yaitu plus konservasi, suistainable forest management, peningkatan cadangan karbon dan pertumbuhan ekonomi tujuh persen.

Tak pelak, nyata bahwa UN-REDD adalah persiapan menuju era perdagangan karbon. Bahkan sudah diancanga-ancang satu ton karbon akan dihargai U$ 1-2. Menurut Manajer Riset dan Publikasi Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, Andika Setiawan, perdagangan karbon terutama skema offset akan sangat merugikan masyarakat karena hal itu sama dengan mengarahkan hutan menjadi lahan privat, Sabtu (7/5). Ia menyebutkan tiga ancaman yang akan dihadapi oleh masyarakat saat berhadapan dengan hukum positif yang melegitimasi REDD. Pertama, masyarakat akan berhadapan dengan skema privatisasi hutan; kedua, masyarakat akan terancam secara tenurial dan tenancy, dan; ketiga, kriminalisasi masyarakat di sekitar hutan karena dianggap menyerobot, bahkan yang paling parah bisa direlokasi.

“Memang salah satu hal positif yang bisa yang bisa dipetik dari REDD adalah moratorium di sektor kehutanan, karena memang laju kerusakan hutan sangat tinggi. Tapi pemerintah lagi-lagi tidak serius karena moratorium hanya mencakup hutan primer,” ujar Andika, menambahkan.

Pihaknya turut serta berupaya memastikan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yaitu suatu persetujuan sukarela yang diberikan oleh masyarakat sendiri kepada suatu proyek didahului dengan pemberian informasi awal mengenai proyek tersebut dan dampak-dampaknya.

FPIC  merupakan gagasan yang paling memungkinkan dan senjata untuk membela masyarakat sipil terkait dengan REDD. Pemastian itu berupa masyarakat mengetahui apa itu REDD, level kebijakan tentang REDD, apa itu bahaya dan ancaman yang mungkin datang dari REDD nantinya serta bagaimana posisi masyarakat lokal dan masyarakat adat terkait dengan REDD.

Dengan demikian, perdagangan karbon bisa menjadi rahmat sekaligus petaka. Masyarakat lokal berharap mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung dengan berpartisipasi pada program REDD. Harapan yang jika tidak dipenuhi mesti diwaspadai akan berbuah konflik-konflik baru.

Itulah sebabnya, Koordinator Bagian Metodologi dan Kelembagaan Pokja Dua UN-REDD, Abdul Rauf, mengatakan REDD sebaiknya tidak diisukan sebagai proyek besar karena akan menimbulkan kesan adanya uang yang membuat orang berebut. REDD Jika masyarakat berpikir bahwa REDD adalah perdagangan karbon akan menjadi penyebab munculnya pertanyaan “apakah REDD akan dibayar atau tidak?”; “Kalau mau dibayar, bagaimana caranya?”; “Siapa yang membayar dan yang dibayar?”

Jika REDD dipandang sebagai program konservasi yang spesifik pada hutan, maka REDD hanya dipandang sebagai dana suplemen. “Saya hanya katakan bahwa REDD ini hanyalah dana suplemen kepada negara-negara tropis untuk menjaga hutannya. Tanpa dana itu pun negara harus melakukan konservasi hutan karena ada anggaran negara,” kata Abdul Rauf yang juga dosen Fakultas Pertanian di Universitas Tadulako ini, pada Rabu (25/5).

Ia juga menambahkan, negara maju senantiasa memperbaiki teknologi produksinya dari waktu ke waktu, termasuk menciptakan teknologi yang rendah emisi. Dicontohkan, bahan bakar pertamax lebih rendah emisi daripada bahan bakar premium. Dikhawatirkan, semangat penurunan emisi ini bisa saja digunakan negara-negara maju untuk mendesakkan kepada negara-negara berkembang agar menggunakan teknologi rendah emisi tersebut. Artinya, negara-negara berkembang harus membeli dari negara-negara industri maju. Lagi-lagi, kepentingan ekonomi.


Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 41, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengorbanan Terbaik Manusia Indonesia*

Oleh: Sherr Rinn “Orang yang paling bahagia adalah mereka yang memberikan kebahagiaan terbesar kepada orang lain.” (Status Facebook Sondang Hutagalung, 19 September 2011) “Untuk memberikan cahaya terang kepada orang lain kita jangan takut untuk terbakar. Dan bagi mereka yang terlambat biarlah Sejarah yang menghukum-nya.” (Sondang Hutagalung)

FPRM Sulteng Serukan Lawan Korupsi dengan Membangun Gerakan Rakyat Mandiri

FPRM News – Puluhan massa Front Politik Rakyat Miskin (FPRM) Sulteng melakukan aksi peringatan hari Anti Korupsi se-dunia di depan gedung DPRD Sulteng pada hari Rabu (09/12) lalu. Massa aksi menuntut penuntasan semua kasus di Indonesia secara transparan dan partisipatif. Menurut mereka rezim SBY-Budiono dan elit-elit politik di parlemen maupun di yudikatif tidak mampu menutaskan kasus korupsi yang terjadi karena lemahnya tenaga produktif dan tingginya budaya konsumerisme.

Sering Dituduh Pencuri Bisa Dapat Penghargaan

Subuh, gelap, belum ada cahaya matahari yang menghalau ketenaran bintang-bintang di langit. Sebagian besar orang masih meringkuk di tempat tidur. Sementara itu, orang-orang yang taat ibadah berlomba memenuhi panggilan masjid untuk shalat. Pria bertubuh sedang, berkulit cokelat ini  juga sudah bangun, bahkan pada jam 5 sepagi itu, ia sudah siap bergegas meninggalkan rumah. Rumah kontrakan berdinding papan beratapkan rumbia. Kisah ini bukan kisah seorang tani di desa. Ia hidup di kota Palu, bertempat tinggal di jalan Nenas.