Langsung ke konten utama

Tumpang Tindih Bukan Masalah Teknis


Perihal tumpang tindih lahan bukan karena persoalan teknis atau karena ketidaktahuan pihak pemberi izin. Setiap izin memiliki titik-titik koordinat yang berhubungan membentuk suatu luasan kawasan tertentu. Titik-titik ini adalah titik global navigasi yang diukur dengan alat GPS  (Global Positioning System).

Jadi, jika izin yang sudah diberikan mengandung titik-titik GPS tertentu, dan ada izin baru yang diberikan mengandung titik-titik yang sama, maka kita bisa langsung tahu bahwa lahan tersebut sudah tumpang tindih. Baik tumpang tindih antar-izin maupun tumpang tindih antar izin dan kawasan hutan, dapat diketahui dengan teknologi GPS.

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Bidang Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Sulawesi Tengah, Aris Bulo Pasaru.

Ia juga menjelaskan bahwa salah satu penyebab maraknya tumpang tindih lahan adalah karena aturan pengeluaran izin yang berdasarkan sebaran wilayah. Aturan ini menyebabkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota terlalu besar dalam mengeluarkan izin di daerahnya. Bahkan jika terdapat sebaran galian lintas kabupaten, Gubernur tetap tidak bisa memiliki wewenang mengeluarkan izin bila investor lebih memilih mengurus izin pada Bupati.

“Pengusaha pintar juga, izinnya itu diurus satu-satu, per kabupaten. Ini yang saya tidak setuju. Saya berulang kali dalam berbagai forum mengusulkan agar UU Minerba itu direvisi. Pemberian izin harus berdasarkan pada sebaran galian, bukan wilayah,” imbuhnya pada Selasa (11/10).

Salah satu persoalan tumpang tindih lahan yang cukup ruwet dan berkepanjangan adalah tumpang tindih Izin Usaha Pertambangan (IUP) di atas konsesi Kontrak Karya (KK) PT Inco di Morowali. Ada sekita 40 IUP yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Morowali di atas konsesi Inco.

Selain itu, masalah tumpang tindih ini juga mengancam hutan. Kawasan hutan biasanya diserobot oleh izin-izin pertambangan, perkebunan dan perkayuan. Setelah ada KK atau IUP, perusahaan yang akan menggunakan kawasan hutan mengajukan izin pinjam pakai kepada Menteri Kehutanan sebagai syarat penggunaan kawasan hutan.

Palu, Arsip 2011
Ditulis untuk Majalah Silo Edisi 43, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).