Langsung ke konten utama

PHK Karena Pandemi


Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut:

1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam:

a. Pasal 1244 KUH Perdata

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada iktikad buruk kepadanya.

b. Pasal 1245 KUH Perdata

Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Dalam Pasal 61 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) juga mengatur batalnya perjanjian kerja karena “adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.”

Pencantuman batalnya force majeur dalam PKWT lazim dilakukan, yang seringkali didefinisikan dengan sangat luas dan digunakan secara bebas menurut kepentingan perusahaan.

2. PHK bagi pekerja berstatus tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Bagi pekerja berstatus PKWTT (karyawan tetap), PHK dengan alasan keadaan memaksa masih diberikan pesangon “dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).” (Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan) Dalam bahasa sehari-hari, disebut sebagai “pesangon 1 PMTK”. Baca juga: Apa yang dimaksud dengan PMTK?

Selain itu, ada juga pengusaha yang tetap menawarkan skema kompensasi dengan tetap membayarkan sisa kontrak pekerja PKWT, seperti dalam kasus PHK pilot dan pekerja Garuda Indonesia. Ada juga yang tetap memberikan pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 (2 PMTK). Tujuannya adalah agar pekerja mau menerima, sehingga kesepakatan mudah dicapai dan permasalahan tidak perlu berlanjut menjadi perselisihan yang berkepanjangan. Baca juga: Apakah PHK Bisa Ditolak?

Pertanyaannnya, apakah sudah tepat dilakukan PHK dengan alasan force majeur dalam kasus pandemi corona?

Keadaan Sulit

Tidak diragukan lagi pandemi Covid-19 membawa kondisi sulit bagi dunia industri yang berimbas bagi tidak tercapainya target operasi dan bahkan kerugian. Namun, menyatakan pandemi sebagai keadaan memaksa adalah tidak tepat. Kondisi ini lebih tepat jika disebut sebagai keadaan sulit (hardship). Sebab, objek yang diperjanjikan yakni pekerjaan, masih ada yang ditandai dengan masih berdirinya perusahaan dan terjadinya operasi, meskipun kondisi produksi menurun.

Dalam upaya mencegah PHK massal, Kemenakertrans pernah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal yang menyatakan jika perusahaan mengalami kesulitan yang berpengaruh pada ketenagakerjaan, maka pemutusan kerja haruslah merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut:

  • Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur ;
  • Mengurangi shift ;
  • Membatasi/menghapuskan kerja lembur ;
  • Mengurangi jam kerja ;
  • Mengurangi hari kerja ;
  • Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
  • Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
  • Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
  • Pemilihan alternatif-alternatif ini perlu dibahas dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan wakil pekerja/buruh di dalam perusahaan.

Upah tetap dibayarkan berdasarkan SE Menaker No. SE-05/M/BW/1998 Tentang Upah Pekerja Dirumahkan, “Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama.”

Lalu, khusus merespon pandemi Covid-19, pada 17 Maret 2020 Menaker kembali mengeluarkan SE Menaker No. M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. SE ini mengatur pengusaha wajib membayar upah secara penuh kepada buruh yang termasuk orang dalam pemantauan (ODP), diisolasi atau dikarantina dan tidak masuk kerja karena sakit Covid-19.

Namun, perusahaan yang melakukan pembatasan usaha sebagian atau seluruhnya akibat dari kebijakan pemerintah terkait Covid-19, yang mengakibatkan sebagian atau seluruh pekerja tidak masuk kerja, maka besaran dan cara pembayaran upah dilakukan sesuai kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

Artinya, pemerintah tidak memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh yang mungkin kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Tidak ada pembebanan kepada perusahaan untuk wajib menyisihkan sebagian keuntungannya yang telah diperoleh selama bertahun-tahun sebelum untuk membayar upah pekerjanya. Juga tidak ada kebijakan subsidi upah untuk para pekerja/buruh yang kehilangan sebagian atau seluruh pekerjaan akibat Covid-19 saat itu.

Baru belakangan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi sebesar Rp600 ribu untuk pekerja bergaji di bawah Rp5 juta selama empat bulan. Hal itu juga menjelang pengesahan Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) yang mengurangi banyak sekali perlindungan terhadap buruh.

Karena itulah, terjadi banyak sekali pemutusan hubungan kerja (PHK) baik terhadap buruh berstatus karyawan tetap (PKWTT) maupun buruh berstatus kontrak (PKWT) dengan dalih force majeur (keadaan memaksa). Padahal kondisi pandemi ini lebih tepat disebut sebagai keadaan sulit (hardship), yang tidak dapat disamakan dengan kondisi bencana alam, misalnya, yang melenyapkan seluruh objek perjanjian.

Walau sulit dan pesanan berkurang, toh perusahaan-perusahaan masih berdiri. Lagipula, jika perusahaan mengalami kebangkrutan, maka seharusnya hak-hak pekerja tetap berupa pesangon satu kali ketentuan sesuai Pasal 164 UU Ketenagakerjaan dan sisa upah pekerja kontrak tetap dibayarkan sesuai Pasal 63 UU Ketenagakerjaan. Selain itu, mengenai kerugian yang dimaksud, harus dapat dibuktikan dengan audit akuntan publik.

Pemerintah, yang bertindak sebagai regulator yang netral, seharusnya lebih jeli memilah-milah mana saja perusahaan yang benar-benar mengalami kondisi sulit di masa pandemi, yang mana mengalami kondisi kerugian dan yang mana tetap beroperasi normal. Hal ini bertujuan agar perusahaan tidak menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk melakukan pemutusan PKWT dan PHK sepihak sebagai rasional. Biasanya dengan harapan setelah pandemi usai, perusahaan dapat mempekerjakan buruh dengan lebih fleksibel dan berbiaya murah.

Pemerintah juga harus jeli dalam menggelontorkan subsidi kepada perusahaan yang benar-benar terdampak. Bukan justru memberikan berbagai proyek yang tidak perlu dan menalangi perusahaan yang memiliki koneksi dengan para aktor-aktor di pemerintahan.

Memukul rata seolah semua perusahaan terdampak serius, adalah sama dengan melanggengkan eksploitasi yang lebih dalam lagi terhadap pekerja, kelas sosial yang tidak memiliki apa-apa selain tenaga kerjanya. Kelompok sosial yang hari ke hari hanya bertahan hidup dengan upah dengan tabungan tipis atau mungkin tidak ada sama sekali. Sedangkan, kelompok pengusaha lebih mungkin hidup karena masih memiliki modal dan simpanan tertentu.

Di masa pandemi ini, yang harusnya kita pikirkan bersama adalah kehidupan dan nyawa, bukan angka-angka yang bernama profit belaka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).