Langsung ke konten utama

Jelang 28 Oktober, Melaporkan Upaya Pembangunan Persatuan Gerakan dari Lembah Palu

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam kurang seperempat. Halaman kampus Al-Khairaat sudah mulai nampak ramai. Sebuah spanduk putih sederhana bertuliskan “Panggung Rakyat: Tidak Ada Kemerdekaan dan Demokrasi di bawah Pemerintahan Agen Penjajah Modal Asing, SBY-Budiono” berwarna merah sudah terpasang berdampingan dengan layar yang akan digunakan untuk pemutaran film. Ya, memang acara yang akan dilangsungkan adalah panggung rakyat yang diisi dengan pemutaran film Gerakan Mahasiswa 98, aksi pembakaran boneka mayat dan foto SBY serta orasi-orasi politik dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Bangsa Indonesia (AMPIBI). Acara ini bertujuan untuk menggalang mobilisasi jelang aksi besar-besaran 28 Oktober nanti.


Tepat pukul 8, Arifin selaku pemandu acara membuka kegiatan panggung rakyat dan langsung  mempersilahkan Hamzah Siji, Ketua BEM Universitas Al-Khairaat untuk memberikan pidato refleksi Sumpah Pemuda. Intisari dari pidato Hamzah menyampaikan bahwa kaum pemuda pernah membuktikkan kekuatannya untuk menggulingkan rezim dan sekarang gerakan pemuda harus pula mampu menghancurkan neoliberalisme dengan menggulingkan rejim SBY-Budiono.

Acara selanjutnya diwarnai dengan orasi-orasi dari berbagai organisasi, yaitu BEM Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama Palu, BEM Universitas Al-Khairaat Palu, Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Forum Komunikasi (Forkom) BEM se-kota Palu, Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (PPBI), Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Komite Mahasiswa Demokratik (KOMRAD), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM), Komunitas Muda Progresif (KOMA-Progresif), Sanggar Seni Kerakyatan (Sanskerta), Femme Progresif, dan Perempuan Mahardhika.

Meski dari berbagai latar belakang pemikiran, semua organisasi sepakat bahwa SBY sudah tidak memiliki kapasitas lagi untuk memegang kekuasaan di negeri ini. “Bila SBY tidak mau turun, harus digulingkan. Hanya kaum muda lah yang mampu untuk memimpin perjuangan penggulingan pemerintahan SBY,” tegas Irwan, Juru Bicara HMI-MPO. Muhammad Aksa, perwakilan dari PPRM, juga menegaskan bahwa problem bersama kita adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kekuasaan agen imprealis SBY-Budiono yang aktif menjalankan berbagai kebijakan neoliberal.

AMPIBI adalah aliansi multisektoral, terbukti dengan adanya keterlibatan PPBI dalam persatuan. Risdiyanto atau yang lebih akrab disapa Anto Badung dari PPBI ini menyampaikan orasinya mengenai kegagalan sistem kapitalisme yang berbasiskan penghisapan atas manusia di muka bumi. “Sistem kapitalisme sudah gagal. Dan berbagai jalan keluar kapitalistik dari keynessian hingga neoliberalisme sudah dijalankan dan terbukti lagi-lagi gagal. Satu-satunya sistem ekonomi yang mampu untuk memberikan kesejahteraan kepada buruh dan rakyat adalah sosialisme, sebagaimana yang sudah dan tengah diupayakan di Venezula dan Kuba.”

Tak lupa pula panggung rakyat diisi dengan orasi tentang pembebasan kaum perempuan. “Kita jangan pernah mimpi akan mencapai kemenangan yang sesungguhnya dalam revolusi tanpa keterlibatan kaum perempuan. Kaum perempuan sudah waktunya harus lebih banyak terlibat dalam organisasi-organisasi pergerakan. Kaum perempuan harus dibantu untuk meningkatkan partisipasinya dalam organisasi yang tengah kita bangun, bukannya dilecehkan dengan budaya-budaya yang merendahkan kaum perempuan,” seru Sarinah dari Perempuan Mahardhika.

Seusai acara pidato, dilanjutkan dengan pembakaran boneka mayat dan foto SBY sebagai simbol gerakan penggulingan rejim SBY. Boneka dan foto SBY diletakkan di atas ban bekas, lalu, Muhammad Aksa didaulat untuk membakar boneka dan foto tersebut. Tak lebih dari 3 menit usaha untuk itu, dan api pun berkobar menjilat-jilat udara malam yang dingin, yang mulai merangsak menusuk tulang. Kemudian Hamzah Siji memimpin massa yang berjumlah sekitar 60 orang untuk menyanyikan lagu darah juang, makin menggelorakan jiwa perlawanan bersama-sama dengan kobaran api yang menghanguskan foto SBY.

Selanjutnya, acara pembacaan doa yang dipimpin langsung oleh pemandu acara. Para peserta yang hadir menundukkan kepala dengan takjim di bawah sinar bulan yang sedang purnama. Acara yang terakhir adalah pemutaran film “Tragedi Jakarta 1998: Gerakan Mahasiswa di Indonesia” yang disutradarai oleh Tino Saroengallo. Film yang selalu menarik untuk ditonton kembali untuk melawan amnesia sejarah gerakan mahasiswa, apalagi kebanyakan peserta adalah mahasiswa baru yang memang belum pernah menonton film ini. Sementara itu, pimpinan-pimpinan lembaga memisahkan diri dari acara pemutaran film untuk melakukan setting aksi untuk tanggal 28 Oktober nanti.

Liswan Rusman, koordinator AMPIBI yang juga mahasiswa UNISA ini membuka rapat setting aksi. Yang menarik dari pertemuan ini adalah sebagai pembukaan, koordinator AMPIBI itu menawarkan perubahan nama aliansi untuk mengakomodir beberapa organisasi, seperti Femme Progresif, FMN, FORKOM-BEM dan Perempuan Mahardhika, yang baru bergabung. Saya langsung agak tersentak, apalagi ia menekankan perlunya demokrasi dalam pembangunan aliansi atau persatuan. Padahal BEM UNISA adalah salah satu organ yang menurunkan massa paling besar dalam aksi tanggal 20 Oktober lalu, tapi tak terlihat hasrat sewenang-wenang untuk mendominasi front.

Aksi tanggal 20 Oktober yang lalu, merupakan capaian aksi yang cukup sukses, baik dari segi jumlah massa maupun kualitas persatuannya. Untuk ukuran kota Palu dalam situasi yang belum lah revolusioner seperti sekarang, jumlah massa yang mencapai 500 orang bisa dikatakan cukup besar. Apalagi aksi tersebut mengusung isu penggulingan kekuasaan SBY-Budiono. Memang aliansi ini masih kekurangan partisipasi yang mewakili kelompok-kelompok masyarakat. Misalnya, belum tergabungnya kelompok LSM dan BEM Universitas Tadulako (UNTAD) sebagai Universitas terbesar di Sulawesi Tengah. BEM UNTAD memang terkenal sangat konservatif karena dipenjarakan oleh rektorat dan birokrasi kampus yang sangat tidak demokratis. Pelarangan-pelarangan terhadap organisasi-organisasi ekstra yang dicap “merah” masih berlaku hingga saat ini. Sementara mayoritas gerakan LSM terlihat menjadi semakin elitis dengan banyak bekerjasama dengan kelompok elit politik.

Ada beberapa catatan menarik dari aliansi yang baru saja terbangun ini. Walaupun masih kanak-kanak, pembangunan AMPIBI didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang cukup lama dalam pembangunan front di kota. Hal-hal yang menarik itu, pertama, selain adabta kesamaan isu dan platform perjuangan, sudah adanya kesadaran bahwa demokrasi merupakan instrumen utama dalam pembangunan front atau aliansi. Pembesaran gerakan massa secara konsisten dengan berlandaskan demokrasi adalah lebih baik daripada hanya sekadar ber-aliansi untuk mempertahan eksistensi identitas dan lain sebagainya. Kedua, mayoritas unsur-unsur di dalam aliansi juga menyadari untuk tidak menaruh harapan lagi kepada elit-elit politik dalam melakukan perubahan. Aliansi-aliansi yang pernah dibangun, yang berkooperasi dengan elit banyak menemui kegagalan dan menuai ketidakpercayaan organisasi maupun massa kepada aliansi tersebut. Bersatu dengan elit-elit politik penipu rakyat memang tidak menguntungkan pembesaran gerakan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah gerakan yang harus dibangun adalah gerakan nonkooperasi (noncooperation).

Semoga persatuan ini menjadi suatu permulaan yang baik untuk memenangkan revolusi.

Palu, 27 Oktober 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).