Langsung ke konten utama

Lawan Milisi Sipil Reaksioner Penghambat Demokrasi!

Oleh: Sarinah

Demokrasi di negeri ini seakan sudah mati, seakan tidak ada gunanya, seakan sia-sia saja reformasi 98, jika melihat hari ini kelompok-kelompok milisi sipil yang mengatasnamakan agama bertindak seenaknya menebar teror dimana-mana.

Kita sudah terlalu sering mendengarkan sepak terjang anarkis dan represif yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis, seperti Front Pembela Islam (FPI), Front Anti Komunis Indonesia (FAKI), dan sekutu-sekutunya. Mereka ini perusak demokrasi yang bertabir di balik panji-panji kesucian agama, yang sebenarnya bertujuan menebarkan rasa takut dan menghilangkan rasa aman di masyarakat.

Kali ini, mereka yang mengatasnamakan Front Umat Islam (FUI) kembali menunjukkan kebiadabannya dalam melakukan tindakan teror dengan menyerbu tempat-tempat penginapan para peserta Konferensi Regional International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex Association (ILGA) ke-4 di Surabaya. Melakukan sweeping, merazia orang-orang bahkan mengancam akan melakukan kekerasan seakan-akan mereka lah yang berkuasa atas manusia lain. Bahkan pihak kepolisian pun mendukung tindakan bejat itu dengan tidak memberikan izin terhadap pelaksanaan Konfrensi ILGA tersebut. Dan, malah, diam saja ketika barisan FUI melakukan penyerbuan ke Hotel Oval Surabaya.

Padahal, telah jelas-jelas kebebasan berserikat dan berkumpul dinyatakan dijamin oleh negara dalam pasal 28 UUD 1945. Dasar pembohong! Tentu Kepolisian akan bersikap lain, jika yang dilindungi adalah kepentingan kaum pemilik modal. Negara akan dengan sigap menurunkan puluhan batalyon untuk melindungi investasi, seperti yang terjadi di Freeport, atau untuk merepresif aksi-aksi kaum buruh.

Berdasarkan penelitian dalam bidang psikologi, diperkirakan jumlah kaum homoseksual berkisar 2-3 % dari total keseluruhan populasi, berarti ada sekitar 5,7 juta kaum homoseksual di Indonesia. Mau dikemanakan mereka? Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Intersex adalah manusia-manusia yang harus diakui hak-hak sebagaimana mestinya. Ini lah alam demokrasi, biarkan manusia berbeda, berekspresi, bahkan berdebat, termasuk dalam hal orientasi seksual tanpa intimidasi apalagi kekerasan. Bukan kah kecenderungan orientasi homoseksual, selain karena faktor biologis, juga timbul karena berbagai permasalahan sosial: keluarga individual yang berantakan, kemiskinan keluarga, kekerasan, ketidaksetaraan gender, dsb, yang sampai hari ini tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah.

Terlebih-lebih, pemerintahan agen penjajah modal, SBY Budiono yang militeristik dan patriarkis yang melalui berbagai penerapan kebijakan-kebijakan yang anti rakyat telah membuat jutaan rakyat miskin mati potensi. Berbagai paket kebijakan yang bertujuan untuk menyelamatkan penghisapan kapitalisme di Indonesia diberlakukan; pencabutan subsidi di sektor rakyat, privatisasi aset-aset negara dan penggadaian sumber-sumber daya alam, penggusuran dan perampasan tanah, serta perdagangan bebas telah menyebabkan harga-harga barang melonjak tajam, pendidikan dan kesehatan mahal, industri dalam negeri bangkrut, pengangguran merajalela. Singkatnya, tenaga produktif rakyat dihancurkan habis-habisan.

Sekarang, semakin menyakitkan dengan di depan mata kita, demokrasi diinjak-injak, oleh sekelompok orang yang mengaku beragama. Kita, jangan pernah mimpi akan melahirkan perubahan terus-menerus secara konsisten sampai menang menuju sosialisme, jika tak menyingkirkan hambatan-hambatan demokrasi yang hari ini salah satunya berwajah fundamentalisme agama. Jangan pernah kita berpikir tentang suatu kemajuan jika kita tak memenangkan demokrasi, yang hari ini harus kita pertahankan dengan menyingkirkan sepak terjang milisi sipil reaksioner. Apa yang mereka inginkan adalah membuat ketakutan di kepala-kepala orang dan memenangkan perasaan yang unggul atas kelompok-kelompok lain.

Dalam situasi mencekam semacam ini, perempuan yang juga harus paling berkepentingan untuk berjuang melawan, karena dalam masyarakat patriarkis seperti sekarang, perempuan yang paling rentan terhadap kekerasan, pelecehan, diskriminasi, yang bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh orang-orang yang mengaku beragama tersebut (ingat kasus pelecehan terbaru yang dilakukan oleh Kyai). Jadi, tidak menjadi jaminan bahwa mereka yang mengobral ayat-ayat agama, bersih dan benar.

Itu lah sebabnya, mengapa milisi sipil reaksioner menjadi salah satu dari 5 (lima) musuh rakyat, di samping penjajahan modal asing, pemerintahan agen penjajah, militerisme, dan reformis gadungan. Mereka lah penyakit yang menghalang-halangi perkembangan tenaga produktif rakyat; mereka lah salah satu penghambat sehingga program-program jalan keluar rakyat seperti industrialisasi nasional, pemutihan utang, pemusatan pembiayaan ke dalam negeri, pemenuhan tuntutan mendesak dan kebudayaan maju belum bisa diwujudkan.

Tidak ada jalan lain, selain segenap kaum gerakan untuk bersatu karena hari ini kita memiliki agenda mendesak untuk menyelamatkan demokrasi yang sudah kita menangkan pada gerakan 98’ yang lalu. Hanya persatuan kaum gerakan dan rakyat yang demokratik—sekali lagi, yang demokratik, dimana setiap orang bebas berpropaganda—yang akan mampu menghasilkan kekuatan yang cukup besar untuk memukul semua penghalang demokrasi dan memberi ruang yang luas untuk mewujudkan cita-cita kita akan dunia yang indah--sosialisme.

Jakarta, 27 Maret 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“No Right, No REDD”

REDD (Reducing Emission From Deforestation and Degradation) belum berhenti diperdebatkan. Belum tercapai suatu kesepakatan final mengenai bentuk dari program REDD itu sendiri. Di tengah pergumulan itu, suatu program ujicoba (eksperimen) layak dicoba.  Itulah barangkali eksperimen yang tengah ditempuh oleh kerjasama Pemerintah Indonesia dan Norwegia yang sudah disepakati Mei 2010 lalu. Kesepakatan program REDD telah bergerak pula ke Sulawesi Tengah sebagai salah satu propinsi yang memiliki vegetasi hutan seluas sekitar 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari wilayah Provinsi. Bernama United Nations on Reducing Emission From Deforestation and Degradation (UN-REDD) yang didukung oleh Pemerintah Norwegia secara khusus di Sulawesi Tengah. Program ini dipersiapkan untuk menghadapi program REDD+ secara nasional untuk tahun 2012 nanti. Sejumlah persiapan telah dilakukan, termasuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) UN-REDD yang dianggotai 76 orang dari berbagai elemen masyarakat. Pembentukan Pok...

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg...

Belajar dari Organisasi Perjuangan Perempuan Dongi-Dongi

Empat hari berselang Hari Kartini, tepatnya 25 April adalah suatu momentum penting bagi Oppando. Organisasi Perjuangan Perempuan Dongi-Dongi ini melaksanakan Konferensi 1 yang dihadiri oleh 25 perempuan Dongi-Dongi dan belasan peserta peninjau. Oppando sudah berdiri setidaknya setahun belakangan. Jauh sebelum itu, keterlibatan kaum perempuan Dongi-Dongi dalam perjuangan mempertahankan lahan mereka telah ada sejak tahun 2001. Pelaksanaan konferensi I tahun ini merupakan tonggak sejarah dalam mempermantap perjuangan perempuan di Dongi-Dongi.