Langsung ke konten utama

Untuk Penggembala Domba

Aku hanya pohon kecil
seperti yang lainnya
setiap hari
yang mencintai matahari.

Kuserahkan uap-uap daunku pada matahari
agar kita bisa membuat awan-awan
menumbuhkan hutan-hutan dan kehidupan.


Pohon ini pernah tumbuh satu meter
lalu makin tinggi laju-laju
nyaris mencium langit biru kebaikan
langit menjauh, akar pohon belumlah dalam menghujam tanah
pohon melayu merubuh tak berdaya.

Akar-akar pohon belumlah mati.
Pohon tahu benar bisikan hujan padanya
begitu mesra
mengajaknya tumbuh lagi lebih tinggi.

Akh, bukan hanya itu.
Ada seorang penggembala domba
yang suka mendongakkan pandangan mata teduhnya pada pohon.
Ia bercerita soal kambium dan klorofil.
Dan yang paling indah dari itu semua,
ia ingin mengerti ilmu matahari revolusi.
Pohon menyadari ia tak harus tumbuh tinggi sekali,
namun rindang menjadi rumah bagi burung-burung dan lebah pekerja
meneduhkan domba-domba dan gembala.

Terima kasih, sang Penggembala.

Rumah Balkon,  September 5, 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengorbanan Terbaik Manusia Indonesia*

Oleh: Sherr Rinn “Orang yang paling bahagia adalah mereka yang memberikan kebahagiaan terbesar kepada orang lain.” (Status Facebook Sondang Hutagalung, 19 September 2011) “Untuk memberikan cahaya terang kepada orang lain kita jangan takut untuk terbakar. Dan bagi mereka yang terlambat biarlah Sejarah yang menghukum-nya.” (Sondang Hutagalung)

FPRM Sulteng Serukan Lawan Korupsi dengan Membangun Gerakan Rakyat Mandiri

FPRM News – Puluhan massa Front Politik Rakyat Miskin (FPRM) Sulteng melakukan aksi peringatan hari Anti Korupsi se-dunia di depan gedung DPRD Sulteng pada hari Rabu (09/12) lalu. Massa aksi menuntut penuntasan semua kasus di Indonesia secara transparan dan partisipatif. Menurut mereka rezim SBY-Budiono dan elit-elit politik di parlemen maupun di yudikatif tidak mampu menutaskan kasus korupsi yang terjadi karena lemahnya tenaga produktif dan tingginya budaya konsumerisme.

Sering Dituduh Pencuri Bisa Dapat Penghargaan

Subuh, gelap, belum ada cahaya matahari yang menghalau ketenaran bintang-bintang di langit. Sebagian besar orang masih meringkuk di tempat tidur. Sementara itu, orang-orang yang taat ibadah berlomba memenuhi panggilan masjid untuk shalat. Pria bertubuh sedang, berkulit cokelat ini  juga sudah bangun, bahkan pada jam 5 sepagi itu, ia sudah siap bergegas meninggalkan rumah. Rumah kontrakan berdinding papan beratapkan rumbia. Kisah ini bukan kisah seorang tani di desa. Ia hidup di kota Palu, bertempat tinggal di jalan Nenas.