“Saya Cari Makan untuk Satu Malam”
Sarinah
Matahari panas menyengat, tapi tidak mengurangi keramaian di Pasar Inpres Manonda, Palu Barat. Di antara keramaian itu, terdapat para perempuan pedagang kecil di tepi jalan pasar. Berbekal tikar karung dan payung, mereka menghalau panas membara di siang itu. Mereka dikenal dengan sebutan “Ina-Ina”.
Bagi mereka, panas terik adalah hal biasa. Demikian Yamia (57), penjual asal Desa Kanuna Gawalise, Kabupaten Donggala. Ina Yamia adalah sosok sederhana dan bertubuh sedang. Kulitnya cokelat kehitaman karena sering terpanggang matahari. Raut wajahnya yang tegas menggambarkan kerasnya ia bekerja.
Menjadi pedagang kecil telah ia jalani selama 18 tahun, terutama sejak sang suami meninggal sepuluh tahun lalu. Macam-macam barang jualannya. Ada nenas, sirsak, mangga dan nangka. Terkadang pula tomat dan cabai. Seharusnya Yamia yang akrab disapa Mama Anesu ini menikmati masa tua dengan tenang dan dirawat oleh anak-anaknya. Tapi ia tak bisa, meski ia memiliki tujuh anak.
Empat anak lelakinya semuanya penarik becak. Dua anak perempuan lagi, seorang sudah meninggal. Anak-anaknya tak ada yang berpendidikan tinggi. Pernah sekolah, tapi hanya sampai kelas 4 SD. Saat ditanya apa harapannya terhadap pemerintah, ia mengaku takut.
“Tidak mau minta-minta dari pemerintah, takut saya. Lebih baik saya cari-cari kangkung. Tidak pernah saya ba minta-minta kalau ada bagi-bagi uang. Anak-anak saya, saya ajar begitu. Malu kita ba minta-minta, lebih baik kita ba jual begini saja,” kata dia.
Jika ada kelebihan uang, digunakan sebagai modal dagangan. “Ada uang 50 atau 60 ribu, itu saja yang kita pakai beli rica, tomat, dibeli lima kilogram. Dari situ kita ba dapat untung barangkali lima ribu,” ujarnya.
Selain Yamia, banyak Ina-Ina lain bernasib sama. Mereka berasal dari daerah yang sama, Kanuna. Mereka juga kebanyakan sudah menjanda yang ditinggal suami lantaran sakit. Misalnya, Ina Neisa (50). Mereka mengaku tak pernah mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Beras untuk Warga Miskin (Raskin) walau namanya sudah didata sebagai penduduk miskin.
Jangan tanya soal Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), mereka tak tahu sama sekali. Dengan penghasilan 15-20 ribu per hari, mereka hanya tahu satu hal. “Saya cari makan untuk satu malam, besok baru dicari lagi,” ujar Ina Yamia. Banyaknya kenyataan yang menyedihkan semacam ini sudah selayaknya menjadi pertimbangan pemerintah membuat Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), terutama pendidikan dan kesehatan. ***
Feature dalam Mercusuar 24 Mei 2011
Sarinah
Matahari panas menyengat, tapi tidak mengurangi keramaian di Pasar Inpres Manonda, Palu Barat. Di antara keramaian itu, terdapat para perempuan pedagang kecil di tepi jalan pasar. Berbekal tikar karung dan payung, mereka menghalau panas membara di siang itu. Mereka dikenal dengan sebutan “Ina-Ina”.
Bagi mereka, panas terik adalah hal biasa. Demikian Yamia (57), penjual asal Desa Kanuna Gawalise, Kabupaten Donggala. Ina Yamia adalah sosok sederhana dan bertubuh sedang. Kulitnya cokelat kehitaman karena sering terpanggang matahari. Raut wajahnya yang tegas menggambarkan kerasnya ia bekerja.
Menjadi pedagang kecil telah ia jalani selama 18 tahun, terutama sejak sang suami meninggal sepuluh tahun lalu. Macam-macam barang jualannya. Ada nenas, sirsak, mangga dan nangka. Terkadang pula tomat dan cabai. Seharusnya Yamia yang akrab disapa Mama Anesu ini menikmati masa tua dengan tenang dan dirawat oleh anak-anaknya. Tapi ia tak bisa, meski ia memiliki tujuh anak.
Empat anak lelakinya semuanya penarik becak. Dua anak perempuan lagi, seorang sudah meninggal. Anak-anaknya tak ada yang berpendidikan tinggi. Pernah sekolah, tapi hanya sampai kelas 4 SD. Saat ditanya apa harapannya terhadap pemerintah, ia mengaku takut.
“Tidak mau minta-minta dari pemerintah, takut saya. Lebih baik saya cari-cari kangkung. Tidak pernah saya ba minta-minta kalau ada bagi-bagi uang. Anak-anak saya, saya ajar begitu. Malu kita ba minta-minta, lebih baik kita ba jual begini saja,” kata dia.
Jika ada kelebihan uang, digunakan sebagai modal dagangan. “Ada uang 50 atau 60 ribu, itu saja yang kita pakai beli rica, tomat, dibeli lima kilogram. Dari situ kita ba dapat untung barangkali lima ribu,” ujarnya.
Selain Yamia, banyak Ina-Ina lain bernasib sama. Mereka berasal dari daerah yang sama, Kanuna. Mereka juga kebanyakan sudah menjanda yang ditinggal suami lantaran sakit. Misalnya, Ina Neisa (50). Mereka mengaku tak pernah mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Beras untuk Warga Miskin (Raskin) walau namanya sudah didata sebagai penduduk miskin.
Jangan tanya soal Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), mereka tak tahu sama sekali. Dengan penghasilan 15-20 ribu per hari, mereka hanya tahu satu hal. “Saya cari makan untuk satu malam, besok baru dicari lagi,” ujar Ina Yamia. Banyaknya kenyataan yang menyedihkan semacam ini sudah selayaknya menjadi pertimbangan pemerintah membuat Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), terutama pendidikan dan kesehatan. ***
Feature dalam Mercusuar 24 Mei 2011
Komentar
Posting Komentar