Langsung ke konten utama

Inpres Itu Hanya Kebijakan Setengah Hati


Setelah peresmian kerjasama Pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam program Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation (REDD) setahun yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepertinya terlihat serius memenuhi komitmen penurunan emisi sebesar 41 persen. Hal ini dibuktikkan dengan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) No. 10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan hutan gambut.

Inpres tersebut sempat mengalami penundaan selama lima bulan. Sebelumnya penerbitan Inpres mengenai jeda balak ini dijadwalkan Januari, kemudian akhirnya baru terlaksana tanggal 20 Mei 2011.

Moratorium penebangan hutan bukan wacana baru Indonesia. Sudah lama menjadi usulan para aktivis dan organisasi lingkungan. Salah satunya adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang telah mengusulkan moratorium pembalakan hutan sejak tahun 2002.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Berry Nahdian Forqan, menuturkan kepada Silo tentang posisi Walhi dalam menanggapi Inpres No. 10 tahun 2011. Berikut petikan wawancaranya yang berlangsung pada 25 Juni:

Bagaimana pendapat Anda dan posisi Walhi dalam Inpres nomor 10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, yang sudah diterbitkan oleh pemerintah?

Saya melihat Inpres nomor 10 tahun 2011 ini adalah kebijakan "setengah hati" di mana di satu sisi pemerintah ingin menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap kerusakan hutan yang tengah terjadi, namun di sisi lain juga ingin mengakomodir kepentingan modal untuk terus mengonversi dan menjarah hutan alam kita. Di sinilah letak setengah hatinya. Lebih jauh lagi, terkesan hanya "akal-akalan" semata karena Inpres ini tidak memasukkan hutan sekunder untuk dimoratorium dan hanya mencantumkan hutan primer yang jelas-jelas dengan kebijakan yang sudah ada pun tidak boleh dialih-fungsikan. Jeda balak juga hanya dibatasi selama dua tahun tanpa ada prasyarat dasar yang diukur melalui kriteria dan indikator yang jelas.

WALHI mendukung moratorium dan ini sudah kami usulkan sejak tahun 2002, namun yang kami maksud bukan konsep moratorium pemerintah berdasarkan Inpres nomor 10 tahun 2011 tersebut, karena moratorium versi ini (pemerintah) terdapat banyak sekali kelemahan dalam Inpres tersebut mulai dari alas hukumnya yang tidak mengikat keluar (Inpres bersifat kedalam, perintah atasan kepada bawahan) sampai kepada adanya poin pengecualian yang masih membolehkan konversi bagi permohonan yang sudah mendapat persetujuan prinsip, pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang sudah ada.  Oleh karenanya, WALHI mendesak untuk merevisi Inpres "moratorium" tersebut, menyempurnakan substansinya dan merubahnya menjadi Perpres.

Apa saja langkah WALHI dalam merespon Inpres tersebut?

Sebelum Inpres keluar, kami sudah mendesak pemerintah untuk mengadopsi usulan WALHI dan organisasi lingkungan lainnya yang beberapa kali dikonsultasikan langsung kepada pemerintah karena di pemerintah sendiri berkembang beberapa versi konsep moratorium. Namun sayangnya ternyata kebijakan moratorium yang dikeluarkan bukan konsep yang sudah dikonsultasikan dengan kelompok masyarakat sipil.
Secara terbuka pasca dikeluarkannya Inpres tersebut WALHI bersama organisasi lingkungan hidup lainnya membuat konferensi pers untuk menyampaikan pandangan dan posisi kami yang ditujukan langsung kepada pemerintah dan publik pada umumnya untuk menjadi perhatian bersama.
Kami tetap mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium yang sebenarnya dengan memberikan input langsung kepada presiden baik melalui pihak yang diutus Presiden untuk bertemu perwakilan CSO (Civil Society Organization), media massa maupun melalui surat yang akan kami kirimkan.
Bagaimana konsep moratorium penebangan yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah yang selama ini menjadi usulan WALHI?

Yang dimaksud dengan moratorium penebangan hutan menurut WALHI adalah penghentian sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan alam dengan tujuan untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan permanen terhadap pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan.

Moratorium tidak dibatasi oleh waktu melainkan ditentukan oleh pemenuhan prasyarat dasar yang diukur melalui kriteria dan indikator pengelolaan hutan berkelanjutan. Sebelum masa jeda balak berakhir dilakukan evaluasi untuk meninjau kembali keputusan tersebut. Selain itu, jeda ini juga memberikan kesempatan kepada hutan untuk melakukan regenerasi naturalnya semasa moratorium juga dilakukan; perbaikan tata kelola dan kebijakan di sektor kehutanan yang tumpang tindih; mempersiapkan Protokol Resolusi Konflik dan menjalankannya sebagai acuan dalam penyelesaian konflik-konflik dengan masyarakat; mempersiapkan Standar Pelayanan Ekologi sebagai acuan dalam melakukan penilaian terhadap berbagai perizinan di kawasan hutan baik yang baru maupun yang lama; mempersiapkan konseptual Sistem Hutan Kerakyatan sebagai sebuah kebijakan untuk lebih mengakomodir dan mengakui hak dan sistem kelola rakyat terhadap sumberdaya hutan.

Bagaimana kita bisa menilai kebijakan moratorium penebangan hutan tersebut efektif atau sungguh-sunguh dilakukan demi menyelamatkan hutan?

Adapun kriteria dan indikatornya yang mesti dipenuhi adalah pertama, tidak ada konversi hutan di kawasan hutan alam dan gambut yang tersisa untuk kepentingan industri; kedua, Tidak ada tumpang tindih kawasan dalam tata ruang wilayah; ketiga, adanya jaminan akses dan kontrol masyarakat di dalam dan disekitar hutan terhadap hutan di wilayahnya; ketiga, tidak ada lagi pemberian izin diatas kawasan ekologi penting seperti mangrove, gambut, krangas, kars, cloud mounthain forest, riparian sungai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan dipulihkannya kawasan-kawasan yang berfungsi lindung dan pemberian izin harus dilakukan secara transparan berdasarkan prinsip Free Prior Informed Concern (FPIC).


Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 42, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).