Langsung ke konten utama

Investigasi: Berebut “Lahan” Inco


“Saat ini, kami sudah mendesak Inco untuk membangun fasilitas seperti jalan, dan infrastrukturnya di Morowali. Kalau Inco tidak mau melaksanakan, kami sudah memberi ultimatum kepada Inco agar keluar dari Morowali,” terang Asisten 3 Gubernur, Muzakir Lamanangke kepada massa aksi di beranda kantor Gubernur, pada Kamis (20/10).

Jawaban inilah yang terlontar dari pihak Gubernur Sulawesi Tengah, saat massa mahasiswa beraksi menggugat keberadaan pertambangan di seantero Sulteng yang dianggap tidak menguntungkan rakyat. Apalagi, terang-terangan telah merengut nyawa manusia. Penembakan polisi yang menewaskan dua orang saat aksi ke Medco Energy pada bulan Ramadhan lalu, masih sangat membekas dalam ingatan masyarakat.
Banyak massa yang tidak puas dengan pernyataan Muzakir. Pembangunan yang disebut-sebut Muzakir bukan merupakan kebutuhan masyarakat Morowali, tetapi adalah pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari proses eksploitasi tambang nikel Inco di Morowali. Pemerintah Daerah (Pemda) propinsi Sulawesi Tengah maupun Pemerintah Kabupaten berharap Inco segera merealisasikan produksi nikel, tidak hanya eksplorasi.

Ini lah buntut panjang dari tarik-menarik kepentingan dalam perkara tumpang tindih lahan PT International Nickel (Inco) Indonesia di Morowali. Kabarnya, ada sekitar 40 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan Pemerintah Kabupaten di atas lahan konsesi Inco. Bahkan, areal konsesi Kontrak Karya (KK) Inco seluas 4.512 hektare (ha) di Kolonedale tertutup oleh banyaknya IUP.

KK versus IUP
Tahun 1968, Inco mendapatkan Kontrak Karya seluas 218.528,99 ha di lintas tiga propinsi, yaitu Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Tenggara (Sultra). Sejauh ini, Inco mengoperasikan secara aktif hanya 10.000 ha lahan. Sisanya, luasan lahan konsesi Inco menjadi pendongkrak nilai kertas saham Inco di bursa.

Inco hanya beroperasi di blok Soroako, Sulawesi Selatan. Sisanya, blok Bahudopi dan Kolonedale, Kabupaten Morowali di Sulawesi Tengah terus-terusan diklaim oleh Inco dalam tahapan eksplorasi sejak tahun 1968. Inco pernah menjanjikan akan memulai produksi di Sulteng pada tahun 2005. Namun, sampai sekarang janji ini tidak kunjung terealisasi.

Lahan Inco memang terlalu luas. Banyak pihak yang mengusulkan, termasuk dari Pemda Sulsel dan Sulteng, lahan Inco harus dirasionalisasi (dikurangi).

Sejak otonomi daerah diberlakukan tahun 1999, pemerintah kabupaten/kota di Indonesia semakin efektif dalam menggunakan kekuasaan politik di daerah. Demikian halnya dalam mengeluarkan izin-izin kawasan untuk pertambangan, hutan dan perkebunan, pemerintah kabupaten/kota semakin agresif. Lahan Inco pun tidak luput dari “improvisasi” Pemkab Morowali yang mengeluarkan berbagai IUP untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sementara, karena Inco tidak membangun pabrik dan tidak berproduksi, maka Pemkab tidak bisa mendapatkan pemasukan royalti dan pajak. Dana Community Development (Comdev) yang tahun ini sebesar Rp 3 milyar juga tidak bisa masuk kas daerah karena langsung disalurkan mendanai program-program masyarakat.

Tentu saja, hasilnya adalah konflik. Inco lebih berhak secara hukum karena merasa mengantongi kontrak karya dari pemerintah pusat. Sementara, Pemkab pun punya kepentingan PAD. Sejak masa kepemimpinan Gubernu HB. Paliudju sampai Gubernur Longki Djanggola saat ini, sudah berulang kali Inco diberi ultimatum oleh pemerintah propinsi: “Produksi atau angkat kaki!”.  Jelas sekali, pernyataan Muzakir di atas adalah bunga dari konflik ini.

Bila merujuk pada Undang Undang Minerba No. 4 tahun 2009,  maka Inco bisa mengadukan perkara penyerobotan lahan konsesinya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga ke Arbitrase Internasional. Dan secara hukum, Inco akan menang melawan Bupati yang sudah melanggar konsesi Inco—Bupati bisa saja dijebloskan dalam penjara karena melanggar hukum.

Inco sadar juga, meski secara de jure blok Bahudopi dan Kolonedale adalah hak konsesi Inco, tapi secara de facto, Bupati memiliki kekuasaan di daerah. Apalagi, Gubernur mendukung dengan  tegas mengultimatum Inco.

Rakyat Dikurbankan
Bila Pemda Sulteng bisa memberi ultimatum pada korporasi internasional sekelas Inco; bila Pemkab Morowali bisa melanggar Kontrak Karya demi kas daerah, pasti banyak hal lain yang sebenarnya bisa dilakukan tanpa perlu beralasan “ini kebijakan pemerintah pusat, kita tidak bisa berbuat apa-apa.” Banyak investasi dan perusahaan pertambangan, hutan dan perkebunan yang perlu dievaluasi di Sulawesi Tengah dari segi kesejahteraan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup, Wilinialita Selviana mengatakan apapun konflik yang terjadi ditingkatan elit, pasti rakyat juga yang jadi korban. “Keberadaan perusahaan pertambangan telah membuat rakyat jadi korban ketidakadilan, dari sisi ekologi, kesejahteraan dan bahkan konflik sesama masyarakat yang pro dan kontra dengan keberadaan perusahaan,” kata Lita, pada Rabu (12/10).

Orientasi pemerintah daerah juga terlihat hanya cari untung. Inco diharuskan berproduksi atau angkat kaki, biarkan perusahaan lain yang berinvestasi. Persis seperti mental pedagang.

Di Papua, misalnya, pasca pemogokan dan penembakan terhadap buruh PT. Freeport yang menewaskan tiga orang; setelah banyak dapat tekanan publik, pemerintah pusat bisa mengambil kebijakan renegosiasi kontrak karya PT Freeport. Sementara di Sulawesi Tengah, perlawanan rakyat terhadap investasi di mana-mana, korban tewas maupun luka-luka sudah banyak (baru-baru ini perlawanan terhadap PT Medco memakan korban dua orang). Masih saja pemerintah daerah berpikir soal untung dari pajak dan royalti investasi, bukannya mengambil langkah radikal dengan renegosiasi menguntungkan rakyat ataupun nasionalisasi.


Palu, Arsip 2011
Pertama kali dimuat di Majalah Silo Edisi 43, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).