Langsung ke konten utama

Kesehatan Reproduksi dalam Belenggu



Kesehatan Reproduksi dalam Belenggu[1]

          Perempuan mengalami masalah kesehatan khusus yang tidak dialami oleh kaum laki-laki yang dinamakan sebagai kesehatan reproduksi perempuan yang secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yang dikandung dan dilahirkan. Mayoritas perempuan mulai aktif secara seksual pada usia belasan tahun, yaitu berkembangnya fungsi alat-alat reproduksi, baik secara kuantitas (ukuran) dan kualitas (kemampuan reproduksi: haid, melahirkan dsb).
Menurut pengertian yang telah diterima secara internasional, kesehatan reproduksi adalah sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, dan menentukan kelahiran anak mereka. Perempuan dan reproduksinya senantiasa dalam ancaman dengan begitu banyaknya penyakit reproduksi, aktivitas reproduksi hamil dan melahirkan dan sebagainya.[2]

Fakta-Fakta Mengenai Kesehatan Reproduksi Kaum Perempuan
Mahalnya biaya kesehatan menjadikan keterbatasan perempuan dalam memenuhi kesehatan reproduksinya. Misalnya saja biaya melahirkan yang bisa mencapai 10 juta rupiah jika dioperasi. Itulah yang menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu (AKI) sebanyak 307 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi sebanyak 35 per 1000 kelahiran hidup, di Indonesia.[3] Kekurangan asupan gizi saat hamil juga menjadi penyebab kematian ibu dan anak. Yang paling sering diderita adalah karena kekurangan zat besi (anemia) pada saat hamil. Tahun 2008, 4.692 ibu meninggal di Indonesia pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas.[4]
Menurut laporan WHO tahun 2006, di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan 500.000 ibu mengalami kematian oleh kehamilan dan persalinan. Sekitar 30-50 % diantaranya meninggal akibat komplikasi abortus yang tidak aman dan 90 % terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, angka aborsi mencapai 2,5 juta per tahun, yang belum termasuk dengan aborsi yang dilakukan oleh jalur nonmedis (dukun).  Bahkan 25% kasus kematian Ibu di Indonesia disumbang oleh aborsi yang tidak aman, karena aborsi di Indonesia diilegalkan sehingga banyak perempuan yang tidak mampu memiliki anak menempuh aborsi dengan menggunakan jasa dukun.
Saat ini, penyakit yang paling umum diderita oleh kaum perempuan adalah kanker leher rahim, kista, dan penyakit menular seksual. Menurut laporan WHO, 490.000 perempuan yang terdignosis kanker leher rahim (serviks) dan 240.000 di antaranya meninggal dunia. Sebanyak 80% menimpa perempuan di negara-negara berkembang.[5] Penyakit ini disebabkan oleh Human Papilloma Virus yang bisa menular dengan hanya melakukan 1 kali hubungan seks. Bisa dicegah dengan menggunakan kondom, namun harga kondom yang tergolong masih mahal untuk pasangan miskin.
Penyakit yang juga banyak diderita oleh perempuan adalah kista atau tumor jinak. Namun, 20-30% berpotensi menjadi ganas. Penyakit ini diperkirakan terjadi karena kegagalan sel telur (ovum) berovulasi. Kista dapat diobati dengan operasi, dengan biaya yang mahal sekitar 10-15 juta, bahkan bisa lebih mahal bila di Rumah Sakit kelas satu.
Indonesia juga merupakan negara yang masih mempraktekkan sunat perempuan. Banyak praktek sunat perempuan yang bahkan sampai memotong alat genital, sehingga menimbulkan rasa sakit saat buang air kecil, infeksi, tetanus. Komplikasi jangka panjang adalah kesulitan menstruasi, mandul, resiko tertular HIV, dan tidak dapat menikmati aktivitas seksual.
Perkawinan di usia muda menjadi penyebab bagi kegagalan reproduksi perempuan. Banyak keluarga yang  pada umumnya di pedesaan menikahkan anak perempuannya pada usia belasan karena dengan demikian terlepas dari beban keluarga. Padahal usia minimal seorang perempuan dapat melahirkan secara sehat adalah 21 tahun.
Nasib kaum perempuan menjadi lebih sulit karena kaum perempuan seringkali ditempatkan sebagai objek dalam program kesehatan pemerintah dengan mengatasnamakan pengendalian jumlah penduduk dan pembangunan, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru di mana perempuan dipaksa menggunakan alat KB. Apalagi, seringkali dianggap bahwa KB adalah tanggung jawab perempuan, padahal laki-laki pun bisa melakukan KB.
Persoalan seks juga banyak masih dianggap tabu sehingga karena tidak dibicarakan, menjadi salah satu faktor kurangnya informasi mengenai seksualitas untuk perempuan itu sendiri. Problem ini sangat berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan. Banyak penelitian yang telah membuktikkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan, maka ia akan menjadi tenaga produktif masyarakat dan cenderung untuk tidak menikah muda dan memiliki anak pada usia muda.

Akar Penyebab
Jika memperhatikan uraian di atas, akan membawa pada penemuan terdapat dua hal pokok yang menghambat pemenuhan kesehatan reproduksi kaum perempuan, yaitu biaya kesehatan yang sangat mahal dan adanya budaya yang merendahkan perempuan.
Pertama, Mahalnya biaya kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi merupakan salah ekses (dampak) dari sistem kapitalisme. Kapitalisme adalah sistem ekonomi masyarakat yang berdasarkan pada kepemilikan individu (perseorangan) atas alat-alat produksi, di mana ada kelas (kelompok) segelintir orang (kapitalis) yang memiliki alat-alat produksi yang karenanya bisa mengontrol proses produksi, sedangkan di sisi lain ada kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi, yaitu buruh/proletar yang harus bekerja untuk mendapatkan upah. Bahkan kelas kapitalis (pengusaha) dengan kekayaannya dapat menjadikan negara untuk tunduk pada kepentingannya.
Sifat dasar dari modal adalah eksploitasi (menghisap), akumulasi (menimbun) dan ekspansi (perluasan modal). Kapitalis terus berupaya untuk mendapatkan keuntungan dengan memproduksi sebanyak-banyaknya, merendahkan upah buruh, mengumpulkan kekayaan dan kekayaan ini menjadi modal kembali untuk diperluas dengan membangun pabrik-pabrik baru dan mempekerjakan lebih banyak buruh lagi.
Sebagai ilustrasi, buruh-buruh di pabrik setiap hari bekerja untuk mendapatkan upah. Seorang pengusaha akan menekan upah dan tunjangan buruh serendah mungkin, agar mendapatkan keuntungan maksimal. Keuntungan ini sangat besar dan dipergunakan untuk kemewahan keluarga kapitalis dan memperluas usahanya. Setiap hari di pabrik-pabrik, para buruh memproduksi barang-barang sebanyak-banyaknya. Tidak keseluruhan barang-barang ini terserap oleh pasar, sehingga diperlukan menjual barang-barang ini ke daerah-daerah lain (perluasan). Dalam derajat tertentu di mana barang-barang begitu melimpah di pasar dan tanpa daya beli masyarakat (karena upah rendah, dst), barang-barang tersebut bisa dihancurkan sendiri oleh para buruh atas perintah pemilik modal. Hal ini dinamakan over produksi (kelebihan produksi), yaitu krisis yang terjadi secara periodik dalam tubuh kapitalisme.
Dalam upaya untuk meluaskan pasar, memperoleh bahan baku dan tenaga kerja murah, seorang kapitalis akan mempergunakan negara untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka.
Di Indonesia, sejak dari masa Orde Baru sampai dengan rezim saat ini, SBY-Budiono secara aktif menjalankan berbagai kebijakan yang menguntungkan pemilik modal. Kebijakan-kebijakan itu adalah pencabutan subsidi (listrik, air, BBM, pendidikan dan kesehatan, dsb) dengan alasan bahwa setiap individu harus mandiri dan menanggung sendiri kebutuhan hidupnya tanpa dimanjakan oleh negara. Lihat saja dalam APBN 2009, subsidi pemerintah untuk kesehatan sangat kecil, hanya  2 %.[6]
Selanjutnya, fasilitas-fasilitas hidup: pendidikan, kesehatan, air, listrik, BBM, dsbnya itu diserahkan pengelolaannya kepada swasta dan menjadi barang dagangan. Hal ini juga berlaku bagi sektor kesehatan. Pemerintah mengizinkan modal swasta untuk menanamkan modalnya dalam usaha kesehatan yang meliputi kepemilikan rumah sakit[7] dan pengadaan obat-obatan. Kepemilikan asing pada rumah sakit bahkan bisa mencapai 65%. Harga obat-obatan berkualitas untuk penyakit yang berat menjadi sangat mahal.
Dalam keadaan upah buruh yang rendah dan tidak layak, harga kesehatan menjadi dapat dijangkau oleh kalangan perempuan miskin. Politik upah murah aktif dijalankan oleh pemerintahan agen penjajah, yang hari ini adalah SBY-Budiono. Termasuk halnya dengan kebijakan outsourching (buruh kontrak), tidak adanya cuti hamil dan pemotongan tunjangan, kesemuanya adalah cara untuk meningkatkan keuntungan kapitalis. Buruh-buruh juga mayoritas adalah kaum perempuan karena upahnya bisa direndahkan. Dalam suatu studi mengenai buruh perempuan di pabrik sepatu Tangerang dilaporkan 10-15 % dari total biaya produksi adalah biaya upah buruh laki-laki yang bisa ditekan menjadi hanya 5 % saja jika mempekerjakan 90 % buruh perempuan. Pemerintah juga terus mendorong perempuan menjadi TKW untuk bekerja di luar negeri tanpa perlindungan dari kekerasan majikan. Alih-alih menjamin keselamatan TKW, pemerintah malah menamakan mereka sebagai pahlawan devisa.
Kebijakan pemerintah yang lainnya lagi adalah perdagangan bebas dengan yang terbaru ACFTA (perdagangan bebas Cina dan Asean). Banyak perusahaan jatuh bangkrut akibat tidak mampu bersaing dengan produk-produk luar yang lebih berkualitas dan murah. Kebangkrutan ini menghasilkan PHK besar-besaran, yang berarti pengangguran baru dan kemiskinan.
Penyebab yang kedua, adalah karena adanya budaya patriarki, yaitu budaya yang menganggap perempuan sebagai makhluk kelas dua. Patriarki tercermin dalam prasangka dan tindakan yang merendahkan dan mendiskriminasi (membatasi hak-hak) kaum perempuan. Seperti yang ditunjukkan dalam kasus sunat perempuan, perkawinan muda, pembebanan KB hanya kepada perempuan, dan seterusnya. Meskipun dalam UU 36 tahun 2009 sudah memasukkan mengenai kesehatan reproduksi perempuan, masih belum  cukup untuk menghapuskan pandangan di masyarakat yang menganggap kesehatan reproduksi perempuan sebagai persoalan yang kurang penting untuk diperjuangkan.
Kondisi kaum perempuan yang terbelit budaya patriarki dan penindasan kapitalisme menjadi penyebab utama bagi hancurnya tenaga produktif kaum perempuan. Tak ada akses bagi kaum perempuan secara menyeluruh untuk meningkatkan kapasitas produktivitasnya. Hasilnya adalah feminisasi kemiskinan. Feminisasi kemiskinan merupakan suatu istilah di mana kemiskinan diidentikkan dengan wajah perempuan. Data PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menunjukkan dari 1,3 milyar warga dunia yang miskin, 70 % di antaranya adalah kaum perempuan. Kemiskinan ini menyuburkan berbagai praktik prostutusi dan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang sangat rentan dengan kekerasan majikan. Banyak perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks terserang berbagai penyakit kelamin, seperti HIV/AIDS, kanker serviks dan Sifilis.

Apa yang Harus Dilakukan?
Pembebasan manusia, inilah yang sedang kita tuju. Perempuan harus bebas dari patriarki dan seluruh umat manusia, laki-laki dan perempuan harus bebas dari kapitalisme.
Persoalan kesehatan perempuan saling terkait dengan berbagai persoalan-persoalan lain: kemiskinan, pendidikan, pengangguran, patriarki dan seterusnya. Hal ini membutuhkan penyelesaian yang menyeluruh pula, yaitu melenyapkan patriarki dan kapitalisme di dalam masyarakat.
Patriarki hidup di masyarakat dikarenakan mayoritas perempuan bukan pekerja produktif (pencari nafkah) yang terjun ke lapangan produksi. Pembebasan perempuan adalah mengembalikan perempuan sebagai pekerja produktif yang membutuhkan pendidikan dan kesehatan, tanggung jawab negara terhadap anak dengan menyediakan penitipan anak gratis dan ahli anak.
Langkah di atas ini masih salah satunya. Perempuan dan rakyat miskin membutuhkan banyak sekali pemenuhan tuntutan mendesak untuk mengembalikan keharusannya sebagai manusia yang produktif. Dalam perjuangan untuk pemenuhan kesehatan, tuntutan-tuntutan di bawah ini harus diperjuangkan:
1.       Upah layak dan setara.
2.       Lapangan kerja produktif bagi perempuan dan rakyat.
3.       Tolak Free Trade Area.
4.       Jaminan sosial bagi seluruh rakyat untuk memajukan tenaga produktif, berupa: kesehatan, perumahan, listrik, air bersih, dan transportasi massal.
5.       Teknologisasi pekerjaan rumah tangga Sediakan tempat penitipan anak gratis yang berkualitas untuk rakyat.
6.       Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, setara, ekologis dan bervisi kerakyatan.
7.       Mengembalikan ingatan sejarah rakyat dan penulisan sejarah yang jujur.
8.       Cabut dan revisi seluruh UU dan peraturan yang mendiskriminasikan kaum perempuan.
9.       Tolak poligami.
10.   Dan lain-lain
Yang menjadi masalah adalah selama pemerintah yang ada hari selalu menjalankan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kebutuhan rakyat miskin, maka sampai dunia kiamat program-program di atas tidak akan pernah dipenuhi atau sebagian sangat kecil saja yang bisa dipenuhi. Karena program-program rakyat yang mendesak hanya dapat dipenuhi dengan jalan keluar rakyat:
1.       Bangun industrialisasi nasional di bawah kontrol buruh dan rakyat.
2.       Pemusatan pembiayaan di dalam negeri.
3.       Pemenuhan kebutuhan mendesak/darurat rakyat.
4.       Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin.
5.       Kebudayaan Maju, melawan, feminis, ekologis, dan bersolidaritas.[8]
Jalan keluar ini bertentangan dengan kapitalisme yang mau menumpuk kekayaan individual. Jalan keluar rakyat ini akan mampu membiayai kebutuhan rakyat secara sosial, menyediakan lapangan pekerjaan dan menjadi solusi bagi semua persoalan rakyat dan perempuan saat ini.
Pemerintahan SBY-Budiono dan seluruh elit-elit dan partai-partai politik di parlemen tidak akan mampu melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk mensejahterahkan rakyat. Pemilu 2009 yang sudah setahun berlalu menghasilkan keadaan yang tetap sama seperti sebelumnya: kemiskinan. Malah, ke depannya akan semakin parah dengan semakin agresifnya pemerintah menjual sumber-sumber daya alam dan aset-aset negara. Perebutan kekuasaan di antara para elit yang selama ini kita saksikan di media hanyalah adalah untuk menduduki posisi utama sebagai agen kapitalis.
Mau tidak mau, kita harus membentangkan sendiri jalan perjuangan pembebasan itu dalam upaya mempertahankan, memajukan demokrasi dan menuntut program-program di atas agar dijalankan oleh pemerintah. Perjuangan memerlukan organisasi untuk membangun kekuatan dan persatuan di antara unsur-unsur gerakan dan rakyat. Di sini, organisasi perempuan sangat kita butuhkan untuk membangun perspektif feminis, memperoleh kesetaraan dalam berjuang dan melipatgandakan kekuatan dengan terlibatnya kaum perempuan di dalam organisasi dan gerakan. Termasuk dalam momentum 1 Mei yang akan datang, harus sebanyak-banyaknya kaum perempuan yang secara sadar untuk terlibat.
Dengan membangun kekuatan sendiri, maka kita akan mampu mendirikan pemerintahan sendiri (perebutan kekuasaan), Pemerintahan Rakyat Miskin yang akan melibatkan partisipasi perempuan dan rakyat miskin dalam menjalankan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan bersama. Kehendak ini bisa menjadi sangat mungkin tercapai, jika dari sekarang kawan-kawan sekalian melibatkan diri dalam organisasi-organisasi gerakan rakyat miskin.
Contoh-contoh yang sangat konkret di mana rakyat miskin bisa sejahtera dan terlibat aktif dalam pemerintahan dapat kita temukan di Kuba dan Venezuela. Saat ini, Kuba merupakan negara dengan pelayanan kesehatan masyarakat terbaik. Negara yang revolusi sejak tahun 1959 ini, berhasil mengembangkan kesehatan masyarakat yang berkualitas dan gratis. Angka harapan hidup manusia Kuba adalah 77, 2 tahun hampir menyamai Amerika Serikat yang 77,9 tahun. Bahkan penemu vaksin Menengitis B berasal dari Kuba. Venezuela juga negara sosialis yang memberlakukan berbagai misi untuk orang miskin, seperti misi Robinson untuk pemberantasan buta huruf, Misi Ribas untuk pendidikan gratis, Misi Bario Adentro untuk kesehatan dan seterusnya. Kedua negara dengan berjuang untuk revolusi berhasil menggulingkan pemerintahan agen kapitalis di negara masing-masing dan sekarang berjuang mempertahankan revolusi serta menikmati hasil-hasil perjuangannya.

Jakarta, 17 April 2010




[1] Disampaikan dalam diskusi dan pemutaran film “Pertaruhan” yang diselenggarakan oleh Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Sabtu, 17 April 2010 di Jakarta Utara.
[2] Kesehatan Reproduksi Wanita, dipublikasikan oleh http://creasoft.wordpress.com/2008/04/18/kesehatan-reproduksi-wanita/, diakses April 2010.
[3] Target Penurunan Angka Kematian Ibu Sulit Dicapai, http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/24/17585620/Target.Penurunan.Angka.Kematian.Ibu.Sulit.Dicapai, diakses April 2010.

[5] Kanker Leher Rahim, Sekali Saja Berhubungan, Virus Serviks Segera Menular, dipublikasikan oleh file:///I:/makalah/Kanker%20Leher%20Rahim,%20Sekali%20Saja%20Berhubungan,%20Virus%20Serviks%20Segera%20Menular%20%C2%AB%20seksfile.htm diakses April 2010.

[6] Kecil, Subsidi di Bidang Kesehatan, http://suaramerdeka.com, diakses April 2010.

[7] Kepemilikan Asing Rumah Sakit Naik, www.tempointeraktif.com, diakses April 2010


[8] Dokumen Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).