Langsung ke konten utama

Tambang Miskinkan Rakyat


Investasi yang terlihat sangat menyolok di Sulawesi Tengah adalah dalam bidang pertambangan yang dilegalkan oleh berbagai izin dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selama kurun 13 tahun terakhir proses alih kepemilikan lahan semakin menjadi-jadi, mengkonsentrasikan keuntungan di tangan korporasi, hingga menyisakan dampak negatif yang harus ditanggung oleh rakyat dan lingkungan setempat.
Terdapat 365 izin usaha pertambangan (IUP) baik yang beroperasi maupun hanya di atas kertas yang telah diterbitkan oleh seluruh kepala daerah di propinsi Sulawesi Tengah yang terdiri atas 9 kabupaten + 1 kota ini. Jumlah IUP terbesar ada di kabupaten Morowali, yakni 109 IUP. Selain IUP, ada Kontrak Karya (KK) dengan cakupan wilayah pertambangan yang sangat luas yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Beberapa KK yang sangat luas di Sulteng di antaranya KK PT CPM seluas 561.050 hektar membentang dari Kabupaten Buol, Tolitoli Donggala, Parigi Moutong, dan Sigi, serta  KK PT Inco seluas 36.635,36 hektar di Morowali.

Penduduk Sulteng berjumlah sekitar 2,5 juta jiwa. 423,63 ribu jiwa (15,8 persen) rakyat Sulteng hanya mengkonsumsi kebutuhan hidup senilai Rp 7.000,-/hari. Konsentrasi kemiskinan sebanyak 88,58% berada di pedesaan. Sembilan dari 11 wilayah kabupaten/kota di Sulawesi tengah masih termasuk kategori daerah tertinggal. Daerah kaya tambang justru merupakan kawasan kantung kemiskinan, pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan.

Sebut saja Morowali, daerah kaya akan nikel ini masih dikategorikan salah satu daerah tertinggal, paling banyak ditemukan kasus gizi buruk dan merupakan daerah termiskin di Sulteng. Sebanyak 40.000 rakyat Morowali dari sekitar 210.000 jiwa hidup di bawah Rp 7.000,-/hari. Pada Agustus 2011, terjadi kasus penembakan oleh aparat keamanan PT Medco (kilang minyak) yang menewaskan dua orang warga Kolo Bawa di Tiaka, Morowali. Selain itu, puluhan warga Desa Bahue, Petasia, Morowali, mengalami gatal-gatal yang diduga kuat disebabkan oleh aktivitas pertambangan PT Mulia Pasifik Resources (Jatam, 2011).

Per kuartal keempat (Desember), Bank Indonesia menyebutkan sektor pertambangan dan penggalian di Sulteng mengalami peningkatan pertumbuhan, sementara kinerja sektor pertanian semakin memburuk. Fakta di lapangan memperlihatkan penurunan produktivitas pertanian disebabkan oleh konversi lahan pertanian menjadi pertambangan maupun perkebunan. Akibat demam emas di Poboya, banyak warga yang meninggalkan pertanian untuk bekerja menjadi buruh tambang. Protes di Tiaka juga dipicu oleh kemarahan masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya sebagai nelayan. Sejak PT Medco mereklamasi Tiaka pada tahun 2000, hasil tangkapan menurun drastis, hingga dua pasar rakyat di wilayah itu tidak berfungsi lagi (Jatam, 2011)

Tambang galian C juga tergolong besar. Tiga daerah penyangga Palu, yakni Sigi, Donggala dan Parigi Moutong diperkirakan 4 juta kubik material pasir yang dikeruk setiap tahunnya, sementara rata-rata Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berkontribusi dari galian C hanya Rp21 juta. Desa Lolioge, Donggala, dikepung tujuh perusahaan galian C yang semuanya beroperasi. Proses ini telah menyingkirkan kelompok perempuan yang dulunya bekerja sebagai pengumpul batu dan kerikil di desa tersebut.

Di Palu, tambang Poboya sangat berbahaya dan mengancam kelangsungan hidup warga kota. Limbah merkuri dan sianida tambang tradisional saja sudah sangat memusingkan jika tidak diatur, kini ancaman itu semakin bertambah dengan rencana eksplorasi dan rencana operasi PT Citra Palu Mineral (CPM) di Poboya. PT CPM sudah “masuk” ke Poboya setelah tarik-menarik dengan kepentingan penambang tradisional (tromol). Tidak seperti para penggali tradisional di Poboya yang hanya mampu mencapai kedalaman 40 meter, mesin-mesin PT CPM dipastikan sanggup mengebor bumi Poboya dengan kedalaman 100 – 400 meter.

Ekstraksi Makin Masif, Milik Siapa?
Setelah Soeharto mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967, penguasaan lahan pertambangan yang menyolok dikenal adalah penguasaan PT Inco atas lahan seluas 36.635,36 hektar di Morowali. Inco mendapatkan Kontrak Karya seluas 218.528,99 ha di lintas tiga propinsi, yaitu Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Tenggara (Sultra). Sebenarnya, penguasaan lahan ini sekadar model pengkaplingan yang tidak memberikan manfaat ekonomi sedikitpun terhadap rakyat lokal. Inco malah sama sekali tidak beroperasi di blok Bahudopi. Wilayah operasi Inco ada di Blok Soroako seluas 10.000 hektar.

Masih di masa Orde Baru, tahun 1997, PT Citra Palu Mineral (CPM) mendapatkan izin pertambangan emas seluas 561.050 hektar melalui surat presiden No. B-143/Pres/3/1997. Awalnya, PT CPM dikuasai oleh PT Rio Tinto, lalu Newcrest Mining, dan terakhir, 2005, Bumi Resources membeli 96,97% saham PT CPM. Bumi merupakan perusahaan kepunyaan Abu Rizal Bakrie (Bakrie Group), seorang tokoh politik nasional, ketua umum Golkar dan juga orang yang paling bertanggungjawab atas bencana lumpur Lapindo di Sidorjo, Jawa Timur.

Perlu diketahui, tahun 2010, Bumi melakukan “tukar guling” (reverse take over) dengan perusahaan Vallar Plc, milik raksasa kaya Rotschild di Inggris. Bumi mendapatkan saham Vallar sebesar 45 % sehingga bisa masuk bertransaksi di Bursa Efek London, Inggris. Sementara, Vallar mendapatkan saham beserta aset Bumi sebesar 25 %. Juni 2011, Vallar kembali mengumumkan telah mengakuisisi saham Bumi sebesar 75 %. (Burmansyah, 2011) Sebenarnya, proses divestasi ini hanya suatu skenario untuk menguasai Newmont Nusatenggara dimana pihak asing (dalam hal ini Rotschild) sebenarnya mengendalikan Bumi secara langsung dan Newmont Nusatenggara (NNT) secara tidak langsung—Bumi memiliki saham juga di NNT. Artinya, pengendali sesungguhnya dari PT CPM dan 300 ribu rakyat Palu adalah salah satu keluarga kaya di dunia, keluarga Rotschild dari Inggris.

Pada masa reformasi, desakan desentralisasi telah melahirkan kebijakan otonomi daerah yang dinilai sanggup memeratakan kekuasaan. Pemerataan ini tidak lain hanyalah pemberian kewenangan baru di tingkatan elit lokal untuk mengobral sumber daya alam daerah. Pemberian izin pertambangan justru meningkat setelah elit-elit kepala daerah mendapatkan kekuasaan, tidak ada kontrol langsung dari rakyat di daerah.

Model politik semacam ini bertemu dan berkesesuaian dengan kebutuhan Cina akan sumber-sumber daya baru untuk menunjang produksi perusahaan-perusahaan di Cina yang sedang berkembang sebagai raksasa ekonomi baru. Permintaan Cina akan nikel terlihat mengalami peningkatan rata-rata 25 % dalam rentang tahun 2000-2009 (Andika, 2011). Operasi perusahaan Cina banyak mengambil lokasi di Morowali yang kaya akan nikel. Ore (nikel masih bercampur tanah) diangkut ke Cina. Persis seperti model penghisapan primitif. Tidak salah, jika Morowali diprediksikan akan tenggelam. broker-broker izin (IUP) Marak di Morowali yang membawa masuk pengusaha Cina. Ada PT PAN China, Dingxin Grup dan Bintang Delapan Mineral serta Jinxiang Grup yang ramai-ramai menggali nikel.

Jika diperiksa, konflik tumpang tindih lahan antara PT Inco dan perusahaan lainnya di Morowali adalah persaingan di antara kapitalis raksasa yang memperebutkan sumber daya. Sayangnya, rakyat seringkali diperdaya untuk terlibat dalam konflik tersebut dan banyak aktivis lokal terjebak sebagai perantara perusahaan ketimbang memperjuangkan nasib rakyat Morowali secara sungguh-sungguh. Bupati Anwar Hafied sendiri terlibat dimana dia mengakui kepada Gubernur Longki Djanggola bahwa tumpang tindih di Morowali adalah sengaja dengan alasan Inco tidak kunjung beroperasi (eksploitasi) di Morowali.

Pada 2011, telah diterbitkan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MPE3I) 2011-2025 yang disahkan oleh Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tertanggal 20 Mei 2011. Babak baru eksploitasi pertambangan di Indonesia maupun Sulawesi Tengah sebagai penghasil nikel telah dibuka agar menjadi lebih masif dan sistematis. Bisa dipastikan dengan model penghisapan semacam ini akan lebih banyak lagi dampak negatif yang harus ditanggung rakyat di masa yang akan datang.


Palu, Arsip 2011
Ditulis untuk Majalah Silo Edisi 43, Yayasan Merah Putih Palu, dimuat kembali di blog ini untuk tujuan pendidikan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PHK Karena Pandemi

Belakangan marak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pandemi Covid-19 (virus corona). Pengusaha mengaku order mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi, sehingga terpaksa harus melakukan PHK terhadap para pekerja dengan alasan force majeur (keadaan memaksa). Kondisi ini terutama menimpa industri tekstil yang padat karya dan sangat kompetitif dalam persaingan di pasar. Akibatnya terjadi dua jenis PHK sebagai berikut: 1. PHK bagi pekerja berstatus kontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pekerja kontrak dikenai PHK begitu saja tanpa diberikan uang sisa masa kontrak. Dalihnya adalah keadaan memaksa menyebabkan perjanjian batal dengan sendirinya sebagaimana yang diatur dalam: a. Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertangg

Resume Situasi Sulawesi Tengah tahun 2009

Situasi Daerah Ø   Kapitalisme sebagai tahap tertinggi/akhir dari masyarakat berkelas yang didorong oleh krisis-krisisnya telah mengintegrasikan dunia ke dalam satu cara produksi kapitalis. Ø   Kebijakan neoliberalisme sebagai obat dari krisis kapitalisme, yang saat ini dipakai sebagai mazhab ekonomi di Indonesia semakin memperdalam kemiskinan rakyat Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tengah. Ø   Pada prinsipnya, berbagai kebijakan politik yang diproduk di Sulawesi adalah untuk memperkuat berbagai kebijakan rezim neoliberal untuk memuluskan masuknya modal asing. Apalagi, karakter borjuis lokal/elit daerah yang pengecut, bertenaga produktif sangat rendah, berpolitik untuk bisa korupsi, sehingga tidak heran banyak elit-elit politik yang menjadi kaya mendadak setelah memegang jabatan politik tertentu.

Lagi-lagi, Warga Jadi Korban Aparat

Darah kembali mengalir dari daging yang tertancap peluru. Korban itu bernama Erik alias Heri, warga Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Heri meninggal terkena tembakan peluru polisi pada Minggu dini hari (9/10). Penyerbuan polisi itu dipicu oleh aksi tawuran antar-pemuda desa Bangga dan desa Kinta. Selain Heri, tiga korban lainnya luka-luka terkena peluru. Aliansi Masyarakat Anti Company (AMAN) Sulteng menggalang dana dengan turun ke jalan. Aksi ini sebagai bentuk protes kepada kepolisian yang melakukan penembakan hingga menewaskan nyawa warga. “Kami benar-benar mengutuk tindakan aparat polisi yang membabi-buta. Sumbangan ini bukan untuk membantu polisi bertanggungjawab, sumbangan ini untuk memperlihatkan bahwa masyarakat masih punya solidaritas. Semua dana yang terkumpul berjumlah Rp 1,7 juta sudah kami berikan ke beberapa korban,” kata Koordinator AMAN Sulteng, Nasrullah, pada Minggu (16/10).